Memburu Santapan Karuhun yang Ekslusif dan Langka di Purwakarta
Sabtu, 18 Juli 2020 - 10:22 WIB
PURWAKARTA - Kuliner Nusantara yang beragam tidak ada habis-habisnya untuk dieksplorasi. Keanekaragaman makanan dari Sabang sampai Merauke membuktikan begitu kayanya bangsa ini disamping kekayaan sumber daya alamnya.
Di Purwakarta, tepatnya di Kampung Krajan, Desa Cikeris, Kecamatan Bojong, ternyata tersimpan salah satu kuliner khas yang selama ini jarang diketahui banyak orang. Tentu saja, hal tersebut menambah kekayaan penganan yang merupakan warisan para leluhur yang memiliki kearifan lokal cukup tinggi. Bahkan, makanan ini terbilang ekslusif dan langka, hanya disantap saat momen-momen tertentu, seperti panen raya atau menjelang puasa ramadan.
Pangan ini bahkan dijajakan di kedai-kedai warung makan atau restoran besar. Wajar jika bagi sebagian besar warga Purwakarta bahkan belum pernah mencicipi atau merasakan sensasi penganan yang oleh warga setempat disebut leumeung. (Baca: Pengumuman! Izin Umroh Mulai Agustus Dipindah ke BKPM)
Dalam salah satu literasi, leumeung adalah nasi bakar dalam bambu atau kelapa muda. Hanya saja, di Kampung Krajan ini bahan bakunya tidak hanya nasi, tapi berupa ikan, ayam atau daging domba. Cara memasaknya hampir mirip dengan mengolah lemang di daerah lain. Bedanya, sebelum dibakar ujung bambu yang terbuka akan ditutup pakai tanah liat agar tak ada uap yang keluar dari dalam bambu saat dibakar. Tradisi menyantap leumeng ketika panen raya atau menjelang puasa ramadan, disebut ngaleumeung.
Beruntung KORAN SINDO bisa menemukan penganan ini, karena sebelumnya ada kabar akan ada tradisi ngaleumeung di Kampung Citalaga, Desa Nanggerang, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta. Tradisi itu sengaja digelar sebagai bagian dari rangkaian penyambutan warga setempat atas kedatangan beberapa anggota Komisi X DPR RI.
SINDO sengaja pergi sejak pagi buta, karena lokasinya cukup jauh, sekitar 35 kilometer ke arah timur. Meskipun jalan yang dilalui cukup mulus namun banyak tanjakan terjal, turunan curam dan belokan tajam. Makklum lokasi yang dituju itu berada di lereng Gunung Burangrang.
Benar saja, begtu samapai lokasi kesibukan warga terlihat. Ibu-ibu sibuk mengulek bumbu dasar yang didapat dari kebun samping rumah. Beberapa ayam kampung dan ikan sudah dibersihkan terlihat berada di dalam kuali. Bapak-bapaknya pun sedang menyiapkan pembakaran dari kayu bakar. Sesekali mereka mengipas bara api agar tetap menyala. (Baca juga: Ini 5 Makanan yang Sedang Viral di Media Sosial)
Satu-satunya perajin leumeung yang masih mempertahankan tradisi itu, yakni H Dayat, 61, warga Kampung Krajan RT 14/1 Desa Cikeris, Kecamatan Bojong merupakan orang yang dipercaya menyiapkan penganan langka dan unik itu. Di sela-sela mengolah leumeung, dia pun bercerita tentang penganan yang diyakini sudah ada jauh sebelum sate maranggi berkembang di Purwakarta.
Menurutnya, kemampuan membuat leumeung ini dapat dari bapak dan kakeknya dulu. Saat ini hanya dirinyalah yang masih memproduksi penganan tradisonal itu. Terutama disaat ada momen tertentu, seperti penyambutan tamu wakil rakyat itu.“Saya tidak tahu persis kapan leumeung itu ada, yang jelas ini merupakan makanan para karuhun (leluhur). Hanya saja, dulu waktu masih kecil suka diajak ngaleumeng di sawah bersama keluarga atau tetangga. Mungkin penganan ini dibuat karena memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Bumbu dasar, seperti batang kecombrang, daun salam, sereh, kunyit, kemiri dan bawang daun banyak tersedia di kebun. Bahkan, banyak warga yang memelihara ayam, ikan atau domba. Jadi tinggal ngolah saja,”ungkap H Dayat kepada KORAN SINDO.
