Film Semesta Tampilkan Kisah Inspiratif 7 Tokoh Agama dan Adat

Rabu, 29 Januari 2020 - 19:30 WIB
Film Semesta Tampilkan Kisah Inspiratif 7 Tokoh Agama dan Adat
Film Semesta Tampilkan Kisah Inspiratif 7 Tokoh Agama dan Adat
A A A
JAKARTA - Semesta, film dokumenter produksi Tanakhir Films dijadwalkan tayang secara terbatas di bioskop Indonesia pada 30 Januari 2020. Film Semesta berkisah tentang tujuh sosok dari tujuh provinsi di Indonesia yang bergerak memelankan dampak perubahan iklim dengan merawat alam atas dorongan agama, kepercayaan, dan budaya masing-masing.

Mereka yang muncul dalam film ini dipilih setelah melalui proses riset. Seperti Tjokorda Raka Kerthyasa, tokoh budaya di Ubud, Bali. Bersama segenap umat Hindu menjadikan momentum Hari Raya Nyepi sebagai hari istirahat alam semesta. Posisi Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca yang berkontribusi tinggi terhadap pemanasan global. Dihentikannya penggunaan listrik, transportasi, dan industri selama satu hari selama Nyepi ternyata memberi efek luar biasa dalam pengurangan emisi harian di Bali.

Kemudian ada Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat. Dia memastikan pentingnya penduduk desa memahami dan mengikuti langkah tata cara adat dalam melindungi dan melestarikan hutan. Sebab dengan cepatnya deforestasi, hanya tata cara masyarakat adat dalam mengelola hutan yang menjadi harapan terbaik terhadap perlindungan hutan. Bagi masyarakat hutan adat di Dusun Sungai Utik, tanah adalah ibu, sementara air adalah darah.

Romo Marselus Hasan, Pemimpin Agama Katolik di Bea Muring, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang menyelipkan pesan kepada para jemaatnya untuk berdamai dan menjaga pelestarian alam, terutama sumber mata air. Desa Bea Muring belum dialiri listrik, sehingga masyarakat terpaksa menggunakan generator untuk sumber listrik mereka. Namun generator tidak hanya bising, tapi juga mengeluarkan emisi yang berbahaya bagi alam. Tujuh tahun lalu, bersama warga di sana, Romo Marselus secara mandiri membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro, yang notabene merupakan sumber listrik yang berkelanjutan dan bersih.

"Umumnya kita pikir menjaga lingkungan bisa dilakukan dengan perbuatan besar, padahal enggak. Mereka ini bisa melakukan (menjaga lingkungan) dengan cara sederhana. Mereka punya pemikiran yang sangat advance, sangat dikagumi dalam menjaga lingkungan dan perubahan. Awalnya kita pikir harus besar dari regulasi dan segalanya tapi no," papar Nicholas Saputra, salah satu produser film Semesta, saat berkunjung ke Gedung Sindo, Jakarta, Rabu (29/1/2020).

Meski fokus utama film Semesta tentang perubahan iklim, unsur pemberdayaan perempuan dan community development juga menjadi salah satu kisah yang diangkat. Ini tercermin lewat pemilihan Almina Kacili, Kepala kelompok wanita gereja di Kapatcol, Papua Barat. Bersama ibu-ibu anggota kelompoknya, Almina Kacili membantu penyeimbangan alam melalui Sasi, sebuah tradisi kearifan lokal yang menjaga keberlangsungan sumber daya alam dengan melindungi wilayahnya dari eksploitasi, terutama oleh nelayan-nelayan yang menggunakan peralatan ilegal.

"Awalnya kita cari tokoh dan orang untuk lingkungan dan berkembang. Kita cari women empowerment dan otomatis hal itu diangkat. Dan di Aceh, orang tinggal dekat dengan alam dan mau enggak mau ngomong gajah. Enggak ada skrip, ini bener-bener kejadian nyata dan apa adanya aja," ujar Nicholas.

