Inilah Dampak Buruk Kekerasan Seksual seperti Dialami Korban Indrajid, Pelaku Penculikan di Jambi
Selasa, 24 November 2020 - 17:10 WIB
JAKARTA - Kasus kekerasan seksual seakan tidak akan pernah habis. Yang terbaru adalah kasus penculikan anak yang dilakukan oleh sepasang suami istri di Tebo Ilir, Jambi. Selain melakukan penculikan, kedua pelaku juga melakukan kekerasan seksual dengan menyetubuhi korbannya yang masih di bawah umur.
Dokter Spesialis Kejiwaan dr. Gina Anindyajati SpKJ mengatakan, kekerasan seksual adalah setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang tanpa adanya persetujuan. “Ada orang yang melakukan pemaksaan, atau menguasai orang lain sehingga adanya seksual tanpa persetujuan,” ucap dr. Gina.
(
)
Ia menuturkan, dalam kekerasan seksual selalu ada pemaksaan dan bisa terjadi karena korban tidak memberi persetujuan. “Jika terjadi pada anak-anak mungkin terlihatnya mereka tidak paham, lalu kesannya tidak ada pemaksaan. Padahal tidak pernah ada persetujuan dan itu termasuk kategori kekerasan seksual,” ungkap dr. Gina.
Menurutnya, ada 15 bentuk kekerasan seksual yang bisa teridentifikasi, dan yang paling lazim adalah pemerkosaan. Pemaksaan perkawinan juga bisa dibilang suatu bentuk kekerasan. “Mengapa bisa terjadi? Ada banyak spekulasi. Ada yang menyebutkan karena pengalaman masa kecil, orangnya begini kepribadiannya, banyak sekali faktor kekerasan seksual itu terjadi,” terang dr. Gina.
Ia menyebutkan bahwa kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada orang per orang, tapi juga melibatkan keluarga, komunitas, dan budaya. “Kita semua punya peran dalam kekerasan seksual, kita bisa jadi bagian. Setiap orang punya cara menyelesaikan masalah yang berbeda. Semakin seseorang banyak terekspos role model yang kasar, maka semakin tinggi ia jadi pelaku,” papar dr. Gina.
Ia menjelaskan, siapapun punya risiko menjadi korban atau pelaku, dan siapa saja bisa menjadi korban baik anak-anak, orang dewasa, hingga lanjut usia.
“Perempuan, laki-laki bisa jadi korban. Kekerasan seksual tidak pilih-pilih. Pelaku kekerasan anak-anak juga bisa, orang dewasa banyak, pelaku lansia juga ada. Pelaku pun tidak melihat jenis kelamin dan umur,” imbuhnya.
Dr. Gina menambahkan, seseorang akan cenderung menjadi pelaku ketika ada keterampilan sosial yang buruk, perasaan tidak berdaya, harga diri rendah, perasaan terhina, kesendirian, masalah seksual seperti disfungsi ereksi atau ejakulasi dini, dan masalah keterikatan emosional.
( )
“Apa dampak kekerasan seksual? Sederhananya bisa dilihat dari 3 aspek, yaitu fisik, psikiatrik, dan sosial. Dampak fisik ada kesehatan fisik yang lebih buruk seperti penyakit kronis, kronis, lebih sering mengunjungi dokter, disabilitas pekerjaan, dan berisiko besar terkena HIV,” ungkap dr. Gina.
Sementara dampak psikiatriknya bisa gangguan jiwa, depresi, tekanan psikologis, dorongan bunuh diri, dan perilaku menyakiti diri. Lalu dampak sosial seperti sulit percaya pada orang lain, isolasi diri, serta ketakutan membina hubungan dengan pasangan.
Lihat Juga: Menkomdigi Meutya Hafid Kunjungi NTT, Ajak Masyarakat Kawal Penggunaan Internet pada Anak
Dokter Spesialis Kejiwaan dr. Gina Anindyajati SpKJ mengatakan, kekerasan seksual adalah setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang tanpa adanya persetujuan. “Ada orang yang melakukan pemaksaan, atau menguasai orang lain sehingga adanya seksual tanpa persetujuan,” ucap dr. Gina.
(
Baca Juga
Ia menuturkan, dalam kekerasan seksual selalu ada pemaksaan dan bisa terjadi karena korban tidak memberi persetujuan. “Jika terjadi pada anak-anak mungkin terlihatnya mereka tidak paham, lalu kesannya tidak ada pemaksaan. Padahal tidak pernah ada persetujuan dan itu termasuk kategori kekerasan seksual,” ungkap dr. Gina.
Menurutnya, ada 15 bentuk kekerasan seksual yang bisa teridentifikasi, dan yang paling lazim adalah pemerkosaan. Pemaksaan perkawinan juga bisa dibilang suatu bentuk kekerasan. “Mengapa bisa terjadi? Ada banyak spekulasi. Ada yang menyebutkan karena pengalaman masa kecil, orangnya begini kepribadiannya, banyak sekali faktor kekerasan seksual itu terjadi,” terang dr. Gina.
Ia menyebutkan bahwa kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada orang per orang, tapi juga melibatkan keluarga, komunitas, dan budaya. “Kita semua punya peran dalam kekerasan seksual, kita bisa jadi bagian. Setiap orang punya cara menyelesaikan masalah yang berbeda. Semakin seseorang banyak terekspos role model yang kasar, maka semakin tinggi ia jadi pelaku,” papar dr. Gina.
Ia menjelaskan, siapapun punya risiko menjadi korban atau pelaku, dan siapa saja bisa menjadi korban baik anak-anak, orang dewasa, hingga lanjut usia.
“Perempuan, laki-laki bisa jadi korban. Kekerasan seksual tidak pilih-pilih. Pelaku kekerasan anak-anak juga bisa, orang dewasa banyak, pelaku lansia juga ada. Pelaku pun tidak melihat jenis kelamin dan umur,” imbuhnya.
Dr. Gina menambahkan, seseorang akan cenderung menjadi pelaku ketika ada keterampilan sosial yang buruk, perasaan tidak berdaya, harga diri rendah, perasaan terhina, kesendirian, masalah seksual seperti disfungsi ereksi atau ejakulasi dini, dan masalah keterikatan emosional.
( )
“Apa dampak kekerasan seksual? Sederhananya bisa dilihat dari 3 aspek, yaitu fisik, psikiatrik, dan sosial. Dampak fisik ada kesehatan fisik yang lebih buruk seperti penyakit kronis, kronis, lebih sering mengunjungi dokter, disabilitas pekerjaan, dan berisiko besar terkena HIV,” ungkap dr. Gina.
Sementara dampak psikiatriknya bisa gangguan jiwa, depresi, tekanan psikologis, dorongan bunuh diri, dan perilaku menyakiti diri. Lalu dampak sosial seperti sulit percaya pada orang lain, isolasi diri, serta ketakutan membina hubungan dengan pasangan.
Lihat Juga: Menkomdigi Meutya Hafid Kunjungi NTT, Ajak Masyarakat Kawal Penggunaan Internet pada Anak
(tsa)
tulis komentar anda