Tina Toon: Selalu Cermat saat Membaca Berita di Medsos
A
A
A
JAKARTA - Salah satu artis yang masuk menjadi anggota dewan yakni Tina Toon. Mantan penyanyi cilik ini menduduki posisi anggota DPRD DKI Jakarta. Kebanggaannya menjadi wakil rakyat ini juga turut diimbangi dengan sikapnya di media sosial yang memberikan contoh baik dalam menyikapi isu di media sosial.
Sebab, Tina sangat paham dengan buzzer politik yang ada di media sosial. Bagi Tina, buzzer politik terdapat dua macam. Akun untuk menyebarkan informasi ke media sosial, tapi sumbernya dari media kredibel atau dari portal berita yang terkemuka yang tepercaya dan tanpa diedit.
Jika seperti itu, sosialisasikan sesuatu yang memang penting untuk masyarakat. Namun, Tina jengkel dengan akun buzzer yg menyebarkan hoaks, mengedit berita jadi hoaks lalu disebarkan. "Menurut saya, itu bahaya karena ketika masyarakat terkena hoaks, mereka dapat percaya sehingga khawatir menyebarkan ke lingkupnya. Itu dapat membuat menjadi heboh dan menjadi kekhawatiran banyak orang," ungkap Tina.
Dengan begitu, Tina selalu tidak bosan-bosannya mengimbau siapa pun untuk lebih bijak dalam menyebarkan informasi sebab setiap orang kini memiliki media sosial sehingga semua bisa jadi sumber berita dan memberitakan apa pun. "Kalau saya, kalau dapat informasi atau berita, cek dulu di Google. Ketik beritanya dan dapat dilihat muncul tidak itu di portal berita yang tepercaya," ucap Tina memberi saran.
Setelah itu, lanjutnya, tidak lupa juga membaca isi berita bukan hanya judul, lalu dibandingkan. Tidak jarang juga Tina kerap menganalisis hoaks atau bukan. Jika dirasa berita itu penting untuk diinfokan ke orang lain, dapat disebarkan dengan penjelasan.
"Tapi, kalau merasa itu tidak penting, hanya membuat ribut , panik, atau heboh, ya tidak perlu. Jadi, harus lebih teliti, bijak, dan bawaannya damai, jangan panas," ungkap Tina.
Penggiat media sosial Ismail Fahmi menjelaskan, buzzer sudah mulai dikenal sejak 10 tahun terakhir. Kasus yang terungkap akun trio macan. Buzzer banyak hadir terutama saat pemilihan presiden. "Hal tersebut wajar karena adanya pendukung kubu calon presiden," sebutnya.
Namun, dia menyayangkan jika saat pemerintahan berjalan buzzer masih ada, seharusnya buzzer dibubarkan. Ismail menjelaskan, dalam komunikasi ada dua jenis buzzer, yakni public relation dan marketing. Public relation seperti perusahaan dengan kliennya jika ada masalah diperbaiki. Mendengarkan keluhan dari pengguna. Dalam konteks negara juga demikian, negara mendengarkan keluhan masyarakat kemudian mencari solusi.
Seharusnya negara mendengar rakyatnya kemudian memperbaiki program dan kebijakannya. Seperti perusahaan mendengar keluhan dari konsumennya. Buzzer untuk tujuan marketing selalu mempromosikan produk sekalipun jelek tetap dikatakan bagus. Jika ada keluhan, akan diserang agar tidak kelihatan supaya produknya terlihat unggul.
"Pola marketing diterapkan pada urusan negara. Pemerintahan tidak bisa dikritik. Jika ada kritik, langsung diredam, balik menyerang. Ini tidak sehat bagi demokrasi bangsa, sehingga tidak ada komunikasi antara pemerintah dan masyarakat," tegas Ismail.
