Satu Kali Tak Akan Pernah Cukup

Jum'at, 27 Maret 2015 - 08:52 WIB
Satu Kali Tak Akan Pernah...
Satu Kali Tak Akan Pernah Cukup
A A A
INI adalah pengalaman pertama saya ke Raja Ampat. Saya begitu terbuai dengan keindahan alam dan keramahan orangorang di Papua Barat. Sebuah perkenalan pertama yang saya yakin akan berlanjut ke kunjungan berikutnya.

Perjalanan ke Raja Ampat, saya lakukan pada awal Maret lalu. Berangkat dengan Garuda Indonesia GA 640 pada pukul 23.45 WIB. Pesawat saya transit terlebih dahulu di Makassar. Sampai di Bandara Sultan Hasanuddin sekitar pukul 03.15 waktu setempat, saya tiba-tiba merasa menyesal. Pasalnya, pesawat saya baru akan berangkat ke Sorong pada pukul 07.00.

Saya pikir, alangkah enaknya kalau bisa jalan-jalan dulu di Makassar, hunting foto seperti hobi saya. Tapi karena waktu terbatas, niat itu tidak bisa dilakukan. Terpaksa, saya hanya tidurtiduran di bandara. Tapi saya sudah memasang niat, kalau nanti kembali ke Raja Ampat, saya akan luangkan waktu 1-2 hari untuk istirahat, hunting foto , dan kulineran dulu di Makassar.

Sampai di Sorong, sinar matahari khas Indonesia Timur langsung menyapa saya. Waktu itu sebenarnya masih pukul 10.00 pagi, tapi cuacanya sudah sangat panas, superterik. Saya langsung pakai topi untuk menghalau sinar matahari dari mata. Tapi ini bukan berarti saya langsung tidak semangat untuk menjelajah Raja Ampat.

Karena saya tahu, cuaca terik ini tidak akan sebanding dengan keindahan dan pengalaman seru yang akan saya dapatkan di sini. Dugaan ini pada akhirnya memang terbukti. Dari Bandara Domine Edward Osok, saya langsung menuju pelabuhan rakyat di Sorong untuk menyeberang ke Kepulauan Raja Ampat. Ada beberapa pilihan, salah satunya menggunakan kapal feri setiap pukul 14.00 waktu setempat.

Atau bisa menyewa speedboat , yang tentu saja dengan harga jauh lebih mahal karena sifatnya lebih privat , fleksibel, dan lebih cepat. Saya memilih naik speedboat karena bisa menghemat waktu dibandingkan naik kapal besar. Dengan speedboat , perjalanan hanya memakan waktu 1 jam. Kalau naik kapal besar membutuhkan waktu 3-4 jam.

Memang harga naik speedboat jauh lebih mahal, yakni Rp5 juta-Rp6 juta per hari, tapi jika Anda pergi berombongan atau hanya punya waktu terbatas, naik speedboat adalah pilihan terbaik. Ditambah, kita juga akan diantar langsung ke tempat kita menginap, dengan kondisi jika penginapan kita terdapat jetty (tambatan kapal).

Bagi Anda yang berniat untuk menyewa kapal speedboat untuk menyeberang ke Kepulauan Raja Ampat, waktu yang ideal untuk menyeberang adalah sebelum pukul 12.00 waktu setempat atau sebelum air laut naik akibat gelombang pasang. Bentuk kapal speedboat yang biasanya kecil membuatnya lebih peka terhadap guncangan gelombang pasang.

Satu catatan khusus yang sebaiknya dipatuhi oleh siapa pun yang ingin menyeberang ke Kepulauan Raja Ampat dengan menggunakan speedboat adalah; bila nakhoda kapal Anda memutuskan untuk menunda keberangkatan kapal akibat cuaca buruk atau gelombang pasang atau suatu hal lain, maka Anda harus mematuhinya.

Jangan mencoba bernegosiasi atau memaksakan keberangkatan Anda kepada nakhoda kapal. Para nakhoda dan awak kapal yang beroperasi di perairan Papua Barat dan Kepulauan Raja Ampat ini adalah para profesional yang tumbuh dan ditempa oleh alam di perairan tersebut. Mereka memiliki insting dan kepekaan tersendiri terhadap gejalagejala alam dan cuaca yang terjadi.

Menaiki speedboat , saya sampai di Raja Ampat Dive Resort, tempat saya menginap sekitar pukul 13.00 siang. Saya pikir tidak ada waktu lagi untuk menjelajah. Jadi, saya putuskan untuk bersantai sore saja di sekitar resor, menikmati pantai yang airnya jernih luar biasa.

Bayangkan, dari jarak 50 meter dari garis pantai, saya masih bisa melihat terumbu karang yang masih terjaga ekosistemnya. Sunset ? Wah tentu saja, bisa terlihat dengan jelas. Esok harinya, barulah saya menjelajah Kepulauan Raja Ampat dengan speedboat berkapasitas 8-10 orang.

