Penyebab Kecanduan Gim Beragam, Penanganan Pun Berbeda
A
A
A
Penanganan anak-anak yang kecanduan gim berbeda antara satu dan lainnya. Upaya penanganan itu harus disesuaikan dengan gejala yang muncul. Langkah awal yang dilakukan adalah mengatasi dulu ke arah gangguan emosi. Gangguan emosi itu antara lain marah, tidak bisa tidur, atau tidak mau makan. Untuk mengatasi gangguan emosi, diberikan obat farmakoterapi. Obat ini bertujuan menyeimbangkan cairan otak (neurotransmitter). Setelah terjadi keseimbangan, obat diturunkan dan terapi perilaku dimaksimalkan.
Dalam terapi perilaku, anak yang kecanduan gim akan diarahkan untuk melakukan kegiatan setelah pulang sekolah. Sebut saja misalnya jika sebelumnya pulang sekolah langsung memegang ponsel, saat ini mulai dibatasi. Contoh pembatasan, misalnya ponsel hanya bisa digunakan untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Sementara di lingkungan keluarga, anak diharapkan tidak memegang gawai pada jam-jam tertentu.
Tak kalah penting adalah orang tua harus introspeksi apakah mereka juga mengalami kecanduan gawai atau tidak. Gejala yang dapat dilihat adalah setiap lima menit mengecek ponsel. Orang tua memiliki peran besar dalam mengontrol penggunaan ponsel.
Psikolog klinis Liza M Djaprie mengaku pernah menangani pasien yang kecanduan gawai sampai mogok sekolah dan kuliah. “Ada yang kecanduan main PS (PlayStation) dan dipotong uang jajannya. Akhirnya dia malah mencuri uang orang tuanya untuk bisa main PS atau pergi ke warnet,” kata Liza. Dia menganalogikan kecanduan gawai seperti ada kabel yang korsleting di otak.
Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menilai adiksi gawai tidak semata-mata disebabkan kebiasaan main gawai semata, tetapi juga karena profil psikologis sang anak. Sebut saja misalnya anak yang tidak bahagia, kurang gerak, dan cara berpikir kaku. Kondisi ini membuat anak semakin rentan terpapar efek negatif gawai.
Andrew Ryan Samuel, mantan penggila gim yang kini menjadi penulis, mengakui bahwa dirinya dahulu bermain game 12 jam dalam sehari. Andrew makin jarang berinteraksi sosial di dunia nyata. Berat badannya juga menurun dari angka 93 menuju 85 kilogram. Belum lagi nilainya di sekolah yang menurun karena bermain gim hingga larut malam. Padahal, Andrew akan mengikuti ujian kala itu.
“Hal itu mengganggu kehidupan saya,” akunya. Saat menjadi penggila gim, dia berusia 14 tahun. Andrew bahkan pernah bergabung dalam komunitas gim dan kemampuannya diakui anggota lain dalam menyusun taktik permainan mengalahkan lawan.
Lantas, mengapa penulis buku The Trigger to Everything ini bisa lepas dari pengaruh gim? Pemicunya, kata dia, adalah keinginan untuk pindah dari zona nyaman. Sebab, dulu Andrew punya teman yang suka merokok dan bisa berhenti. “Dia saja bisa, kok saya yang sudah kecanduan gim ini enggak?” tukasnya dalam seminar bertajuk “Bagaimana Mengatasi Efek Negatif Kecanduan Game” di Jakarta belum lama ini.
Menurut lelaki kelahiran 2002 ini, anak seolah ditarik oleh dua kubu berbeda. “Orang tua serasa sedang tarik tambang dengan pengembang gim. Di tengah ada anak, di kiri orang tuanya, dan di kanan ada pengembang gim dari dunia maya,” terangnya. Memang betul, anak bisa saja menangis karena tidak ada jaringan internet untuk bermain. Namun, faktor utamanya adalah lingkungan si anak.
