Berkat Inisiasi Regional, ASEAN Sukses Turunkan Kasus Infeksi HIV
A
A
A
JAKARTA - Negara-negara di Asia Tenggara berhasil menurunkan kasus infeksi HIV sebanyak 19 persen terhitung sejak 2010 hingga 2017. Ini merupakan keberhasilan yang siginifikan sebagai hasil inisiasi regional dalam merespons penularan HIV AIDS di wilayah negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN).
Kesuksesan tersebut didukung dengan akses layanan kualitas tinggi, upaya pencegahan, pendampingan dan dukungan tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Dari laporan praktik regional menunjukkan adanya peningkatan jumlah jangkauan layanan dan fasilitas kesehatan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
"Terdapat peningkatan jumlah ODHA yang dijangkau dan didukung oleh setiap layanan perawatan HIV berjenjang dan meningkatnya jumlah pusat tes HIV dan konseling serta pengobatan," ungkap Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (16/10).
Sejak 2011, ASEAN selalu konsisten dalam pengendalian AIDS. Pada deklarasi tahun 2011, komitmen three zero yakni meniadakan infeksi HIV baru, meniadakan kematian terkait AIDS dan meniadakan diskriminasi terhadap ODHA. Begitu juga saat di Paris pada 2014, ketika para pemimpin daerah dan negara berikrar untuk mencapai target 90-90-90.
Di Indonesia, menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono, target tersebut dilaksanakan dengan strategi STOP. Pertama, Suluh yang berarti 90 persen masyarakat terinformasi dan memahami HIV. Kedua, Tes HIV, yakni 90 persen populasi diperiksa dan mengetahui status infeksinya. Ketiga, Obati, yaitu 90 persen orang dengan HIV diterapi antiretroviral (ARV) dan terakhir Pertahankan, yang artinya 90 persen dari yang telah diterapi ARV mengalami penurunan jumlah virus hingga tidak terdeteksi lagi.
Selanjutnya pada 2016 di Laos, ASEAN juga kembali mendeklarasikan melawan HIV AIDS dengan merespons kerja cepat berkelanjutan untuk mengakhiri epidemi AIDS pada 2030. Semua berkeinginan untuk memastikan tidak satu orang pun yang tertinggal dalam merespons terhadap AIDS.
Saat ini di Indonesia, tambah Menkes, pelayanan kesehatan universal melalui skema asuransi kesehatan nasional atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014 juga memberikan akses layanan bagi populasi kunci untuk mendapatkan pengobatan ARV.
Perawatan bagi populasi kunci dan ODHA telah terintegrasi ke dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang harus dijalankan pemerintah daerah. SPM Kesehatan ini mencerminkan komitmen kepala daerah (Walikota/Bupati) dalam pencegahan dan pengendalian HID AIDS di daerahnya. Seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia, baik tingkat primer di 9.825 puskesmas maupun di 2.776 rumah sakit harus mampu menyediakan pemeriksaan HIV.
"Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah Indonesia terus menggandeng organisasi sosial non pemerintahan (LSM) dan semua pemangku kepentingan untuk eliminasi stigma dan diskriminasi dalam mendapatkan akses layanan kesehatan," tutup Nila Moeloek.
Kesuksesan tersebut didukung dengan akses layanan kualitas tinggi, upaya pencegahan, pendampingan dan dukungan tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Dari laporan praktik regional menunjukkan adanya peningkatan jumlah jangkauan layanan dan fasilitas kesehatan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
"Terdapat peningkatan jumlah ODHA yang dijangkau dan didukung oleh setiap layanan perawatan HIV berjenjang dan meningkatnya jumlah pusat tes HIV dan konseling serta pengobatan," ungkap Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (16/10).
Sejak 2011, ASEAN selalu konsisten dalam pengendalian AIDS. Pada deklarasi tahun 2011, komitmen three zero yakni meniadakan infeksi HIV baru, meniadakan kematian terkait AIDS dan meniadakan diskriminasi terhadap ODHA. Begitu juga saat di Paris pada 2014, ketika para pemimpin daerah dan negara berikrar untuk mencapai target 90-90-90.
Di Indonesia, menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono, target tersebut dilaksanakan dengan strategi STOP. Pertama, Suluh yang berarti 90 persen masyarakat terinformasi dan memahami HIV. Kedua, Tes HIV, yakni 90 persen populasi diperiksa dan mengetahui status infeksinya. Ketiga, Obati, yaitu 90 persen orang dengan HIV diterapi antiretroviral (ARV) dan terakhir Pertahankan, yang artinya 90 persen dari yang telah diterapi ARV mengalami penurunan jumlah virus hingga tidak terdeteksi lagi.
Selanjutnya pada 2016 di Laos, ASEAN juga kembali mendeklarasikan melawan HIV AIDS dengan merespons kerja cepat berkelanjutan untuk mengakhiri epidemi AIDS pada 2030. Semua berkeinginan untuk memastikan tidak satu orang pun yang tertinggal dalam merespons terhadap AIDS.
Saat ini di Indonesia, tambah Menkes, pelayanan kesehatan universal melalui skema asuransi kesehatan nasional atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014 juga memberikan akses layanan bagi populasi kunci untuk mendapatkan pengobatan ARV.
Perawatan bagi populasi kunci dan ODHA telah terintegrasi ke dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang harus dijalankan pemerintah daerah. SPM Kesehatan ini mencerminkan komitmen kepala daerah (Walikota/Bupati) dalam pencegahan dan pengendalian HID AIDS di daerahnya. Seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia, baik tingkat primer di 9.825 puskesmas maupun di 2.776 rumah sakit harus mampu menyediakan pemeriksaan HIV.
"Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah Indonesia terus menggandeng organisasi sosial non pemerintahan (LSM) dan semua pemangku kepentingan untuk eliminasi stigma dan diskriminasi dalam mendapatkan akses layanan kesehatan," tutup Nila Moeloek.
(nug)