Kolaborasi Budaya Anthology
A
A
A
Kolaborasi budaya hadir dalam fashion show bertema “Anthology” karya dari desainer asing di Indonesia Fashion Week (IFW ) 2015 pada Kamis (26/2). Karya desainer India Siddharth Shashankan dan desainer Jepang Steven Tach.
Koleksi kedua desainer sarat dengan sisi tradisional. Irama beats musik mengalir sebagai backsound saat model di catwalk, mengenakan busana dari perancang asal India, Siddharth Shashankan. Koleksi bertema “Aggrandize” muncul perlahan dalam keseluruhan tampilan siluet bernuansa khas tradisional India yang digarap menjadi modern.
Potongan celana jaipur, atasan berupa crop top, yang berpadu selendang menyampir di salah satu sisi bahu, menjadi highlight koleksinya. Inspirasi di balik koleksi tersebut lahir dari kerusakan dan kepunahan habitat satwa harimau yang diburu untuk diambil kulit, kuku, maupun giginya.
“Desain juga mengambil inspirasi dari Kintsukuroi, seni Jepang yang sangat indah. Seni kuno ini melibatkan pemulihan apa yang rusak atau patah menggunakan serbuk logam,” cerita Siddharth. Siddharth telah membuat sebagian besar dari bentuk seni Kintsukuroi ini dengan memastikan bahwa sesuatu yang rusak dapat dikembalikan ke bentuk asli, bahkan bisa dibuat menjadi lebih baik.
Keinginannya dalam desain koleksi memiliki filosofi untuk menunjukkan daya tarik seni setelah melalui bekas luka, waktu pemulihan, dan sejarah untuk meningkatkan nilainya diterjemahkan ke dalam koleksi yang dramatis. Adapun harimau sebagai hewan nasional di India menjadi tema koleksinya.
Karena itu, makna dari inspirasi dalam kreasinya diartikan sebagai desain yang ingin menyatakan keyakinan bahwa meskipun faktor eksternal berkontribusi membuat kerusakan atau punahnya keindahan, tetap selalu ada cara untuk memperbaikinya. Bahkan lebih indah dari yang pernah dibayangkan.
Deretan busananya turut mewakili seni dalam warna serta kain yang meningkatkan kompilasi dan membuat kesemuanya menonjol. Warna dominan yang digunakan adalah frozen raspberry, louie lilac, sage, dan wine dicelup ke berbagai material sutra murni, termasuk crepes dan satin. Desainnya menyampaikan cinta akan sisi klasik dan kontemporer sebagai pembangkangan dari zaman baru.
Partisipasinya di IFW 2015 merupakan bagian dari rangkaian acara Festival India di Indonesia. Desainer yang berbasis di Chennai dan lulusan dari Raffles Design Institute, Singapura, pada 2007 ini mendapat gelar di bidang fashion design dari Northumbria University, Inggris. Siddharth meluncurkan Hangar Atelier pada Oktober 2009 silam.
Sebagai Direktur Kreatif dan Pendiri Hangar Atelier, Siddharth percaya untuk bisa membangun brand yang menginspirasi individualisme dan eksperimen dengan dua cara, yakni tradisional maupun nontradisional. Adapun desainer asal Jepang, Steven Tach, ikut menampilkan kolaborasi budaya pada kreasinya di IFW 2015.
Dengan mengambil kekayaan kain tradisional Indonesia yang berasal dari Aceh, Makassar, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga batik Cirebon dan Jawa Barat. Aneka bahan tradisional tadi dipadukan dalam sebuah keunikan yang diinterpretasikan pada 15 busana.
Berawal dari keikutsertaannya di IFW 2014 , Steve tertarik mempelajari Indonesia. Setahun silam, Steve memadukan antara baju tradisional Jepang seperti kimono dan yukata dengan pakaian tradisional Jawa. Di label Fashunica by STeVeNTACH yang berpartner dengan Mulia Denny ini, deretan busananya hadir dengan variasi warna yang harmoni.
Hal ini berkat keragaman motif, struktur bahan, palet, dan pemilihan siluet dari pakaian tradisional Jepang yang menarik. Mulia Denny mengaku bertemu Steven diIFW tahun lalu. Karya Steven yang simpel dan chic turut menyita perhatiannya. Mulia menyebutkanSteven sangat menyukai Indonesia dengan banyaknyajenis kain tradisional.
Lalu selama4hari,dia sudah buat belasan desain. Menyambut baik hal itu, keduanya bekerja sama mengangkat keindahan bahan tradisional. “Agar akan ada Steven lainnya, yakni desainer asing yang berkolaborasi mengolah kain wastra Indonesia,” ujarnya.
