Pameran Karya Yuliman Menyuburkan Lagi Gagasan Kritis Seni Rupa

Sabtu, 04 Januari 2020 - 10:00 WIB
Pameran Karya Yuliman Menyuburkan Lagi Gagasan Kritis Seni Rupa
Pameran Karya Yuliman Menyuburkan Lagi Gagasan Kritis Seni Rupa
A A A
Sudah sejak lama, tulisan-tulisan kritik jurnalistik berhasil mencatatkan nama-nama kritikus seni rupa yang pantas diakui kemampuannya. Salah satu di antara sekian kritikus seni itu adalah Sanento Yuliman, yang tulisan-tulisannya dapat ditemukan dalam berbagai media massa pada zamannya.

Karya seni sebagai perwujudan gagasan seniman yang paling personal, membutuhkan sebuah jembatan yang menghubungkannya dengan publik sebagai apresiatornya. Jembatan yang mampu membaca dan kemudian mengungkapkan apa-apa yang terkandung dalam bahasa seniman yang khas dan personal, ke dalam bahasa yang lebih universal. Dan, fungsi jembatan tersebutlah yang diemban oleh sebuah tulisan kritik seni.

Sebuah kritik seni, bagaimanapun tidak sekadar berisi gagasan-gagasan si kritikus. Tapi lebih dari itu, juga berisi catatan-catatan serta penjabaran-penjabaran dari segala hal yang bisa ditemukan dalam sebuah karya. Melalui penjabaran-penjabaran tersebut, sebuah tulisan kritik seni dapat berfungsi sebagai zona refleksi, konfirmasi, dan jembatan antara karya seni dengan dunia luas di sekitarnya.

Tulisan-tulisan kritik seni sudah sejak lama hadir di halaman-halaman media massa. Lewat lembaran-lembaran di media massa inilah justru budaya kritik seni rupa hidup dan tumbuh subur. Melalui tulisan-tulisan kritis ini pula dikenal sosok Sanento Yuliman, kritikus seni rupa yang memiliki pandangan khas terhadap gejala-gejala seni rupa Indonesia.

Pameran berjudul Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992)-Pameran Karya dan Arsip, yang berlangsung hingga Minggu (15/1) di Gedung Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, adalah upaya untuk mengingat kembali apa-apa saja yang sudah dikerjakan Sanento Yuliman, baik sebagai jurnalis, seniman, esais, maupun kritikus seni rupa. Karya berupa gagasan-gagasan kritis itu tertuang dalam bentuk lukisan, karikatur, puisi, esai, hingga buku dan arsip.

“Pameran ini juga hendak menghadirkan kembali khasanah yang terutama bersumber dari naskah Sanento Yuliman. Ia telah menyemai begitu banyak pikiran dan gagasan. Kekayaan itu kini mestinya sudah harus dituai untuk mendorong gagasan-gagasan kritis baru,” kata Hendro Wiyanto, salah satu kurator pada pameran ini.

Masih menurut Hendro, kritik seni rupa sebutlah kritik jurnalistik, tentunya ditulis dengan membayang-bayangkan kerangka, kaitan, hubungan antar-peristiwa atau narasi lebih luas yang melampaui gagasan individu seniman, dalam hal ini Sanento Yuliman dan karyanya.

Akan tetapi tentu saja berlaku sebaliknya, himpunan catatan kritikus adalah bahan-bahan yang tak bisa diabaikan begitu saja bagi narasi, studi dan tafsir sejarah yang tengah atau kelak berhasil disusun oleh para ahlinya.

“Kita telah mencatat bahwa sebagai pemikir seni rupa, Sanento Yuliman telah meninggalkan warisan yang tidak kecil artinya, sekaligus kerangka pekerjaan rumah untuk dilanjutkan; sketsa, permulaan, pengantar. Bahan-bahan arsip untuk mengingat-ingat tokoh ini pada pameran ini terentang sudah sejak ia menyiarkan esai-esai kebudayaannya menjelang akhir 1960-an,” papar Hendro.

