Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 17 Bagian 3

Senin, 06 November 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."

Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!

"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"

"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya. "Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"

Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, sipakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"

Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi "Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."

"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama to!"

Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.

"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."

Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok.

"Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"

"Eh, kenapa?"

"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"

"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."

"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"

"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"

"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."

Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat, pikir Kwee Seng. Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.

"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus ikut kemana pun aku pergi."

Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!" Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan..... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0527 seconds (0.1#10.140)