Sensasi Perupa Ugo Untoro dalam Rindu Lukisan Merasuk di Badan
A
A
A
Karya-karya Ugo Untoro yang mencoba fokus mengenai lukisan hadir dalam pameran tunggal bertajuk “Rindu Lukisan Merasuk di Badan”, yang digelar di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta, pada Jumat (20/12) hingga 12 Januari 2020. Ada sekitar 70-an karya sang seniman, di antaranya seri sleeping buddha, seri lukisan, seri hujan, versi baru dari lukisan gaya romantik, dan sebagainya.
Tajuk “Rindu Lukisan Merasuk di Badan” terinspirasi dari lagu karya Ismail Marzuki berjudul Rindu Lukisan Mata Memandang. Lirik lagu ini diyakini bisa menjadi salah satu jalan untuk menikmati karya-karya Ugo dalam pameran kali ini. Sekitar 70-an karya inilah yang nantinya menceritakan perjalanan Ugo Untoro sebermula ia menjadi seniman hingga hari ini.
Selama dua tahun terakhir, Ugo Untoro kerap melakukan perjalanan pergi-pulang ke kampung halaman, Yogyakarta–Purbalingga. Aktivitas pergi-pulang di kampung mengingatkan Ugo pada banyak peristiwa dan hal-hal yang menurutnya selama ini tercecer. “Ada sesuatu yang memang sering saya lihat dulu, tapi tidak pernah terpikir,” ungkap Ugo.
Melalui pengalaman itu, Ugo bermaksud menjadikan sesuatu yang bisa ditumbuhkan kembali lewat karya seni rupa. Melalui proses pergi-pulang, Ugo teringat bahwa dulu ia berangkat dari karya dua dimensi. Ugo ingin kembali ke painting. Ia mencoba kembali menekuni, mengasihi, tentang melukis. Dalam proses berkarya, Ugo banyak meminjam dan mempelajari gagasan ‘romantisme’.
Sebagaimana Ugo sampaikan, “Saya harus mencari atau menandai peristiwa itu dengan dimulai dari kata atau cara pikir romantisme, saya mencoba semampu saya untuk mengerti, memahami, apa itu arti romantisme.” Kurator pameran Hendro Wiyanto mengungkapkan, pameran ini menunjukkan kesinambungan tata rupa dalam khazanah seni Ugo selama beberapa dekade berkarya.
Tata rupa dalam khazanah karya Ugo datang dari semacam prinsip pencerahan dan penyederhanaan atas kesatuan yang utuh lengkap, pulang menjadi bidang, warna, komposisi artistik, dan terutama corat-coret yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memberi kesan, imaji, dan asosiasi simbolik tertentu.
Dalam catatan berjudul Ugo, Zen, dan Delacroix, budayawan Goenawan Mohamad menuliskan, “Penyair Archibald MacLeish—a poem should not mean, but be: sebuah sajak tak menjadi sajak karena mengemban makna, melainkan karena dia hadir dan tumbuh sebagai dirinya sendiri. Seperti kanvas-kanvas Ugo: yang membuatnya hidup bukanlah pesan yang diemban, melainkan proses dialektik antara makna dan bukan makna.”
Pameran tunggal Ugo Untoro yang terselenggara berkat kerja sama Galeri Nasional Indonesia (GNI) dengan Obah Mamah dan Museum, dan Tanah Liat, pada pembukaannya dimeriahkan dengan penampilan musisi Jason Ranti. Pameran yang telah disiapkan sejak November 2018 ini diharapkan dapat terus diperbincangkan, dibawa ke berbagai ruang, dan hasil dari sebuah pameran bisa terus dikembangkan.
Tajuk “Rindu Lukisan Merasuk di Badan” terinspirasi dari lagu karya Ismail Marzuki berjudul Rindu Lukisan Mata Memandang. Lirik lagu ini diyakini bisa menjadi salah satu jalan untuk menikmati karya-karya Ugo dalam pameran kali ini. Sekitar 70-an karya inilah yang nantinya menceritakan perjalanan Ugo Untoro sebermula ia menjadi seniman hingga hari ini.
Selama dua tahun terakhir, Ugo Untoro kerap melakukan perjalanan pergi-pulang ke kampung halaman, Yogyakarta–Purbalingga. Aktivitas pergi-pulang di kampung mengingatkan Ugo pada banyak peristiwa dan hal-hal yang menurutnya selama ini tercecer. “Ada sesuatu yang memang sering saya lihat dulu, tapi tidak pernah terpikir,” ungkap Ugo.
Melalui pengalaman itu, Ugo bermaksud menjadikan sesuatu yang bisa ditumbuhkan kembali lewat karya seni rupa. Melalui proses pergi-pulang, Ugo teringat bahwa dulu ia berangkat dari karya dua dimensi. Ugo ingin kembali ke painting. Ia mencoba kembali menekuni, mengasihi, tentang melukis. Dalam proses berkarya, Ugo banyak meminjam dan mempelajari gagasan ‘romantisme’.
Sebagaimana Ugo sampaikan, “Saya harus mencari atau menandai peristiwa itu dengan dimulai dari kata atau cara pikir romantisme, saya mencoba semampu saya untuk mengerti, memahami, apa itu arti romantisme.” Kurator pameran Hendro Wiyanto mengungkapkan, pameran ini menunjukkan kesinambungan tata rupa dalam khazanah seni Ugo selama beberapa dekade berkarya.
Tata rupa dalam khazanah karya Ugo datang dari semacam prinsip pencerahan dan penyederhanaan atas kesatuan yang utuh lengkap, pulang menjadi bidang, warna, komposisi artistik, dan terutama corat-coret yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memberi kesan, imaji, dan asosiasi simbolik tertentu.
Dalam catatan berjudul Ugo, Zen, dan Delacroix, budayawan Goenawan Mohamad menuliskan, “Penyair Archibald MacLeish—a poem should not mean, but be: sebuah sajak tak menjadi sajak karena mengemban makna, melainkan karena dia hadir dan tumbuh sebagai dirinya sendiri. Seperti kanvas-kanvas Ugo: yang membuatnya hidup bukanlah pesan yang diemban, melainkan proses dialektik antara makna dan bukan makna.”
Pameran tunggal Ugo Untoro yang terselenggara berkat kerja sama Galeri Nasional Indonesia (GNI) dengan Obah Mamah dan Museum, dan Tanah Liat, pada pembukaannya dimeriahkan dengan penampilan musisi Jason Ranti. Pameran yang telah disiapkan sejak November 2018 ini diharapkan dapat terus diperbincangkan, dibawa ke berbagai ruang, dan hasil dari sebuah pameran bisa terus dikembangkan.
(don)