Anak dari pasangan orang tua yang tidak akur, lanjut dia, lebih gampang kecanduan gim. “Sebab, anak merasa kesepian dan beralih ke dunia maya. Di sana, mereka mendapat perhatian dan apresiasi lebih karena berkomunikasi dengan pemain lain,” paparnya. Oleh karena itu, lanjut dia, orang tua harus lebih bijak menangani penggunaan ponsel bagi anak. (Hermanto)
Dalam terapi perilaku, anak yang kecanduan gim akan diarahkan untuk melakukan kegiatan setelah pulang sekolah. Sebut saja misalnya jika sebelumnya pulang sekolah langsung memegang ponsel, saat ini mulai dibatasi. Contoh pembatasan, misalnya ponsel hanya bisa digunakan untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Sementara di lingkungan keluarga, anak diharapkan tidak memegang gawai pada jam-jam tertentu.
Tak kalah penting adalah orang tua harus introspeksi apakah mereka juga mengalami kecanduan gawai atau tidak. Gejala yang dapat dilihat adalah setiap lima menit mengecek ponsel. Orang tua memiliki peran besar dalam mengontrol penggunaan ponsel.
Psikolog klinis Liza M Djaprie mengaku pernah menangani pasien yang kecanduan gawai sampai mogok sekolah dan kuliah. “Ada yang kecanduan main PS (PlayStation) dan dipotong uang jajannya. Akhirnya dia malah mencuri uang orang tuanya untuk bisa main PS atau pergi ke warnet,” kata Liza. Dia menganalogikan kecanduan gawai seperti ada kabel yang korsleting di otak.
Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menilai adiksi gawai tidak semata-mata disebabkan kebiasaan main gawai semata, tetapi juga karena profil psikologis sang anak. Sebut saja misalnya anak yang tidak bahagia, kurang gerak, dan cara berpikir kaku. Kondisi ini membuat anak semakin rentan terpapar efek negatif gawai.
Andrew Ryan Samuel, mantan penggila gim yang kini menjadi penulis, mengakui bahwa dirinya dahulu bermain game 12 jam dalam sehari. Andrew makin jarang berinteraksi sosial di dunia nyata. Berat badannya juga menurun dari angka 93 menuju 85 kilogram. Belum lagi nilainya di sekolah yang menurun karena bermain gim hingga larut malam. Padahal, Andrew akan mengikuti ujian kala itu.
“Hal itu mengganggu kehidupan saya,” akunya. Saat menjadi penggila gim, dia berusia 14 tahun. Andrew bahkan pernah bergabung dalam komunitas gim dan kemampuannya diakui anggota lain dalam menyusun taktik permainan mengalahkan lawan.
Lantas, mengapa penulis buku The Trigger to Everything ini bisa lepas dari pengaruh gim? Pemicunya, kata dia, adalah keinginan untuk pindah dari zona nyaman. Sebab, dulu Andrew punya teman yang suka merokok dan bisa berhenti. “Dia saja bisa, kok saya yang sudah kecanduan gim ini enggak?” tukasnya dalam seminar bertajuk “Bagaimana Mengatasi Efek Negatif Kecanduan Game” di Jakarta belum lama ini.
Menurut lelaki kelahiran 2002 ini, anak seolah ditarik oleh dua kubu berbeda. “Orang tua serasa sedang tarik tambang dengan pengembang gim. Di tengah ada anak, di kiri orang tuanya, dan di kanan ada pengembang gim dari dunia maya,” terangnya. Memang betul, anak bisa saja menangis karena tidak ada jaringan internet untuk bermain. Namun, faktor utamanya adalah lingkungan si anak.
Anak dari pasangan orang tua yang tidak akur, lanjut dia, lebih gampang kecanduan gim. “Sebab, anak merasa kesepian dan beralih ke dunia maya. Di sana, mereka mendapat perhatian dan apresiasi lebih karena berkomunikasi dengan pemain lain,” paparnya. Oleh karena itu, lanjut dia, orang tua harus lebih bijak menangani penggunaan ponsel bagi anak. (Hermanto)
(don)