Setelah masa itu, Sanento menunjukkan perhatiannya pada berbagai pokok agama, filsafat, seni, politik, dan masyarakat. Tak hanya itu, Sanento juga banyak menulis karya sastra terutama puisi. Puisi panjangnya berjudul Laut (1968) dan esainya yang cemerlang berjudul Di Bawah Bayangan Sang Pahlawan (1968) memperoleh penghargaan dari majalah sastra Horison, majalah sastra yang konon dianggap paling berwibawa pada masa itu.

Bahkan mulai Maret 1972 hingga April 1974, Sanento tercatat sebagai salah seorang redaksi di majalah tersebut. Tidak boleh dilupakan pula adalah keterlibatan Sanento di dunia teater. Ia salah satu yang merintis Studi Teater Nahasiswa (STEMA) ITB, bersama Haryadi Suadi, T Sutanto, dan Abay Subarna.

Sanento juga terlibat dalam grup Teater Perintis yang didirikan Jim Adhi Limas dan Suyatna Anirun, yang membawanya berpentas di sejumlah pertunjukan. Pada akhir 1960-an, orang mengenal Sanento selain sebagai esais juga kartunis yang tajam dan ilustrator andal.

Bahkan, sampai 1971, Sanento masih dikenal sebagai pelukis. Pameran Grup 18 Seniman-seniman Bandung yang diadakan di Taman Ismail Marzuki adalah kegiatan Sanento yang terakhir sebagai seniman. Lalu, pada 1984, Sanento memperoleh Anugerah Adam Malik dari Yayasan Adam Malik sebagai kritikus seni rupa Indonesia terbaik.

“Dasar-dasar kritik seni rupa Sanento sesungguhnya sudah tegak pada akhir 1960-an, ketika ia merampungkan skripsinya untuk Seni Rupa-Bagian Perencanaan & Seni Rupa, ITB (1968). Di mana, ia lebih memilih proyek penulisan ketimbang pameran untuk studi akhirnya di sana. Skripsi berjudul ‘Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis di Indonesia’ itu memperoleh penghargaan Anugerah Hamid Bouchouareb dari Seni Rupa ITB,” ujar Hendro.

“Bagi Sanento, dengan keterbatasan yang melekat pada media massa, kritik adalah survei berguna untuk mengantarkan khalayak pembaca pada pengantar pertama memasuki penghayatan artistik. Kritik jurnalistik sebaiknya menghindari apa yang disebutnya sebagai snap judgment, penilaian tergesa-gesa karena kekurangan analisa dan keterbatasan tempat untuk menjelaskan pokok perkara,” pungkas Hendro.

Setelah masa itu, Sanento menunjukkan perhatiannya pada berbagai pokok agama, filsafat, seni, politik, dan masyarakat. Bersamaan dengan pameran yang digagas Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini, juga diterbitkan buku Trilogi Kumpulan Kritik Seni Rupa, sebagai hasil kerja sama Komite Seni Rupa DKJ dengan penerbit Gang Kabel.

Tiga buku yang merupakan rangkaian produksi pengetahuan Seri Wacana Seni Rupa DKJ ini, masing-masing berjudul Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992) oleh Sanento Yuliman, Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Oei Sian Yok (1956-1961), dan Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Bambang Bujono (1969-2019).

Ketiga buku ini diterbitkan sebagai upaya untuk melengkapi kearsipan esai-esai dan tulisan-tulisan kritik seni rupa yang tercecer. Selain itu, ketiga buku ini juga dapat diposisikan sebagai pengingat, bahwa di samping para seniman, perjalanan seni rupa Indonesia juga telah diwarnai oleh kehadiran para kritikus yang telah berkontribusi banyak terhadap perkembangan seni rupa Indonesia melalui gagasan serta pandangan-pandangannya.

“Melalui pameran dan penerbitan buku seri wacana Seni Rupa DKJ, diharapkan dapat terjawab kebutuhan arsip sebagai wahana rekoleksi pengetahuan dan pembacaan ulang yang dapat dikaitkan dengan pemikiran-pemikiran kritik seni rupa Indonesia saat ini,” kata Plt Ketua DKJ Danton Sihombing.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3956 seconds (0.1#10.140)