Giat Lestarikan Kain Tenun NTT
A
A
A
Kain tenun NTT belum banyak dilirik masyarakat, namun Julie Laiskodat justru melihatnya sebagai peluang bisnis. Tidak semata berorientasi profit, dia juga memiliki misi melestarikan kain tenun NTT, sekaligus budaya menenun.
Ditemui di butiknya di Jalan Wijaya II Nomor 64 Jakarta Selatan, Julie Laiskodat menyambut ramah KORAN SINDO . Butik bernama House of LeViCo tersebut memamerkan aneka tenunan Nusa Tenggara Timur ( NTT) yang tertata apik. Bersuamikan orang Kupang, membuat ibu tiga anak ini jatuh cinta dengan tradisi masyarakat di provinsi yang meliputi kurang lebih 550 pulau ini.
Ya, Julie sangat kagum dengan kebudayaan menenun yang dilakukan para wanita di sana. Sayang seiring berjalannya waktu, tradisi menenun ini nyaris tergerus zaman. Ia melihat hanya generasi tua yang masih memopulerkan budaya tersebut. Menenun memang tidak bisa dibilang pekerjaan mudah. Satu tenunan saja bisa memakan waktu empat sampai setahun.
”Makanya orang sana terutama yang muda menganggap tidak ada prospek di bidang ini. Terlebih publik mengetahui kain tenun identik dengan mahal dan masih banyak yang ragu untuk menjadikan kain tenun NTT sebagai bahan pakaian,” kata pemilik LeViCo Salon & Reflexiology ini. Padahal, tidak kalah dengan batik, tenun NTT juga kaya motif dan corak beragam. Provinsi ini memiliki 22 kabupaten/kota (21 kabupaten dan 1 kota), masing-masing daerah memiliki ciri khas tenunan sendiri.
Sebagian kabupaten masih menggunakan warna-warna gelap yang melambangkan alam. Di sisi lain tidak sedikit pula kabupaten yang dominan menggunakan warna cerah untuk kain tenunnya. Dari tenun Sumba misalnya, terdapat nilai-nilai religius. Motif kuda melambangkan kebanggaan, kekuatan, dan keberanian.
Untuk motif ayam melambangkan kehidupan wanita ketika berumah tangga. Juga ada motif tengkorak. ”Motif tengkorak ini sebagai simbol raja, sementara di kanan kiri ajudannya. Jadi, kalau raja mereka wafat, ajudannya juga ikut dikubur hidup-hidup,” tutur Julie yang mendalami makna di balik simbol-simbol kain tenun provinsi itu.
Bukan sekadar membeli hasil kerajinan tersebut dari kelompok-kelompok penenun yang ada di beberapa kabupaten, Julie juga menggandeng desainer papan atas Tanah Air, seperti Ivan Gunawan, Didit Maulana, Ina Thomas, dan Adjie Notonegoro untuk berkreasi dengan tenunan asal provinsi bagian barat pulau Timor ini. Pernah dia ditegur oleh orang NTT yang menganggap dirinya tidak menghargai kerja keras para penenun lantaran memotongmotong kain tenun tersebut untuk dijadikan pakaian.
”Karena mereka membuat satu tenunan cukup lama dan dengan memotong kainnya, dianggap tidak menghargai. Padahal, dengan cara ini tenunan mereka bisa wearable , bisa dibuat berbagai macam busana. Sisa kain juga tidak saya buang,” tutur wanita yang hobi olahraga ini. Sisa kain dimanfaatkan Julie untuk membuat sepatu, aneka tas, gelang, bros, bando, hingga tempat tisu yang dipajang di butiknya.
Karena itu, konsumen bisa mendapatkan busana, tas, sepatu, dan aksesori dengan motif yang sama. Dengan tagline The Best Quality and Touch of Indonesia , butik LeViCo tidak mematok harga mahal. Selendang misalnya, dimulai dari harga Rp100.000. Sementara dengan kisaran Rp400.000-Rp2 juta, konsumen sudah bisa melenggang dengan busana hasil kain tenun NTT yang dirancang eksklusif.
Sepatu berada di harga hingga Rp900.000. Sementara, tas dibanderol mulai Rp350.000 hingga Rp3,5 juta. ”Pembeli bisa memilih sendiri kain yang diinginkan dan nanti kami jahitkan,” kata Julie. Dia sekaligus mematahkan persepsi orang bahwa tenunan NTT cenderung mahal.
Julie mengaku bisnis butiknya ini tidak semata berorientasi profit. ”Tujuan saya yang utama agar masyarakat Indonesia melek tenun NTT sehingga lebih bisa mengapresiasinya. Bahwa kain Indonesia bukan hanya batik. Sekaligus melestarikan kain tenun ini, berikut budaya menenun,” kata Julie.
Sri noviarni
Ditemui di butiknya di Jalan Wijaya II Nomor 64 Jakarta Selatan, Julie Laiskodat menyambut ramah KORAN SINDO . Butik bernama House of LeViCo tersebut memamerkan aneka tenunan Nusa Tenggara Timur ( NTT) yang tertata apik. Bersuamikan orang Kupang, membuat ibu tiga anak ini jatuh cinta dengan tradisi masyarakat di provinsi yang meliputi kurang lebih 550 pulau ini.
Ya, Julie sangat kagum dengan kebudayaan menenun yang dilakukan para wanita di sana. Sayang seiring berjalannya waktu, tradisi menenun ini nyaris tergerus zaman. Ia melihat hanya generasi tua yang masih memopulerkan budaya tersebut. Menenun memang tidak bisa dibilang pekerjaan mudah. Satu tenunan saja bisa memakan waktu empat sampai setahun.
”Makanya orang sana terutama yang muda menganggap tidak ada prospek di bidang ini. Terlebih publik mengetahui kain tenun identik dengan mahal dan masih banyak yang ragu untuk menjadikan kain tenun NTT sebagai bahan pakaian,” kata pemilik LeViCo Salon & Reflexiology ini. Padahal, tidak kalah dengan batik, tenun NTT juga kaya motif dan corak beragam. Provinsi ini memiliki 22 kabupaten/kota (21 kabupaten dan 1 kota), masing-masing daerah memiliki ciri khas tenunan sendiri.
Sebagian kabupaten masih menggunakan warna-warna gelap yang melambangkan alam. Di sisi lain tidak sedikit pula kabupaten yang dominan menggunakan warna cerah untuk kain tenunnya. Dari tenun Sumba misalnya, terdapat nilai-nilai religius. Motif kuda melambangkan kebanggaan, kekuatan, dan keberanian.
Untuk motif ayam melambangkan kehidupan wanita ketika berumah tangga. Juga ada motif tengkorak. ”Motif tengkorak ini sebagai simbol raja, sementara di kanan kiri ajudannya. Jadi, kalau raja mereka wafat, ajudannya juga ikut dikubur hidup-hidup,” tutur Julie yang mendalami makna di balik simbol-simbol kain tenun provinsi itu.
Bukan sekadar membeli hasil kerajinan tersebut dari kelompok-kelompok penenun yang ada di beberapa kabupaten, Julie juga menggandeng desainer papan atas Tanah Air, seperti Ivan Gunawan, Didit Maulana, Ina Thomas, dan Adjie Notonegoro untuk berkreasi dengan tenunan asal provinsi bagian barat pulau Timor ini. Pernah dia ditegur oleh orang NTT yang menganggap dirinya tidak menghargai kerja keras para penenun lantaran memotongmotong kain tenun tersebut untuk dijadikan pakaian.
”Karena mereka membuat satu tenunan cukup lama dan dengan memotong kainnya, dianggap tidak menghargai. Padahal, dengan cara ini tenunan mereka bisa wearable , bisa dibuat berbagai macam busana. Sisa kain juga tidak saya buang,” tutur wanita yang hobi olahraga ini. Sisa kain dimanfaatkan Julie untuk membuat sepatu, aneka tas, gelang, bros, bando, hingga tempat tisu yang dipajang di butiknya.
Karena itu, konsumen bisa mendapatkan busana, tas, sepatu, dan aksesori dengan motif yang sama. Dengan tagline The Best Quality and Touch of Indonesia , butik LeViCo tidak mematok harga mahal. Selendang misalnya, dimulai dari harga Rp100.000. Sementara dengan kisaran Rp400.000-Rp2 juta, konsumen sudah bisa melenggang dengan busana hasil kain tenun NTT yang dirancang eksklusif.
Sepatu berada di harga hingga Rp900.000. Sementara, tas dibanderol mulai Rp350.000 hingga Rp3,5 juta. ”Pembeli bisa memilih sendiri kain yang diinginkan dan nanti kami jahitkan,” kata Julie. Dia sekaligus mematahkan persepsi orang bahwa tenunan NTT cenderung mahal.
Julie mengaku bisnis butiknya ini tidak semata berorientasi profit. ”Tujuan saya yang utama agar masyarakat Indonesia melek tenun NTT sehingga lebih bisa mengapresiasinya. Bahwa kain Indonesia bukan hanya batik. Sekaligus melestarikan kain tenun ini, berikut budaya menenun,” kata Julie.
Sri noviarni
(bbg)