Demi Mahir Ngrasani, ‘Bu Tejo’ Belajar di Pasar
Sabtu, 22 Agustus 2020 - 06:48 WIB
JAKARTA - "Nek dadi wong ki mbok sing solutif". Kalimat lugas dengan mimik nyinyir Bu Tejo dalam sebuah dialog dari film pendek Tilik ini tiba-tiba meledak dan banyak jadi bahan pembicaraan masyarakat.
Kata-kata Bu Tejo (Siti Fauziah) itu begitu kuat dalam mengaduk-aduk emosi penonton. Tak heran, baru beberapa hari film ini muncul, kalimat itu cepat familiar di benak masyarakat. Dalam film Tilik ini, penonton memang banyak tertuju pada sosok Bu Tejo yang menguasai percakapan dalam perjalanan ibu-ibu dari sebuah desa di Kabupaten Bantul, DIY menuju rumah sakit (RS) untuk membesuk ibu lurah.
Dengan ngrasani (membicarakan orang) berlogat khas Bantul, Bu Tejo seakan mewakili fenomena ibu-ibu warga desa saat ini. Cara bicaranya yang ceplas-ceplos juga membuat penonton seolah gemas dan geregetan. Selain didukung dengan akting pemeran yang kuat, film Tilik mudah diterima dan dicerna karena ceritanya tentang keseharian warga. (Baca: 5 Cara Menjadi Wanita Hebat Seperti Karakter Pada Film)
Penulis naskah Tilik Bagus Sumartono yang akrab disapa dengan Bacep mengaku mendapatkan inspirasi cerita karena sering bergaul dengan ibu-ibu. Dengan mengambil kasus di Desa Dlingo, penulis melihat ada budaya untuk tilikan (menengok orang sakit secara rombongan) yang masih kuat. "Jadi memang inspirasi saya dari ibu-ibu di desa dan konsep mereka dalam situasi apapun tetap punya respons sosial yang baik untuk menengok," ungkap Bacep KORAN SINDO kemarin.
Namun tak hanya kebiasaan ini yang membuat Bacep tertarik. Menurutnya, kebiasaan ibu-ibu desa yang mulai melek teknologi juga menjadi hal yang menarik untuk diangkat. Bacep pun mulai membubuhkan isu seksi rasanan dalam kendaraan terbuka khas pedesaan di kecamatan Dlingo dalam ceritanya. "Sebenarnya truk ini ibarat bangsa atau negara Indonesia," ungkapnya.
Di tengah masyarakat, perbedaan pandangan antara ibu-ibu adalah hal biasa dan terus terjadi. Kabar-kabar tak jelas pun kerap menjadi bumbu-bumbu dalam mencuatnya ketegangan di antara mereka. Bacep menilai, perbedaan dan ketegangan yang dialami ibu-ibu warga desa itu juga menggambarkan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Dalam perbedaan itu mereka tetap baik seperti dalam Tilik dengan setia berada dalam truk hingga akhir perjalanan. Meski kerap kali tegang, tidak ada di antara mereka yang memilih keluar dari truk. "Jadi sebenarnya ini gambaran anak bangsa yang dengan berbagai kondisi tetap menjadi bagian dari bangsa," ucap Bacep.
Tilik juga berupaya meng-capture fenomena maraknya informasi tak jelas di media sosial. Penggunaan media sosial perlu diikuti dengan akurasi informasi sehingga tidak menimbulkan suasana menjadi keruh. "Ini adalah gambaran dalam naskah saya," lanjutnya. (Baca juga: Tak Ingin Solo Jadi Ajang Coba-coba, PKS Siapkan Lawan Gibran)
Meski bercerita tentang fenomena keseharian warga desa, namun Bacep mengaku tak menyangka film ini akan mendapat respons sangat besar dari publik. Hingga kini, film yang dioroduksi oleh Ravacana tersebut sudah ditonton lebih dari 3 juta. "Ini juga bukti bahwa media sosial memiliki peran kuat untuk menaikkan popularitas. Film Tilik menjadi bukti. Dan itu di luar perkiraan saya," ungkap seniman yang tinggal di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul ini.