Namun, pada dasarnya pemerintahan di seluruh dunia memang tidak ingin dikritik. Maka kecenderungan pemerintah membuat cyber group. Namun, disayangkan, para buzzer bukan membela negara, tetapi sosok. Seharusnya ketika pemerintahan berjalan lebih memilih membela negara, bukan perseorangan lagi. (Ananda Nararya)
Sebab, Tina sangat paham dengan buzzer politik yang ada di media sosial. Bagi Tina, buzzer politik terdapat dua macam. Akun untuk menyebarkan informasi ke media sosial, tapi sumbernya dari media kredibel atau dari portal berita yang terkemuka yang tepercaya dan tanpa diedit.
Jika seperti itu, sosialisasikan sesuatu yang memang penting untuk masyarakat. Namun, Tina jengkel dengan akun buzzer yg menyebarkan hoaks, mengedit berita jadi hoaks lalu disebarkan. "Menurut saya, itu bahaya karena ketika masyarakat terkena hoaks, mereka dapat percaya sehingga khawatir menyebarkan ke lingkupnya. Itu dapat membuat menjadi heboh dan menjadi kekhawatiran banyak orang," ungkap Tina.
Dengan begitu, Tina selalu tidak bosan-bosannya mengimbau siapa pun untuk lebih bijak dalam menyebarkan informasi sebab setiap orang kini memiliki media sosial sehingga semua bisa jadi sumber berita dan memberitakan apa pun. "Kalau saya, kalau dapat informasi atau berita, cek dulu di Google. Ketik beritanya dan dapat dilihat muncul tidak itu di portal berita yang tepercaya," ucap Tina memberi saran.
Setelah itu, lanjutnya, tidak lupa juga membaca isi berita bukan hanya judul, lalu dibandingkan. Tidak jarang juga Tina kerap menganalisis hoaks atau bukan. Jika dirasa berita itu penting untuk diinfokan ke orang lain, dapat disebarkan dengan penjelasan.
"Tapi, kalau merasa itu tidak penting, hanya membuat ribut , panik, atau heboh, ya tidak perlu. Jadi, harus lebih teliti, bijak, dan bawaannya damai, jangan panas," ungkap Tina.
Penggiat media sosial Ismail Fahmi menjelaskan, buzzer sudah mulai dikenal sejak 10 tahun terakhir. Kasus yang terungkap akun trio macan. Buzzer banyak hadir terutama saat pemilihan presiden. "Hal tersebut wajar karena adanya pendukung kubu calon presiden," sebutnya.
Namun, dia menyayangkan jika saat pemerintahan berjalan buzzer masih ada, seharusnya buzzer dibubarkan. Ismail menjelaskan, dalam komunikasi ada dua jenis buzzer, yakni public relation dan marketing. Public relation seperti perusahaan dengan kliennya jika ada masalah diperbaiki. Mendengarkan keluhan dari pengguna. Dalam konteks negara juga demikian, negara mendengarkan keluhan masyarakat kemudian mencari solusi.
Seharusnya negara mendengar rakyatnya kemudian memperbaiki program dan kebijakannya. Seperti perusahaan mendengar keluhan dari konsumennya. Buzzer untuk tujuan marketing selalu mempromosikan produk sekalipun jelek tetap dikatakan bagus. Jika ada keluhan, akan diserang agar tidak kelihatan supaya produknya terlihat unggul.
"Pola marketing diterapkan pada urusan negara. Pemerintahan tidak bisa dikritik. Jika ada kritik, langsung diredam, balik menyerang. Ini tidak sehat bagi demokrasi bangsa, sehingga tidak ada komunikasi antara pemerintah dan masyarakat," tegas Ismail.
Namun, pada dasarnya pemerintahan di seluruh dunia memang tidak ingin dikritik. Maka kecenderungan pemerintah membuat cyber group. Namun, disayangkan, para buzzer bukan membela negara, tetapi sosok. Seharusnya ketika pemerintahan berjalan lebih memilih membela negara, bukan perseorangan lagi. (Ananda Nararya)
(nfl)