Batik Membumi ala Yanny
A
A
A
DESAINER Yanny Tan menggelar fashion show yang mengharmonisasikan batik dengan budaya Tiongkok. Bertajuk “Ancestry”, ini adalah desain yang menurutnya bisa menginspirasi perempuan Indonesia.
Digelar di Museum Nasional beberapa waktu lalu, “Ancestry “ yang dipakai sebagai tema memiliki arti kenangan kolektif masa lampau untuk mengenang nenek moyang. Pagelaran yang ditata dalam nuansa tradisional dan panggung berhias bambu dalam kentongan itu dibuka dengan persembahan nyanyian paduan suara bersama penampilan sang desainer asal Solo tersebut secara harmoni.
Mereka melantunkan beberapa lagu daerah termasuk Cublak-Cublak Suweng di atas panggung. Dalam tiga sequence, koleksi berjumlah 48 busana dari karya terbaru milik Yanny tersebut menempatkan cerita tersendiri tentang perjalanan sejarah desain yang erat kaitannya dengan kebanggaan terhadap kekayaan budaya lokal. Tampilan batik sebagai embrio utama busana terasa halus dominan di keseluruhan koleksi.
Kecintaan desainer kelahiran Solo ini terhadap budaya menurutnya ingin dia tunjukkan dalam aktivitas keseharian. Dia pun mengatakan pagelaran koleksinya adalah caranya untuk menunjukkan kecintaannya. “Saya ingin merangkul gaya dari wanita modern, koleksinya juga mengusung potongan rapi, elegan, dan mengkombinasikan warna-warna lembut dan netral,” ujar Yanny saat ditemui di sela-sela acara.
Sequencepertama hadir dalam 12 busana ready-to-wear dengan keragaman warna-warna alam dan siluet A untuk acara kasual. Sentuhan sisi natural batik yang sangat membumi terasa demikian halus dibabak pertama. Muncul nada warna tanah seperti cokelat yang keemasan, abu-abu, maupun hijau serta batik sebagai sebuah kain yang dililitkan dalam berbagai variasi bentuk rok.
Deretan busananya pun mengalir dalam material halus seperti sifon, beberapa eksperimen dari sutera banyak dijadikan dalam bentuk selendang atau scarf yang melilit leher. “Dari segi potongannya saya ambil simpletapi elegan dan ada kerah cheongsam. Karakter yang memakai busana ini pun akan tercermin sebagai wanita yang up to date, feminim, down to earthkarena penggunaan batik itu sendiri,” jelas Yanny lagi.
Sementara sequencekedua muncul 24 tampilan batik lilitan dan cheong dengan motif flora dan fauna. Disinilah kekayaan batik begitu banyak diutarakan dalam motif-motif cantik berpadu siluet atasan yang beragam dengan potongan bermain di seputar leher. Motif ini pun ikut terinspirasi dari filosofi nenek moyang yang masih dibawa sampai saat ini.
Ada beberapa yang menarik dari motif yang dipakai dikoleksi ini, yaitu terdapat filosofi seperti burung bangau sebagai simbol kesetiaan, cinta kasih dan bunga krisan yang artinya bahagia. Sementara burung walet bermakna menjaga kekayaan. Adapun untuk detailnya kita akan juga melihat ornamen natural seperti potongan bambu yang dibentuk sedemikian rupa.
Tanpa aksen blingbling, busana yang ditampilkan Yanny ini begitu terkesan membumi. Kemudian sequence terakhir terdiri dari 9 gaun malam dan 3 busana pengantin wanita dengan detail yang terinspirasi dari alam untuk evening wear dan detail cascadedi busana pengantin. Evening gown dan lady look mendominasi sequence terakhir dengan tambahan nuansa putih di dalamnya.
“Kita tak harus tradisional apa adanya, tapi dengan gaya yang sophisticatedpun tetap bisa berekspresi dengan percaya diri tanpa kehilangan identitas sebagai wanita Indonesia,” sebut desainer yang memulai kariernya sejak 2006 silam ini. Adapun peragaan karya dari Yanny kali ini didukung oleh High End Magazine.
