Pariatmojo, Penyandang Netra yang Berbagi Kebahagiaan Lewat Lukisan
Sabtu, 07 November 2020 - 12:11 WIB
Jajang R Kawentar
Pekerja Seni, Penulis
Rasanya hampir tidak mungkin, seorang penyandang tuna netra memiliki kemampuan dalam seni lukis yang umumnya harus mengerti warna, bentuk, komposisi, volume dan banyak lagi persyaratan yang dianjurkan. Meskipun anjuran itu banyak yang dilanggar, tetap saja seni visual bermula atau bertumpu pada penglihatan penciptanya. Belum lagi sebuah karya lukis dasarnya harus enak dilihat atau dipandang, walau sepertinya itu bukan keharusan.
Lalu muncul pertanyaan di masyarakat awam. Adakah tuna nerta mempelajari bidang seni lukis, hingga betul-betul mencintai seni lukis? Jawabnya ada, bahkan banyak dan beberapa di antaranya mendunia. Sebut saja Esref Arnagan dari Istambul, Turki; John Bramblitt dari Texas, Amerika, dan Sargy Mann Suffolk, Inggris. (Baca: Di Manakah Tempat Sifat Ikhlas Itu?)
Untuk di Indonesia, ada namanya Pariatmojo, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 28 Mei 1966. Meski belum begitu terkenal, tapi Pariatmojo mampu menyelesaikan karyanya cukup dengan merasakan melalui mata batinnya, lalu mengingatnya. Membiarkan orang lain yang pertama menikmati dengan mata telanjang, lalu meraba-raba perasaan yang diungkapkannya. Terkadang Pariatmojo juga meminta bantuan menjelaskan setiap karya yang selesai dibuatnya, untuk memastikan kesan yang ditangkap oleh orang yang melihat.
Lukisannya seperti puisi yang menggunakan bahasa visual. Menerjemahkan arti dan bunyi kata-kata tersembunyi ke dalam simbol serta warna yang dipahaminya dapat membebaskan diri dari permasalahan jiwa. Intinya berekspresi, hiburan dan penyembuhan. Selain itu bentuk komunikasi atau memberi kabar kepada siapapun yang ingin mengenal, dan mengetahui keinginannya serta yang dirasakannya.
Bagi alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, jurusan disain ini, keindahan yang dirasakannya justru ketika mewakili perasaannya ke bentuk visual. Apapun yang terjadi saat memutuskan berakhirnya satu lukisan diselesaikan, itulah wujud dari kehendaknya. Ia menjadi abai terhadap apa yang sudah dicurahkannya ke dalam kanvas. Meskipun sejak awal mempertimbangkan warna-warna yang akan digoreskannya. Terlebih dahulu ia membayangkan dan memetakan warna serta bentuk tanda-tanda yang mewakili perasaannya. Pada akhirnya ia sendiri tidak mengetahui persis bagaimana visualnya. (Baca juga: Kampanye Tatap Muka Meningkat, Kampanye Daring Turun)
Pariatmojo memang memiliki pengalaman melukis sewaktu masih dapat melihat. Beberapa kali mengikuti pameran, lukisannya figur-figur naturalis dramatis. Karya-karya disainnya sangat istimewa, banyak diapresiasi untuk project perumahan. Seringkali diminta mengerjakan maket, disain interior rumah. Pariatmojo sesungguhnya disainer interior yang handal.
Pekerja Seni, Penulis
Rasanya hampir tidak mungkin, seorang penyandang tuna netra memiliki kemampuan dalam seni lukis yang umumnya harus mengerti warna, bentuk, komposisi, volume dan banyak lagi persyaratan yang dianjurkan. Meskipun anjuran itu banyak yang dilanggar, tetap saja seni visual bermula atau bertumpu pada penglihatan penciptanya. Belum lagi sebuah karya lukis dasarnya harus enak dilihat atau dipandang, walau sepertinya itu bukan keharusan.
Lalu muncul pertanyaan di masyarakat awam. Adakah tuna nerta mempelajari bidang seni lukis, hingga betul-betul mencintai seni lukis? Jawabnya ada, bahkan banyak dan beberapa di antaranya mendunia. Sebut saja Esref Arnagan dari Istambul, Turki; John Bramblitt dari Texas, Amerika, dan Sargy Mann Suffolk, Inggris. (Baca: Di Manakah Tempat Sifat Ikhlas Itu?)
Untuk di Indonesia, ada namanya Pariatmojo, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 28 Mei 1966. Meski belum begitu terkenal, tapi Pariatmojo mampu menyelesaikan karyanya cukup dengan merasakan melalui mata batinnya, lalu mengingatnya. Membiarkan orang lain yang pertama menikmati dengan mata telanjang, lalu meraba-raba perasaan yang diungkapkannya. Terkadang Pariatmojo juga meminta bantuan menjelaskan setiap karya yang selesai dibuatnya, untuk memastikan kesan yang ditangkap oleh orang yang melihat.
Lukisannya seperti puisi yang menggunakan bahasa visual. Menerjemahkan arti dan bunyi kata-kata tersembunyi ke dalam simbol serta warna yang dipahaminya dapat membebaskan diri dari permasalahan jiwa. Intinya berekspresi, hiburan dan penyembuhan. Selain itu bentuk komunikasi atau memberi kabar kepada siapapun yang ingin mengenal, dan mengetahui keinginannya serta yang dirasakannya.
Bagi alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, jurusan disain ini, keindahan yang dirasakannya justru ketika mewakili perasaannya ke bentuk visual. Apapun yang terjadi saat memutuskan berakhirnya satu lukisan diselesaikan, itulah wujud dari kehendaknya. Ia menjadi abai terhadap apa yang sudah dicurahkannya ke dalam kanvas. Meskipun sejak awal mempertimbangkan warna-warna yang akan digoreskannya. Terlebih dahulu ia membayangkan dan memetakan warna serta bentuk tanda-tanda yang mewakili perasaannya. Pada akhirnya ia sendiri tidak mengetahui persis bagaimana visualnya. (Baca juga: Kampanye Tatap Muka Meningkat, Kampanye Daring Turun)
Pariatmojo memang memiliki pengalaman melukis sewaktu masih dapat melihat. Beberapa kali mengikuti pameran, lukisannya figur-figur naturalis dramatis. Karya-karya disainnya sangat istimewa, banyak diapresiasi untuk project perumahan. Seringkali diminta mengerjakan maket, disain interior rumah. Pariatmojo sesungguhnya disainer interior yang handal.
tulis komentar anda