Selanjutnya tokoh yang menempati wilayah paling barat Indonesia adalah Muhammad Yusuf. Sehari-hari, dia menjadi imam di Desa Pameu, Aceh. Dalam setiap, kesempatan tak henti dia memperingatkan penduduk untuk berdamai dengan alam, termasuk ketika memberikan khutbah di masjid. Hal yang mendorongnya memperingatkan masyarakat lantaran melihat praktik penebangan hutan yang merupakan salah satu faktor yang mempercepat terjadinya pemanasan global.

Ini berdampak pula pada rusaknya habitat alami gajah liar. Akibatnya gajah-gajah yang sudah tak mempunyai rumah tersebut memasuki daerah permukiman warga. Konflik antara gajah liar dan masyarakat pun banyak terjadi di sepanjang hutan di pulau Sumatera. Kemudian ada Iskandar Waworuntu yang bertahun-tahun lalu memutuskan hijrah dari kehidupannya dahulu dan hidup dari sebidang tanah kering, sebuah tempat yang ia beri nama Bumi Langit.

Melalui komitmen untuk menjalani praktik thayyib, Pak Is sapaan akrabnya, dengan dukungan keluarganya menggunakan ilmu permakultur untuk berhubungan kembali dengan alam. Mereka membuka pintu bagi siapa saja untuk belajar dan berbagi di bumi langit dalam menyebarkan pemahaman untuk secara sadar kembali pada kebaikan.

Lantas, ada Soraya Cassandra, petani kota pendiri Kebun Kumara, Jakarta. Melalui sebuah kebun yang dia kelola di pinggiran ibu kota, Sandra melakukan kampanye prinsip-prinsip belajar dari alam yang secara kreatif mengubah tanah di kota menjadi hijau kembali.

Dalam membangun kisah dari setiap tokoh atau lokasi tadi, sutradara Chairun Nissa yang juga akrab disapa Ilun ini tetap memakai struktur penceritaan tiga babak. Dengan demikian, para penonton tetap akan mendapatkan bagian pengenalan, permasalahan, dan penyelesaian seperti yang biasanya dijumpai dalam film fiksi.

“Untuk sudut pandang, kami mencoba mengulik hal-hal ringan yang kita semua bisa lakukan dalam keseharian. Tujuannya agar penonton juga bisa memilih mempraktikkan bagian mana yang paling dekat dengan keseharian mereka,” tambah Ilun.

Dilanjutkannya bahwa pendekatan kreatif tadi sangat diperlukan agar pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini dapat dengan mudah dimengerti oleh para penonton dari berbagai kalangan. Sementara itu, Pemanasan global karena ulah manusia yang mengakibatkan kerusakan dalam banyak aspek kehidupan seharusnya dipandang sebagai tanggung jawab semua orang. Menurut aktor 35 tahun itu, sudah sepatutnya juga setiap orang berkontribusi dalam merawat alam.

Berdasarkan pengalamannya menjelajahi berbagai daerah di Tanah Air, Nicholas yang juga dikenal publik sebagai aktor mengungkapkan krisis ekologi di Indonesia sudah semakin mengkhawatirkan. “Makanya penting untuk menjaga kondisi alam kita sekarang juga,” sambung pemeran tokoh Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta? ini.

Produser Semesta, Mandy Marahimin, mengatakan berbagai istilah seperti perubahan iklim, pemanasan global, dan lain-lain jangan sampai membuat kita jadi apatis melakukan sesuatu untuk lingkungan sekitar. “Tidak selalu harus butuh langkah-langkah besar pula untuk mengatasi kondisi tersebut. Film ini menunjukkan bahwa langkah-langkah kecil yang kita lakukan juga bisa memberikan dampak besar untuk merawat dan melestarikan alam Indonesia,” kata Mandy.

Hal tersebut tampak dari aktivitas merawat alam dan lingkungan yang dilakukan oleh tujuh tokoh dalam film ini. Semuanya merupakan kegiatan sederhana. Siapa pun, tanpa memandang umur, status, agama, dan tempat tinggal bisa melakukannya dalam keseharian. Kehadiran film Semesta diharapkan tidak hanya menjadi pengingat sementara, tapi juga memantik gerakan menjaga dan memelihara alam yang berkesinambungan.

(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4688 seconds (0.1#10.140)