Produk Palsu Semakin Merajalela, Brand Ternama Paling Banyak Ditiru

Sabtu, 15 Februari 2020 - 06:27 WIB
Produk Palsu Semakin...
Produk Palsu Semakin Merajalela, Brand Ternama Paling Banyak Ditiru
A A A
JAKARTA - Siapa tak tahu brand Gucci, Channel, Louis Vuitton, Fendi, dan Prada. Barang-barang itu dikenal memiliki harga fantastis, sehingga tidak sembarang orang bisa memilikinya. Namun, bagaimana jika brand ternama itu bisa didapatkan dengan harga Rp300 ribuan?

Lewat smartphone dan kelihaian jemari dalam memilih online shop yang tersedia di Instagram, Anda sudah bisa mendapatkan sejumlah barang branded dengan harga miring.

Jika Anda mengetik tas branded murah di pencarian Instagram, banyak sekali akun yang menawarkan berbagai tas bermerek dengan harga yang ramah di kantong. Mereka juga tak segan-segan mencantumkan nomor telepon dan rekening untuk para peminat yang ingin melakukan pemesanan.

Tas kecil berwarna hitam dengan motif huruf D besar keluaran brand ternama Christian Dior misalnya, ditawarkan dengan harga Rp299 ribu. Hargaini tentu sangat tidak masuk akal. Digerai aslinya, harga tas untuk seri Mini Lady Dior Embroidered dibanderol dengan harga USD7.300 atau sekitar Rp100 juta (kurs Rp13.720).

Tas keluaran rumah mode asal Paris, Prancis, Louis Vuitton, juga ditawarkan di link Instagram ini. Tas berlogo LV seri neo mono bordir tersebut ditawarkan dengan harga Rp450 ribu. Harga tersebut sudah termasuk box dan longstrap. Bila dibandingkan dengan harga aslinya, tas ini dibanderol sekitar Rp15 juta.

Seperti dilansir CNN Money, naiknya bisnis barang imitasi atau KW itu karena pasar barang tersebut terus meningkat dan terus dicari. Salah satu alasannya adalah tidak semua orang bisa membeli barang branded tersebut.

Bahkan, menurut Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), saat ini jumlah perdagangan barang palsu dan bajakan secara global berkisar USD500 miliar atau Rp6.860 triliun per tahun, di mana sekitar 20% transaksi melanggar hak kekayaan intelektual milik Amerika Serikat.

Pada data 2019, perdagangan barang KW dunia memiliki porsi 2,5% dari total nilai perdagangan dunia. Hal ini mengalami kenaikan dari 2008 yang porsinya mencapai 1,9%.

Brand Louis Vuitton menjadi merek paling banyak ditiru hingga 50,9%, sementara Gucci ada di posisi kedua dengan 13,5%, diikuti Channel dengan 12,3%. Sisanya 23,4% dipegang merek lain.

Diketahui memang untuk urusan barang palsu atau imitasi, China bisa dikatakan sebagai juaranya. KW uni Eropa dari China bisa mencapai 5% dari total impor.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia(Aprindo) Roy Nicholas Mandey, kehadiran barang imitasi sudah menjadi hal lumrah di Indonesia. Peredarannya pun seakan menjadi ancaman tersendiri bagi produk asli. Hal ini karena harga yang ditawarkan oleh barang imitasi jauh lebih murah ketimbang aslinya.

Menjamurnya bisnis barang palsu ini, juga tidak terlepas dari masih minimnya kesadaran dan kemampuan daya beli masyarakat itu sendiri. “Sebenarnya barang bermerek itu nilai jualnya sangat tinggi, ditambah mampu menunjang pendapatan karena mereka berani membuka gerainya disini. Tapi sayangnya tidak diimbangi dengan kemampuan ekonomi di negara setempat,” tutur Roy.

Lantas, apa yang membuat peredaran produk palsu terus naik? Salah satunya, ada beberapa pemilik merek besar yang kurang peduli dengan penegakan hukum. Mereka yakin bahwa produknya hanya bisa dikenakan oleh kalangan kelas atas; dan bila digunakan oleh kalangan bawah, mereka sudah bisa memastikan produk tersebut palsu.

“Selain pemilik merek yang tidak peduli, edukasinya juga kurang. Karena itu, memang perlu peningkatan penegakan hukum yang membuat efek jera. Contohnya ada penggerebekan, tapi setelah itu tidak dilanjutkan langkah hukumnya,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani.

Haryadi menambahkan, adanya Undang-Undang No13/2016 tentang Merek, dapat berperan menurunkan tingkat kerugian dari penjualan barang imitasi ini. Namun, tetap harus dilihat apakah pemilik label tersebut melaporkan kerugiannya atau tidak.

Dia menambahkan, kerugian akibat banyaknya peredaran barang palsu juga berpengaruh terhadap perekonomian negara. “Tentunya memiliki pengaruh besar dari pajak barang mewah, lapangan pekerjaan dimana brand ternama tersebut enggan membuka gerainya lagi di sini, dan investasi. Oleh karena itu, harus segera dilakukan tindakan keras,” kata Haryadi.

Pihaknya tidak bisa berteriak sendiri jika kerugian ekonomi meningkat. Namun, kenyataannya pemilik hak patennya diam saja.

Untuk jenis barangnya, sepatu adalah yang paling sering ditemui, lalu busana, produk berbahan kulit, kosmetik, gawai, obat, dan mainan. “Kalau konsumen Indonesia, willingness produk elektronik, ponsel, komputer, dan aksesori. Mereka seolah tidak peduli apakah barang tersebut asli atau palsu. Namun, mereka tidak pernah main-main untuk membeli produk kesehatan,” tutur Haryadi. (Aprilia S Andyna/Anton C/M Ridwan)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2370 seconds (0.1#10.140)