Fashion Indonesia Menyambut AFTA

Minggu, 30 November 2014 - 10:20 WIB
Fashion Indonesia Menyambut...
Fashion Indonesia Menyambut AFTA
A A A
Euforia fashion Indonesia telah mengemuka dengan adanya pekan mode rutin setiap tahun. Para desainer muda bermunculan dan label busana lokal bertebaran. Namun, dengan eurofia tersebut dan semakin sadarnya masyarakat terhadap mode, sebenarnya seberapa siap fashion sebagai industri dapat menopang kebersaingan dengan pasar bebas?

Pertanyaan itu sejauh ini hanya dapat digapai sejumlah stakeholder yang berada di dekat sektor tersebut, belum secara mendalam dan menjawab dengan pasti persiapan menuju pasar bebas yang hanya menunggu hitungan hari. Seperti diketahui, tak lama lagi akan diterapkan regulasi pasar bebas, khususnya di kawasan ASEAN. Dengan berlakunya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 2015, produk fashion buatan Indonesia diberi kesempatan untuk merambah pasar global.

Dampaknya adalah tingkat persaingan antara produk lokal dan asing yang semakin kompetitif. Untuk dapat “menahan” serangan produk asing, sekaligus melakukan ekspansi dengan menyerang pangsa pasar luar negeri, para pelaku mode harus memiliki fondasi industri fashion dari hulu hingga hilir, baik di sektor kreatif maupun bisnis yang tangguh dan mapan.

Namun yang terjadi sekarang tampaknya, para desainer dan masyarakat yang sudah sadar mode ini justru cenderung mencurahkan pada kreativitas desain saja dan mengalahkan sektor bisnis yang justru menjadi penentu melaju atau mandeknya industri mode Indonesia. Sudah siapkah industri mode Indonesia menghadapi pasar bebas?

Menurut Ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Taruna K Kusmayadi, dari segi bisnis, yang sebenarnya merupakan tujuan utama penyelenggaraan acara pekan mode, tampak masih belum memberikan angin segar.

“Ketika mengadakan fashion show, bahkan mengikuti fashion week , para pelaku mode, terutama desainer di Tanah Air masih berkutat pada persoalan menciptakan image dan melakukan branding tanpa dibarengi dengan persiapan produksi, serta distribusi secara ritel yang justru menjadi tolok ukur keberhasilan suatu bisnis mode,” sebutnya dalam forum group discussion (FGD) Indonesia Fashion Week di Jakarta, Rabu (26/11) lalu.

Menurut dia, para pelaku mode di Indonesia seakan cukup puas dengan karyanya yang diperagakan di runway, memperoleh tepuk tangan dan pujian dari penonton, serta ekspos besar-besaran dari media massa. Nasib rancangan setelah fashion show usai, Taruna menyebutkan, seakan menjadi urusan nanti yang bisa dikatakan beberapa kejadian bahwa jalur distribusinya masih belum matang. Bahkan, bisa terjadi produksinya ternyata belum bisa memenuhi permintaan buyer.

“Pada akhirnya, ketika masyarakat telah sadar tren dan melek mode ingin membeli dan memakai produk seperti yang dilihatnya di panggung mode, mereka kesulitan menemukannya di pasaran,” ujar Taruna. Menurut dia, sungguh sangat disayangkan bila akhirnya yang menjawab kebutuhan konsumen tersebut justru sejumlah brand internasional yang sangat mudah dijumpai di berbagai mal dan department store yang menjamur di Indonesia.

Sebut saja, Uniqlo yang telah lebih dari setahun masuk Indonesia dan membuka lebih dari 5 cabang di Jakarta. Kemudian ada department store asal Swedia yang juga hampir ada di setiap mal besar di Jakarta. Begitu pun department store asal Prancis, Galeries Lafayette, dan yang terbaru department store asal Thailand, Central, di Grand Indonesia.

Sama halnya dengan produk Tiongkok yang lebih mudah ditemui di pasaran, seakan menjawab kebutuhan konsumen yang menginginkan harga murah. Di balik itu, sebenarnya sebelum pasar global itu dimulai, blue print industri mode 2025 sebagai salah satu pusat mode sudah lama dirancang lewat penyelenggaraan Indonesia Fashion Week (IFW ).

Dengan fondasi mengangkat kekuatan lokal dan kepedulian lingkungan, IFW juga ingin mengarahkan pelaku industri mode Indonesia untuk siap berkompetisi dengan produk dari luar. Mulai tahun 2015 pun, IFW akan menekankan pada sektor bisnis, salah satunya dengan Indonesia Bussines Fashion Development yang ditujukan bagi desainer dan label lokal.

“Kami harap ini menjadi sebuah movement (gerakan) untuk mengangkat kekuatan fashion lokal. Dan, kalau mengangkat lokal tidak saja pada pelaku, tapi juga masyarakat. Langkahnya melakukan inovasi dan branding sehingga mindset konsep dari brand Indonesia agar tidak terpaku brand luar,” ujar Dina Midiani, Direktur IFW.

Saat ini untuk melangkah lebih jauh ke arah persaingan bebas, tim IFW pun terus melakukan riset pengembangan, di antaranya produk pasar teknis, lalu kompetensi, dan sisi bisnis. Karena itu, peserta IFW harus masuk pameran dulu, kemudian fashion show agar produk ada di pasar. “Titik yang sama juga dilakukan untuk menciptakan busana ready-to-wear dengan craft fashion yang ada unsur lokal. Craft juga tidak hanya pakai, tapi ada upaya menciptakan kekhasan. Inilah yang jadi fondasi kami,” kata Dina.

Selain itu,kerja sama dengan pabrik garmen agar koleksi para desainer mampu diproduksi secara massal untuk bisa memenuhi pasar dan level desainer yang ternyata, menurut Dina, masih banyak yang merupakan usaha kecil menengah (UKM), bahkan lebih di bawahnya. Membuat para pelaku mode harus lebih gencar lagi berusaha menambah kapasitasnya menghadapi persaingan bebas.

Meski yang kita juga ketahui, sejumlah desainer Indonesia, seperti Tex Saverio, Yosafat Dwi Kurniawan, Nur- Zahra, Jenahara, Dian Pelangi, Toton, dan Major Minor telah menginjakkan kaki di beberapa pekan mode dunia. Namun, sebagian besar desainer lainnya pun masih perlu mendapat perhatian dan pembelajaran untuk menghadapi pasar bebas.

“Perusahaan melalui CSR bisa saja membantu para desainer yang nyatanya masih di level UKM, bahkan di bawahnyamelalui pengembangan beberapa brand lokal,” sebut Taruna.

Dyah ayu pamela
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5747 seconds (0.1#10.140)