Di Purwakarta, tepatnya di Kampung Krajan, Desa Cikeris, Kecamatan Bojong, ternyata tersimpan salah satu kuliner khas yang selama ini jarang diketahui banyak orang. Tentu saja, hal tersebut menambah kekayaan penganan yang merupakan warisan para leluhur yang memiliki kearifan lokal cukup tinggi. Bahkan, makanan ini terbilang ekslusif dan langka, hanya disantap saat momen-momen tertentu, seperti panen raya atau menjelang puasa ramadan.
Pangan ini bahkan dijajakan di kedai-kedai warung makan atau restoran besar. Wajar jika bagi sebagian besar warga Purwakarta bahkan belum pernah mencicipi atau merasakan sensasi penganan yang oleh warga setempat disebut leumeung. (Baca: Pengumuman! Izin Umroh Mulai Agustus Dipindah ke BKPM)
Dalam salah satu literasi, leumeung adalah nasi bakar dalam bambu atau kelapa muda. Hanya saja, di Kampung Krajan ini bahan bakunya tidak hanya nasi, tapi berupa ikan, ayam atau daging domba. Cara memasaknya hampir mirip dengan mengolah lemang di daerah lain. Bedanya, sebelum dibakar ujung bambu yang terbuka akan ditutup pakai tanah liat agar tak ada uap yang keluar dari dalam bambu saat dibakar. Tradisi menyantap leumeng ketika panen raya atau menjelang puasa ramadan, disebut ngaleumeung.
Beruntung KORAN SINDO bisa menemukan penganan ini, karena sebelumnya ada kabar akan ada tradisi ngaleumeung di Kampung Citalaga, Desa Nanggerang, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta. Tradisi itu sengaja digelar sebagai bagian dari rangkaian penyambutan warga setempat atas kedatangan beberapa anggota Komisi X DPR RI.
SINDO sengaja pergi sejak pagi buta, karena lokasinya cukup jauh, sekitar 35 kilometer ke arah timur. Meskipun jalan yang dilalui cukup mulus namun banyak tanjakan terjal, turunan curam dan belokan tajam. Makklum lokasi yang dituju itu berada di lereng Gunung Burangrang.
Benar saja, begtu samapai lokasi kesibukan warga terlihat. Ibu-ibu sibuk mengulek bumbu dasar yang didapat dari kebun samping rumah. Beberapa ayam kampung dan ikan sudah dibersihkan terlihat berada di dalam kuali. Bapak-bapaknya pun sedang menyiapkan pembakaran dari kayu bakar. Sesekali mereka mengipas bara api agar tetap menyala. (Baca juga: Ini 5 Makanan yang Sedang Viral di Media Sosial)
Satu-satunya perajin leumeung yang masih mempertahankan tradisi itu, yakni H Dayat, 61, warga Kampung Krajan RT 14/1 Desa Cikeris, Kecamatan Bojong merupakan orang yang dipercaya menyiapkan penganan langka dan unik itu. Di sela-sela mengolah leumeung, dia pun bercerita tentang penganan yang diyakini sudah ada jauh sebelum sate maranggi berkembang di Purwakarta.
Menurutnya, kemampuan membuat leumeung ini dapat dari bapak dan kakeknya dulu. Saat ini hanya dirinyalah yang masih memproduksi penganan tradisonal itu. Terutama disaat ada momen tertentu, seperti penyambutan tamu wakil rakyat itu.“Saya tidak tahu persis kapan leumeung itu ada, yang jelas ini merupakan makanan para karuhun (leluhur). Hanya saja, dulu waktu masih kecil suka diajak ngaleumeng di sawah bersama keluarga atau tetangga. Mungkin penganan ini dibuat karena memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Bumbu dasar, seperti batang kecombrang, daun salam, sereh, kunyit, kemiri dan bawang daun banyak tersedia di kebun. Bahkan, banyak warga yang memelihara ayam, ikan atau domba. Jadi tinggal ngolah saja,”ungkap H Dayat kepada KORAN SINDO.
tulis komentar anda