Dyah ayu pamela
Digelar di Museum Nasional beberapa waktu lalu, “Ancestry “ yang dipakai sebagai tema memiliki arti kenangan kolektif masa lampau untuk mengenang nenek moyang. Pagelaran yang ditata dalam nuansa tradisional dan panggung berhias bambu dalam kentongan itu dibuka dengan persembahan nyanyian paduan suara bersama penampilan sang desainer asal Solo tersebut secara harmoni.
Mereka melantunkan beberapa lagu daerah termasuk Cublak-Cublak Suweng di atas panggung. Dalam tiga sequence, koleksi berjumlah 48 busana dari karya terbaru milik Yanny tersebut menempatkan cerita tersendiri tentang perjalanan sejarah desain yang erat kaitannya dengan kebanggaan terhadap kekayaan budaya lokal. Tampilan batik sebagai embrio utama busana terasa halus dominan di keseluruhan koleksi.
Kecintaan desainer kelahiran Solo ini terhadap budaya menurutnya ingin dia tunjukkan dalam aktivitas keseharian. Dia pun mengatakan pagelaran koleksinya adalah caranya untuk menunjukkan kecintaannya. “Saya ingin merangkul gaya dari wanita modern, koleksinya juga mengusung potongan rapi, elegan, dan mengkombinasikan warna-warna lembut dan netral,” ujar Yanny saat ditemui di sela-sela acara.
Sequencepertama hadir dalam 12 busana ready-to-wear dengan keragaman warna-warna alam dan siluet A untuk acara kasual. Sentuhan sisi natural batik yang sangat membumi terasa demikian halus dibabak pertama. Muncul nada warna tanah seperti cokelat yang keemasan, abu-abu, maupun hijau serta batik sebagai sebuah kain yang dililitkan dalam berbagai variasi bentuk rok.
Deretan busananya pun mengalir dalam material halus seperti sifon, beberapa eksperimen dari sutera banyak dijadikan dalam bentuk selendang atau scarf yang melilit leher. “Dari segi potongannya saya ambil simpletapi elegan dan ada kerah cheongsam. Karakter yang memakai busana ini pun akan tercermin sebagai wanita yang up to date, feminim, down to earthkarena penggunaan batik itu sendiri,” jelas Yanny lagi.
Sementara sequencekedua muncul 24 tampilan batik lilitan dan cheong dengan motif flora dan fauna. Disinilah kekayaan batik begitu banyak diutarakan dalam motif-motif cantik berpadu siluet atasan yang beragam dengan potongan bermain di seputar leher. Motif ini pun ikut terinspirasi dari filosofi nenek moyang yang masih dibawa sampai saat ini.
Ada beberapa yang menarik dari motif yang dipakai dikoleksi ini, yaitu terdapat filosofi seperti burung bangau sebagai simbol kesetiaan, cinta kasih dan bunga krisan yang artinya bahagia. Sementara burung walet bermakna menjaga kekayaan. Adapun untuk detailnya kita akan juga melihat ornamen natural seperti potongan bambu yang dibentuk sedemikian rupa.
Tanpa aksen blingbling, busana yang ditampilkan Yanny ini begitu terkesan membumi. Kemudian sequence terakhir terdiri dari 9 gaun malam dan 3 busana pengantin wanita dengan detail yang terinspirasi dari alam untuk evening wear dan detail cascadedi busana pengantin. Evening gown dan lady look mendominasi sequence terakhir dengan tambahan nuansa putih di dalamnya.
“Kita tak harus tradisional apa adanya, tapi dengan gaya yang sophisticatedpun tetap bisa berekspresi dengan percaya diri tanpa kehilangan identitas sebagai wanita Indonesia,” sebut desainer yang memulai kariernya sejak 2006 silam ini. Adapun peragaan karya dari Yanny kali ini didukung oleh High End Magazine.
Dyah ayu pamela
(ftr)