Memulai Karier, Gen Z Perlu Patahkan Stigma dan Sadari Realita
Kamis, 10 Oktober 2024 - 08:29 WIB
SURABAYA- Generasi Z alias Gen Z, perlahan mulai mendominasi dunia kerja. Mereka, yang lahir di medio 1997-2012, tumbuh dalam era digital. Banyak ide segar, perspektif baru, serta keterampilan unik yang mengisi ruang-ruang kerja. Kendati demikian, banyak stigma yang melekat pada Gen Z.
Generasi yang melek teknologi ini punya sejumlah karakter khas. Mereka dikenal sebagai generasi stroberi (buah merah yang cantik tapi rapuh), yang sangat sensitif dengan tekanan dunia luar. Anak-anak Gen Z menganggap kesehatan mental dan keseimbangan kerja-hidup sehari-hari sebagai prioritas utama.
"Mereka bahkan terbiasa melakukan self diagnosed yang tidak pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya,” tutur Dr. Mira Tripuspita S. Psi., M. Comm (HRM), seorang psikolog klinis, yang juga adalah VP Business Support, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa.
"Ini mitos atau fakta?” tanya Mira kepada mahasiswa ITS dalam sesi diskusi “Gen Z: Ambisi vs Kesehatan Mental”, yang diselenggarakan sebagai kerja sama Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa dan ITS, di Auditorium Research Center, Kampus ITS.
"Seringkali Gen Z berpikir kurang jauh,” lanjut Mira. Punya ambisi untuk memiliki rumah, misalnya, tapi enggan melakukan investasi. Mayoritas Gen Z berperilaku konsumtif, rutin menyambangi warung kopi untuk nongkrong.
Ada pula wishlist negara yang wajib dikunjungi. Bahkan menurut penelitian, 75 persen Gen Z sudah memiliki setidaknya 1 tiket konser untuk 6 bulan ke depan. Semua dengan alasan demi healing, merilis stres.
Konsep FOMO (Fear of Missing Out/ketakutan akan ketertinggalan), YOLO (You Only Live Once/ hidup hanya sekali), dan FOPO (Fear of People Opinion/ketakutan terhadap pendapat orang lain) mendukung seluruh ambisi itu.
Belum lagi desakan media sosial yang dikonsumsi setiap waktu. Pesan dari influencer menjadi kiblat dalam mengambil keputusan, termasuk ajakan menjadi diri sendiri dan apa adanya dalam proses melamar pekerjaan.
Generasi yang melek teknologi ini punya sejumlah karakter khas. Mereka dikenal sebagai generasi stroberi (buah merah yang cantik tapi rapuh), yang sangat sensitif dengan tekanan dunia luar. Anak-anak Gen Z menganggap kesehatan mental dan keseimbangan kerja-hidup sehari-hari sebagai prioritas utama.
"Mereka bahkan terbiasa melakukan self diagnosed yang tidak pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya,” tutur Dr. Mira Tripuspita S. Psi., M. Comm (HRM), seorang psikolog klinis, yang juga adalah VP Business Support, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa.
"Ini mitos atau fakta?” tanya Mira kepada mahasiswa ITS dalam sesi diskusi “Gen Z: Ambisi vs Kesehatan Mental”, yang diselenggarakan sebagai kerja sama Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa dan ITS, di Auditorium Research Center, Kampus ITS.
"Seringkali Gen Z berpikir kurang jauh,” lanjut Mira. Punya ambisi untuk memiliki rumah, misalnya, tapi enggan melakukan investasi. Mayoritas Gen Z berperilaku konsumtif, rutin menyambangi warung kopi untuk nongkrong.
Ada pula wishlist negara yang wajib dikunjungi. Bahkan menurut penelitian, 75 persen Gen Z sudah memiliki setidaknya 1 tiket konser untuk 6 bulan ke depan. Semua dengan alasan demi healing, merilis stres.
Konsep FOMO (Fear of Missing Out/ketakutan akan ketertinggalan), YOLO (You Only Live Once/ hidup hanya sekali), dan FOPO (Fear of People Opinion/ketakutan terhadap pendapat orang lain) mendukung seluruh ambisi itu.
Belum lagi desakan media sosial yang dikonsumsi setiap waktu. Pesan dari influencer menjadi kiblat dalam mengambil keputusan, termasuk ajakan menjadi diri sendiri dan apa adanya dalam proses melamar pekerjaan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda