Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 9 Bagian 5
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Karena ia sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak seorang pun pernah melihat jenderal muda ini, Lu Sian menduga bahwa andaikata benar pemujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai. Maka ia pun segera mencari tukang perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih di Lembah Sungai Kuning, namun agak jauh dari sungai, di sebelah selatan.
Pada saat itu, Sungai Kunimg airnya penuh, bahkan di beberapa bagian membanjir, meluap sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun yang berada di lembah, yang terlalu dekat sungai, sudah banyak yang dilanda banjir.
Namun karena airnya mengalir tenang, Si Tukang Perahu berani melayarkan perahunya menurut aliran air. Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan yang mengenaskan, sungguhpun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan Kam Si Ek.
"Tahan perahumu, minggir kesana.....!" tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh di sebelah kanan. Ia merasa curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar.
Saat seperti itu sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya perahu di tempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa dusun di tempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah, hanya satu-satunya rumah gedung yang berada di dusun, yang kebetulan letaknya di tempat agak tinggi masih belum kemasukan air. Tak seorang pun manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya?
Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu benar-benar kosong ia berkata, "Kautunggu di sini, aku hendak menyelidiki kemana perginya orang-orang dari perahu ini!" Tanpa menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas wuwungan rumah ke rumah yang terendam air, kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dai rumah, kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam air.
Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalu tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa pedang! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukan para penjual obat, siapa kira gadis ini dapat berloncatan seperti itu. Jangan-jangan dia bukan manusia, pikir Si Tukang Perahu.
Di waktu sungai banjir meluap-luap seperti itu, menurut cerita rakyat, siluman-siluman pada bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak merusak manusia dengan air banjir. Biarpun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman, dan betapapun juga dewa-dewi yang menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk ke dusun-dusun itu kembali ke sungai pula seperti biasa!
Kini melihat gadis penyewa perahunya pandai "terbang" melayang-layang dari rumah ke rumah, Si Tukang Perahu bergidik. "Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan. Lebih baik aku pegi sebelum ia kembali!" Melihat Lu Sian berloncatan makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ke tengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu! Ia tidak peduli bahwa uang sewa perahu belum dibayar, ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.
Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas genteng gedung itu dan dari atas genteng ia mengintai ke dalam.
Ternyata di dalamnya terdapat enam orang anak perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh du dekat tempat perapian sambil makan roti kering dan dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut. "Kita ditinggalkan di sini, untuk apa? Kalau banjir makin besar, ke mana kita harus bawa perahu? Ah, lebih enak menjadi pegawai di darat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh orang lebih? Dan keadaan tawanan itu lebih enak daripada kita!" (Bersambung)
Karena ia sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak seorang pun pernah melihat jenderal muda ini, Lu Sian menduga bahwa andaikata benar pemujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai. Maka ia pun segera mencari tukang perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih di Lembah Sungai Kuning, namun agak jauh dari sungai, di sebelah selatan.
Pada saat itu, Sungai Kunimg airnya penuh, bahkan di beberapa bagian membanjir, meluap sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun yang berada di lembah, yang terlalu dekat sungai, sudah banyak yang dilanda banjir.
Namun karena airnya mengalir tenang, Si Tukang Perahu berani melayarkan perahunya menurut aliran air. Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan yang mengenaskan, sungguhpun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan Kam Si Ek.
"Tahan perahumu, minggir kesana.....!" tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh di sebelah kanan. Ia merasa curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar.
Saat seperti itu sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya perahu di tempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa dusun di tempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah, hanya satu-satunya rumah gedung yang berada di dusun, yang kebetulan letaknya di tempat agak tinggi masih belum kemasukan air. Tak seorang pun manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya?
Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu benar-benar kosong ia berkata, "Kautunggu di sini, aku hendak menyelidiki kemana perginya orang-orang dari perahu ini!" Tanpa menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas wuwungan rumah ke rumah yang terendam air, kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dai rumah, kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam air.
Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalu tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa pedang! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukan para penjual obat, siapa kira gadis ini dapat berloncatan seperti itu. Jangan-jangan dia bukan manusia, pikir Si Tukang Perahu.
Di waktu sungai banjir meluap-luap seperti itu, menurut cerita rakyat, siluman-siluman pada bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak merusak manusia dengan air banjir. Biarpun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman, dan betapapun juga dewa-dewi yang menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk ke dusun-dusun itu kembali ke sungai pula seperti biasa!
Kini melihat gadis penyewa perahunya pandai "terbang" melayang-layang dari rumah ke rumah, Si Tukang Perahu bergidik. "Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan. Lebih baik aku pegi sebelum ia kembali!" Melihat Lu Sian berloncatan makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ke tengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu! Ia tidak peduli bahwa uang sewa perahu belum dibayar, ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.
Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas genteng gedung itu dan dari atas genteng ia mengintai ke dalam.
Ternyata di dalamnya terdapat enam orang anak perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh du dekat tempat perapian sambil makan roti kering dan dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut. "Kita ditinggalkan di sini, untuk apa? Kalau banjir makin besar, ke mana kita harus bawa perahu? Ah, lebih enak menjadi pegawai di darat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh orang lebih? Dan keadaan tawanan itu lebih enak daripada kita!" (Bersambung)
(dwi)