Kolaborasi Mode Modern
A
A
A
DESAINER muda yang merupakan alumni dari Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo tampil dalam ajang Indonesia Fashion Week (IFW) 2015 , beberapa waktu lalu.
Sebuah parade busana berjudul “Permixtio” menjadi acuan untuk mengembangkan tema pencampuran, pembauran, dan penggabungan yang diusung. Pencampuran di sini dimaknai sebagai perpaduan glamor-kasual, femininmaskulin, modern-etnik, hingga pilihan gaya padu padan busana. Melalui pergelaran ini, LPTB Susan Budihardjo seperti ingin membangkitkan kembali sisi inovasi yang menjadi kunci orisinalitas sebuah karya.
Bersikap lebih bebas dalam memadukan berbagai bentuk, gaya, dan selera gender dalam berbusana untuk menciptakan karya menarik dari sudut pandang yang berbeda. Pada peragaan ini tampil para alumni LPTB Susan Budihardjo yang telah memiliki label sendiri dan punya kesamaan visi dalam memandang pemutakhiran mode di Indonesia. Sebanyak 60 busana ready-to-wear yang dipresentasikan terdiri atas 20 set busana koleksi Number One, label keluaran LPTB Susan Budihardjo.
Kemudian 10 set baju karya Rani Hatta, 10 set milik Galih Prakarsa, dan 10 kreasi dari Andreas Wen, berikut 10 set hasil mix and match kolaborasi keempat desainer. Dimulai dari koleksi milik Rani Hatta. Lulusan LPTB Susan Budihardjo tahun 2012 ini mengangkat 10 busana muslim ready-to-wear deluxe di bawah label Rani Hatta yang bercerita tentang Jane, seorang perempuan detektif yang dikelilingi pria.
Rani menampilkan sosok Jane lewat padanan jas panjang berpotongan tegas khas pria bersama rok panjang melambai berkesan perempuan lincah. Lalu ada tampilan jaket bomber sebatas paha dengan garis pinggang, dipadukan rok panjang A-line lipit-lipit di seputar pinggang. Pendek kata, gaya ini menginterpretasikan sisi feminin-maskulin dari sosok Jane.
Sementara itu deretan busana dari Galih Prakarsa berjudul “Neo Primitive” mengedepankan ide percampuran yang diangkat dari kehidupan manusia primitif tanpa mengenal gender dalam berpakaian. Unsur “neo” ditambahkan untuk menjunjung kebaruan bentuk dan garis desain. Gaya primitif ditegaskan lewat potongan belahan rok tinggi yang dipadu blus berpotongan halter berkesan modern.
Citra masa kini ikut dibawa dalam permainan mutiara dan bebatuan imitasi yang disusun mengikuti garis potong busana. Pencampuran bahan membiaskan batasan gender dalam sifon, gabardin, brokat, dan french lace secara bersamaan dalam satu tampilan.
Dyah ayu pamela
Sebuah parade busana berjudul “Permixtio” menjadi acuan untuk mengembangkan tema pencampuran, pembauran, dan penggabungan yang diusung. Pencampuran di sini dimaknai sebagai perpaduan glamor-kasual, femininmaskulin, modern-etnik, hingga pilihan gaya padu padan busana. Melalui pergelaran ini, LPTB Susan Budihardjo seperti ingin membangkitkan kembali sisi inovasi yang menjadi kunci orisinalitas sebuah karya.
Bersikap lebih bebas dalam memadukan berbagai bentuk, gaya, dan selera gender dalam berbusana untuk menciptakan karya menarik dari sudut pandang yang berbeda. Pada peragaan ini tampil para alumni LPTB Susan Budihardjo yang telah memiliki label sendiri dan punya kesamaan visi dalam memandang pemutakhiran mode di Indonesia. Sebanyak 60 busana ready-to-wear yang dipresentasikan terdiri atas 20 set busana koleksi Number One, label keluaran LPTB Susan Budihardjo.
Kemudian 10 set baju karya Rani Hatta, 10 set milik Galih Prakarsa, dan 10 kreasi dari Andreas Wen, berikut 10 set hasil mix and match kolaborasi keempat desainer. Dimulai dari koleksi milik Rani Hatta. Lulusan LPTB Susan Budihardjo tahun 2012 ini mengangkat 10 busana muslim ready-to-wear deluxe di bawah label Rani Hatta yang bercerita tentang Jane, seorang perempuan detektif yang dikelilingi pria.
Rani menampilkan sosok Jane lewat padanan jas panjang berpotongan tegas khas pria bersama rok panjang melambai berkesan perempuan lincah. Lalu ada tampilan jaket bomber sebatas paha dengan garis pinggang, dipadukan rok panjang A-line lipit-lipit di seputar pinggang. Pendek kata, gaya ini menginterpretasikan sisi feminin-maskulin dari sosok Jane.
Sementara itu deretan busana dari Galih Prakarsa berjudul “Neo Primitive” mengedepankan ide percampuran yang diangkat dari kehidupan manusia primitif tanpa mengenal gender dalam berpakaian. Unsur “neo” ditambahkan untuk menjunjung kebaruan bentuk dan garis desain. Gaya primitif ditegaskan lewat potongan belahan rok tinggi yang dipadu blus berpotongan halter berkesan modern.
Citra masa kini ikut dibawa dalam permainan mutiara dan bebatuan imitasi yang disusun mengikuti garis potong busana. Pencampuran bahan membiaskan batasan gender dalam sifon, gabardin, brokat, dan french lace secara bersamaan dalam satu tampilan.
Dyah ayu pamela
(ars)