Film Tilik berdurasi sekitar 32 menit. Hampir seluruh adegan dilakukan di atas truk yang berjalan dari Desa Terong, Dlingo hingga Bantul dan Gamping, Sleman. Pemandangan desa seperti hutan dan sawah selama perjalanan rombongan tilik membuat film ini terasa makin kuat.
Kata-kata Bu Tejo (Siti Fauziah) itu begitu kuat dalam mengaduk-aduk emosi penonton. Tak heran, baru beberapa hari film ini muncul, kalimat itu cepat familiar di benak masyarakat. Dalam film Tilik ini, penonton memang banyak tertuju pada sosok Bu Tejo yang menguasai percakapan dalam perjalanan ibu-ibu dari sebuah desa di Kabupaten Bantul, DIY menuju rumah sakit (RS) untuk membesuk ibu lurah.
Dengan ngrasani (membicarakan orang) berlogat khas Bantul, Bu Tejo seakan mewakili fenomena ibu-ibu warga desa saat ini. Cara bicaranya yang ceplas-ceplos juga membuat penonton seolah gemas dan geregetan. Selain didukung dengan akting pemeran yang kuat, film Tilik mudah diterima dan dicerna karena ceritanya tentang keseharian warga. (Baca: 5 Cara Menjadi Wanita Hebat Seperti Karakter Pada Film)
Penulis naskah Tilik Bagus Sumartono yang akrab disapa dengan Bacep mengaku mendapatkan inspirasi cerita karena sering bergaul dengan ibu-ibu. Dengan mengambil kasus di Desa Dlingo, penulis melihat ada budaya untuk tilikan (menengok orang sakit secara rombongan) yang masih kuat. "Jadi memang inspirasi saya dari ibu-ibu di desa dan konsep mereka dalam situasi apapun tetap punya respons sosial yang baik untuk menengok," ungkap Bacep KORAN SINDO kemarin.
Namun tak hanya kebiasaan ini yang membuat Bacep tertarik. Menurutnya, kebiasaan ibu-ibu desa yang mulai melek teknologi juga menjadi hal yang menarik untuk diangkat. Bacep pun mulai membubuhkan isu seksi rasanan dalam kendaraan terbuka khas pedesaan di kecamatan Dlingo dalam ceritanya. "Sebenarnya truk ini ibarat bangsa atau negara Indonesia," ungkapnya.
Di tengah masyarakat, perbedaan pandangan antara ibu-ibu adalah hal biasa dan terus terjadi. Kabar-kabar tak jelas pun kerap menjadi bumbu-bumbu dalam mencuatnya ketegangan di antara mereka. Bacep menilai, perbedaan dan ketegangan yang dialami ibu-ibu warga desa itu juga menggambarkan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Dalam perbedaan itu mereka tetap baik seperti dalam Tilik dengan setia berada dalam truk hingga akhir perjalanan. Meski kerap kali tegang, tidak ada di antara mereka yang memilih keluar dari truk. "Jadi sebenarnya ini gambaran anak bangsa yang dengan berbagai kondisi tetap menjadi bagian dari bangsa," ucap Bacep.
Tilik juga berupaya meng-capture fenomena maraknya informasi tak jelas di media sosial. Penggunaan media sosial perlu diikuti dengan akurasi informasi sehingga tidak menimbulkan suasana menjadi keruh. "Ini adalah gambaran dalam naskah saya," lanjutnya. (Baca juga: Tak Ingin Solo Jadi Ajang Coba-coba, PKS Siapkan Lawan Gibran)
Meski bercerita tentang fenomena keseharian warga desa, namun Bacep mengaku tak menyangka film ini akan mendapat respons sangat besar dari publik. Hingga kini, film yang dioroduksi oleh Ravacana tersebut sudah ditonton lebih dari 3 juta. "Ini juga bukti bahwa media sosial memiliki peran kuat untuk menaikkan popularitas. Film Tilik menjadi bukti. Dan itu di luar perkiraan saya," ungkap seniman yang tinggal di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul ini.
Film Tilik berdurasi sekitar 32 menit. Hampir seluruh adegan dilakukan di atas truk yang berjalan dari Desa Terong, Dlingo hingga Bantul dan Gamping, Sleman. Pemandangan desa seperti hutan dan sawah selama perjalanan rombongan tilik membuat film ini terasa makin kuat.
tulis komentar anda