Dyah ayu pamela
Koleksi kedua desainer sarat dengan sisi tradisional. Irama beats musik mengalir sebagai backsound saat model di catwalk, mengenakan busana dari perancang asal India, Siddharth Shashankan. Koleksi bertema “Aggrandize” muncul perlahan dalam keseluruhan tampilan siluet bernuansa khas tradisional India yang digarap menjadi modern.
Potongan celana jaipur, atasan berupa crop top, yang berpadu selendang menyampir di salah satu sisi bahu, menjadi highlight koleksinya. Inspirasi di balik koleksi tersebut lahir dari kerusakan dan kepunahan habitat satwa harimau yang diburu untuk diambil kulit, kuku, maupun giginya.
“Desain juga mengambil inspirasi dari Kintsukuroi, seni Jepang yang sangat indah. Seni kuno ini melibatkan pemulihan apa yang rusak atau patah menggunakan serbuk logam,” cerita Siddharth. Siddharth telah membuat sebagian besar dari bentuk seni Kintsukuroi ini dengan memastikan bahwa sesuatu yang rusak dapat dikembalikan ke bentuk asli, bahkan bisa dibuat menjadi lebih baik.
Keinginannya dalam desain koleksi memiliki filosofi untuk menunjukkan daya tarik seni setelah melalui bekas luka, waktu pemulihan, dan sejarah untuk meningkatkan nilainya diterjemahkan ke dalam koleksi yang dramatis. Adapun harimau sebagai hewan nasional di India menjadi tema koleksinya.
Karena itu, makna dari inspirasi dalam kreasinya diartikan sebagai desain yang ingin menyatakan keyakinan bahwa meskipun faktor eksternal berkontribusi membuat kerusakan atau punahnya keindahan, tetap selalu ada cara untuk memperbaikinya. Bahkan lebih indah dari yang pernah dibayangkan.
Deretan busananya turut mewakili seni dalam warna serta kain yang meningkatkan kompilasi dan membuat kesemuanya menonjol. Warna dominan yang digunakan adalah frozen raspberry, louie lilac, sage, dan wine dicelup ke berbagai material sutra murni, termasuk crepes dan satin. Desainnya menyampaikan cinta akan sisi klasik dan kontemporer sebagai pembangkangan dari zaman baru.
Partisipasinya di IFW 2015 merupakan bagian dari rangkaian acara Festival India di Indonesia. Desainer yang berbasis di Chennai dan lulusan dari Raffles Design Institute, Singapura, pada 2007 ini mendapat gelar di bidang fashion design dari Northumbria University, Inggris. Siddharth meluncurkan Hangar Atelier pada Oktober 2009 silam.
Sebagai Direktur Kreatif dan Pendiri Hangar Atelier, Siddharth percaya untuk bisa membangun brand yang menginspirasi individualisme dan eksperimen dengan dua cara, yakni tradisional maupun nontradisional. Adapun desainer asal Jepang, Steven Tach, ikut menampilkan kolaborasi budaya pada kreasinya di IFW 2015.
Dengan mengambil kekayaan kain tradisional Indonesia yang berasal dari Aceh, Makassar, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga batik Cirebon dan Jawa Barat. Aneka bahan tradisional tadi dipadukan dalam sebuah keunikan yang diinterpretasikan pada 15 busana.
Berawal dari keikutsertaannya di IFW 2014 , Steve tertarik mempelajari Indonesia. Setahun silam, Steve memadukan antara baju tradisional Jepang seperti kimono dan yukata dengan pakaian tradisional Jawa. Di label Fashunica by STeVeNTACH yang berpartner dengan Mulia Denny ini, deretan busananya hadir dengan variasi warna yang harmoni.
Hal ini berkat keragaman motif, struktur bahan, palet, dan pemilihan siluet dari pakaian tradisional Jepang yang menarik. Mulia Denny mengaku bertemu Steven diIFW tahun lalu. Karya Steven yang simpel dan chic turut menyita perhatiannya. Mulia menyebutkanSteven sangat menyukai Indonesia dengan banyaknyajenis kain tradisional.
Lalu selama4hari,dia sudah buat belasan desain. Menyambut baik hal itu, keduanya bekerja sama mengangkat keindahan bahan tradisional. “Agar akan ada Steven lainnya, yakni desainer asing yang berkolaborasi mengolah kain wastra Indonesia,” ujarnya.
Dyah ayu pamela
(bbg)