Mulai dari Selat Dampir, Pulau Pensil, Gua Karang yang ada tengkorak makam leluhur Raja Ampat, sampai Hidden Bay, sebuah teluk kecil yang tersembunyi di antara hutan tanaman bakau yang terpelihara dengan baik. Mengelilinginya dengan speedboat terasa menyenangkan. Warna hijau hutan dan warna biru jernih membuat hati tenang dan damai.

Terumbu karang terlihat jelas, padahal kedalaman laut mencapai 8-12 meter. Nah yang senang olahraga laut, di sekitar Hidden Bay juga bisa bermain jet ski. Sayang sekali karena keadaan cuaca yang kurang menguntungkan, saya tidak berkesempatan mengunjungi Wayag yang merupakan ikon Raja Ampat yang terdiri dari beberapa pulau kecil yang indah apabila dilihat dari atas.

Setelah itu, penjelajahan berlanjut ke Desa Wisata Yenbuba. Di sinilah saya bersentuhan dengan keramahan warga lokal yang luar biasa. Mereka sangat welcome dengan kehadiran para turis. Saya ngobrol dengan anak-anak di sana. Meski ada beberapa yang malu-malu, mereka sangat murah senyum, dan mau diajak foto bersama.

Pandangan saya bahwa orang Timur adalah orang yang keras, langsung hilang seketika begitu bertemu dengan warga lokal di sini. Untuk masuk ke Yenbuba tidak dipungut bayaran. Turis yang datang hanya dipersilakan memberikan sumbangan seikhlasnya di sebuah kotak.

Ikan sebesar paha manusia

Hari ketiga atau hari terakhir saya di Raja Ampat, saya mengunjungi Pianemo. Bisa dibilang, inilah hari yang paling berkesan selama saya di Raja Ampat. Gugusan pulau karang yang tersebar di beberapa tempat di Pianemo ini sangat-sangat indah. Saya tak henti-hentinya mengambil foto pulau-pulau karang tersebut demi mendapatkan gambar yang paling mendekati keindahan aslinya.

Tak hanya karangnya yang indah, tapi warna lautnya yang kadang biru, kadang hijau membuatnya makin terlihat mengesankan. Menurut saya, waktu terbaik mengunjungi Pianemo adalah pukul 15.00-16.00 sore. Karena saat itu, jatuhnya sinar matahari akan memberikan efek sensasi yang luar biasa di gugusan pulau dan warna air laut di bawah sana.

Orang-orang kerap menyebut Pianemo sebagai Bukit SBY. Mungkin karena mantan presiden SBY pernah mengunjungi tempat ini. Dari bukit inilah kita bisa memandang luas gugusan pulau karang tersebut. Pianemo juga bisa dibilang sebagai Wayag kecil. Wayag juga adalah gugusan yang sama dengan di Pianemo, hanya ukuran pulaupulaunya lebih besar.

Untuk mencapai puncak, untung saja kini sudah ada tangga yang terbuat dari kayu besi. Kita harus menaiki tangga tersebut selama kurang lebih 5-10 menit. Ada 2- 3 pos untuk tempat beristirahat. Nah yang menarik, di bawah bukit ada warga lokal yang memancing, sekaligus menjual ikan hasil tangkapannya. Ikan yang dijual luar biasa besar, seukuran paha orang dewasa.

Wujudnya seperti ikan kakap merah. Saya tergoda untuk membelinya. Dapat enam ekor dengan harga Rp200.000. Ikan ini saya bawa ke resor tempat saya menginap dan meminta staf di sana untuk mengolahnya. Saya pikir ini lumayan dibandingkan saya membelinya di restoran. Ikannya pun enak disantap.

Bicara ikan, saya juga berkesempatan ke area Manta Point dan bertemu 20-30 ekor ikan manta berukuran 3-4 meter. Luar biasa sensasinya berpapasan dengan ikan besar yang gerakannya indah ini. Saya takjub dibuatnya. Saya juga bertemu dengan ikan paus dan lumba-lumba.

Namun, untuk bisa bertemu dengan begitu banyak ikan, Anda memang harus datang pagi-pagi sekitar pukul 06.00-07.00, karena setelah itu, ikan akan jarang ditemui. Harus saya akui, berkunjung ke Raja Ampat selama 3 hari 3 malam sangatlah kurang. Apalagi buat saya yang hobi fotografi dan diving . Karenanya, saya sedang mencari waktu kurang lebih satu atau dua minggu untuk bisa kembali ke sana.

Saya ingin mengeksplorasi alam bawah lautnya lebih dalam dan lebih lama. Dan tentu saja, bertemu lagi dengan senyum warga Papua Barat yang tulus dan menyenangkan hati. Benarbenar “Heaven on Earth”. Tunggu saya kembali, Raja Ampat!

@herugunadi
Traveler
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6776 seconds (0.1#10.140)