Kerap Disepelekan, Psikolog Jennyfer Gencar Sebarkan Kepedulian Kesehatan Mental
Jum'at, 04 September 2020 - 15:54 WIB
JAKARTA - Kesehatan mental dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, hubungan, dan kesehatan fisik . Namun, tautan ini juga berfungsi ke arah lain. Faktor-faktor dalam kehidupan masyarakat, koneksi interpersonal, dan faktor fisik semuanya dapat berkontribusi pada gangguan kesehatan mental.
(Baca juga: Selain Orang Dewasa, Gejala Sakit Perut Covid-19 Bisa Dialami Anak-Anak )
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana seseorang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.
"Kesehatan mental lebih dari sekadar tidak adanya gangguan atau kecacatan mental. Puncak kesehatan mental tidak hanya tentang menghindari kondisi aktif tetapi juga menjaga kesehatan dan kebahagiaan yang berkelanjutan," sebut WHO.
WHO juga menekankan bahwa menjaga dan memulihkan kesehatan mental sangat penting bagi individu, serta di berbagai komunitas dan masyarakat di seluruh dunia. Pasalnya, menjaga kesehatan mental dapat menjaga kemampuan seseorang untuk menikmati hidup sehingga tercapainya keseimbangan antara aktivitas hidup, tanggung jawab, dan upaya mencapai ketahanan psikologis.
Sadar akan pentingnya kesehatan mental, psikolog Jennyfer, M. Psi., gencar dalam menyebarkan kepedulian terhadap kesehatan mental . Kepedulian Jennyfer diawali dari lingkungan sekitarnya, yang mana kesehatan mental dianggap sebagai hal sepele. Bahkan kesehatan mental dinilai tabu karena adanya stigma negatif kepada mereka yang mencari pertolongan ke psikolog.
"Pada mulanya, alasan saya menjadi psikolog adalah untuk membantu orang di sekitar saya yang membutuhkan penanganan secara mental. Dahulu, di lingkungan sekitar saya, membahas mengenai kesehatan mental sering disepelekan dan dianggap tabu, karena adanya stigma negatif bahwa jika mencari pertolongan ke psikolog artinya gila," kata Jennyfer melalui pernyataan tertulisnya, Jumat (4/9).
"Pada saat itu, saya belum benar benar mengerti mengenai penanganan untuk orang membutuhkan bantuan dari segi mental. Hal itu membuat saya ingin belajar dan menjadi psikolog agar dapat membantu dalam segi kesehatan mental secara profesional dan tidak sembarangan," sambung psikolog yang biasa praktik di daerah Jalan Indraloka, Jakarta Barat.
Jennyfer sadar betul bahwa setiap orang memiliki risiko terkena gangguan kesehatan mental , tidak peduli usia, jenis kelamin, pendapatan, atau etnis mereka. Namun, adanya stigma negatif di masyarakat diakui Jennyfer menjadi hambatan besar bagi penyintas untuk mendapatkan pertolongan yang layak. Hal tersebut menjadi salah satu faktor mengapa banyak penyintas terlantarkan oleh keluarganya dan tidak memiliki tempat tinggal.
(Baca juga: Selain Orang Dewasa, Gejala Sakit Perut Covid-19 Bisa Dialami Anak-Anak )
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana seseorang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.
"Kesehatan mental lebih dari sekadar tidak adanya gangguan atau kecacatan mental. Puncak kesehatan mental tidak hanya tentang menghindari kondisi aktif tetapi juga menjaga kesehatan dan kebahagiaan yang berkelanjutan," sebut WHO.
WHO juga menekankan bahwa menjaga dan memulihkan kesehatan mental sangat penting bagi individu, serta di berbagai komunitas dan masyarakat di seluruh dunia. Pasalnya, menjaga kesehatan mental dapat menjaga kemampuan seseorang untuk menikmati hidup sehingga tercapainya keseimbangan antara aktivitas hidup, tanggung jawab, dan upaya mencapai ketahanan psikologis.
Sadar akan pentingnya kesehatan mental, psikolog Jennyfer, M. Psi., gencar dalam menyebarkan kepedulian terhadap kesehatan mental . Kepedulian Jennyfer diawali dari lingkungan sekitarnya, yang mana kesehatan mental dianggap sebagai hal sepele. Bahkan kesehatan mental dinilai tabu karena adanya stigma negatif kepada mereka yang mencari pertolongan ke psikolog.
"Pada mulanya, alasan saya menjadi psikolog adalah untuk membantu orang di sekitar saya yang membutuhkan penanganan secara mental. Dahulu, di lingkungan sekitar saya, membahas mengenai kesehatan mental sering disepelekan dan dianggap tabu, karena adanya stigma negatif bahwa jika mencari pertolongan ke psikolog artinya gila," kata Jennyfer melalui pernyataan tertulisnya, Jumat (4/9).
"Pada saat itu, saya belum benar benar mengerti mengenai penanganan untuk orang membutuhkan bantuan dari segi mental. Hal itu membuat saya ingin belajar dan menjadi psikolog agar dapat membantu dalam segi kesehatan mental secara profesional dan tidak sembarangan," sambung psikolog yang biasa praktik di daerah Jalan Indraloka, Jakarta Barat.
Jennyfer sadar betul bahwa setiap orang memiliki risiko terkena gangguan kesehatan mental , tidak peduli usia, jenis kelamin, pendapatan, atau etnis mereka. Namun, adanya stigma negatif di masyarakat diakui Jennyfer menjadi hambatan besar bagi penyintas untuk mendapatkan pertolongan yang layak. Hal tersebut menjadi salah satu faktor mengapa banyak penyintas terlantarkan oleh keluarganya dan tidak memiliki tempat tinggal.
tulis komentar anda