Mal Raksasa,Efektifkah?

Jum'at, 08 Mei 2015 - 10:55 WIB
Mal Raksasa,Efektifkah?
Mal Raksasa,Efektifkah?
A A A
Beberapa hari lalu saya main ke daerah yang selama ini bukanlah daerah jajahan saya, Tangerang dan Bekasi. Di sana saya melihat ada beberapa mal raksasa yang berdiri tegak.

Keren sih dan cukup mencengangkan untuk saya yang karena pekerjaan berkesempatan mengunjungi shopping destination paling hits di dunia dan mal-mal paling elitenya. Besarnya Mal Alam Sutera, SMS, dan beberapa mal lainnya membuat saya jadi berpikir, apakah membangun mal sebesar itu efektif ataukah kita harus berani jujur bahwa mal raksasa hanyalah membuang tanah semata.

Coba deh kita jujur pada diri kita sendiri. Orang Jakarta itu sebenarnya orang yang paling malas jalan kaki, kan? Beda banget sama orang Jepang, orang New York, yang sanggup seharian berjalan kaki dengan high heels setinggi pencakar langit. Orang Jakarta terlalu manja karena alam memang memanjakan kita. Jarak jauh sedikit saja, kita sudah langsung naik taksi atau naik ojek dengan alasan kepraktisan dan hemat waktu.

Saya pernah riset amatiran, kalau sebagian besar orang Jakarta itu sebenarnya ke mal bukan buat belanja semata, melainkan ada agenda lain yang membuat orang Jakarta itu berbeda banget sama tetangga-tetangganya di negeri jiran. Shopping itu adalah alasan kesekian dalam berbelanja ke mal. Karena kalau bicara soal belanja kecilkecilan, ada tukang sayur, pasar tradisional terdekat, atau minimarket yang bertebaran di mana-mana.

Kalau malas karena udara yang panas dan lembap, malas berkeringat, tinggal suruh bibik tersayang di rumah, atau satpam yang nangkring di depan rumah. Ini beda banget sama orang yang tinggal di luar negeri dan semua harus dikerjakan sendiri. Belanja baju, tas, dan barang-barang fashion sekarang juga jauh lebih mudah dan mengasyikkan karena adanya online shopping sehingga membuat semuanya mudah.

Semudah menjentikkan jari, tanpa mengeluarkan effort berat seperti macet-macetan, keribetan parkir, dan yang paling berharga membuang waktu. Semua itu membuat shopping bukan lagi tujuan utama main ke mal dan ini jarang disikapi para pelaku ritel dengan bijak. Banyak label besar yang membuka butik atau gerai raksasa, dan saking besarnya malah terlihat kosong karena minim pengunjung.

Gerai-gerai itu sekarang lebih berfungsi sebagai window display karena penjualan sekarang justru banyak dari online . Ada beberapa department store yang terlihat mengenaskan di mata saya. Itu karena lebih banyak terlihat SPG atau SA-nya daripada pengunjungnya. Saking sepinya, jadi terasa banget dingin AC-nya.

Department store sepi seperti ini sangat tidak nyaman dikunjungi karena serasanya mata semua SPGnya tertuju sama kita. Belum lagi kalau ada adegan kita dikintilin terus, dari niat beli jadi risih sendiri, terus buru-buru “cabut” deh dari mal itu. Orang Indonesia juga tercatat dalam sejarah dan penelitian adalah orang yang senang bersosialisasi dan berkumpul.

Kita punya istilah mangan ora mangan yang penting ngumpul . Selalu saja ada alasan buat berkumpul di suatu tempat. Waktu mal belum modern seperti sekarang dengan kafe-kafe hits -nya untuk duduk-duduk cantik, berkumpul masih di rumah sanak saudara atau sahabat.

Dengan alasan kepraktisan, maka sekarang acara kumpul-kumpul ini lebih sering dilakukan di mal atau di restoran yang tempatnya dianggap strategis buat semuanya. Karenanya, mal yang dibanjiri pengunjung biasanya adalah mal yang letaknya strategis dan banyak pilihan tempat makan dan tempat duduk-duduk cantiknya.

Mal yang pilihan tempat makannya sedikit dan tidak mengikuti perkembangan tren kuliner dan gastronomi, pelan-pelan akan ditinggal pengunjungnya. Itu karena karakter konsumen Indonesia selalu mencari dan segera mencoba sesuatu yang baru dan sedang jadi tren.

Jadi, bisa terbayang dong kalau di mal-mal raksasa di Jakarta, Tangerang dan Bekasi, keramaiannya terkonsentrasi di lantai lower ground (karena di situ biasanya ada supermarket dan food hall ), lantai dasar karena biasanya di situ terkonsentrasi kafe-kafe ternama buat kongko, see and being seen , lantai satu yang biasanya ada butik-butik high street dengan harga yang lumayan terjangkau atau lantai teratas di mana biasanya terdapat food court , bioskop, dan fitness . itu pun ramainya hanya pada jam-jam tertentu, setelah itu sepi bak kuburan elite.

Ada mal di daerah Sudirman, Jakarta, yang hidupnya hanya saat hari kerja, jam makan siang, dan high tea kala sore hari. Kalau Anda berkunjung saat akhir pekan, wah jangan ditanya deh, sepi banget. Bukannya menghibur pengunjungnya, yang ada malah nakutin karena saking sepinya.

Padahal, di mal itu ada tempat bermain anak-anak yang hits , tapi tetap saja jumlah crowd -nya tidak sebanding size mal itu sendiri. Kecenderungan orang Indonesia habis makan di mal itu sama seperti habis makan di pesta, pasti langsung pulang karena kekenyangan dan jadi bego-saya selalu begitu.

Jadi boro-boro mengeksplorasi toko-toko yang ada di lantai atas, yang ada bawaannya mau langsung cepat turun ke lobi, ke car call memanggil sopir. Kadang, saat pengin jalan pun sekadar window shopping . Waktunya yang sudah keburu habis karena kelamaan nongkrong di tempat makan atau kafe, dan sudah kelelahan duluan muter-muter di lantai dasar dan lantai satu.

Tapi sejujurnya sering juga sih, belum sempat melihat semuanya, duitnya sudah keburu habis duluan, he-he-he... Karenanya, tidak usah heran, toko-toko, gerai atau butik yang ada di lantai atas, mulai lantai 2, biasanya sepi pengunjung, kecuali yang memang sudah benar-benar niat banget mengunjungi toko atau gerai tertentu seperti salon dan klinik kecantikan.

Pengelola mal menyikapi hal ini dengan memberikan harga sewa yang lebih murah di lantai-lantai yang sepi ini. Namun, menurut saya, apa gunanya juga tarif murah kalau tidak ada crowd -nya sama sekali. Boro-boro profit, yang ada malah tekor kesohor bayar mainantance fee dan listrik.

Ke depan saya melihat yang bakal tren justru adalah boutique mall , mal kecil, tidak perlu terlalu mewah, yang penting nyaman, lokasinya strategis tapi semuanya ada, bank, fitness , salon, kafe dan resto yang lagi hits , high street boutique , bioskop, supermarket dan yang paling penting, toiletnya oke dan parkirannya cukup dan tidak bikin pengunjungnya “pusing pala Barbie” kalau cari parkir.

Happy shopping Miss Jinjing.
Konsultan Fashion
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0887 seconds (0.1#10.140)