Menikmati Saoto Bathok di Tengah Hamparan Sawah
Sabtu, 06 Juni 2020 - 14:45 WIB
Soto merupakan salah satu di antara kuliner yang paling diminati di Indonesia. Di beberapa daerah nama soto banyak disesuaikan dengan nama kotanya. Lihat saja Soto Medan, Soto Padang, Soto Betawi. Soto Mi Bogor, Soto Bandung, Soto Tasik, Soto Madura, Soto Kudus, Soto Lamongan, Soto Banjar, Coto Makasar, Soto Lenthok Yogyakarta, Soto Tauacho Pekalongan dan Soto Bening Semarang.
Masing-masing daerah memiliki rasa tersendiri yang menjadi ciri khasnya hingga membedakan dengan soto lainnya. Tidak hanya yang berhubungan dengan nama kota, di beberapa tempat lainya ada juga sebutan soto yang namanya sesuai dengan nama tempat soto tersebut. Di antaranya seperti soto yang ditawarkan di daerah Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Masyarakat sekitar mengenal tempat makan tersebut dengan nama Saoto Bathok Mbah Katro.
Dinamakan soato bathok (tempurun kelapa) karena dalam menyajikannya mengunakan mangkok yang terbuat dari bathok. Sedangkan Nama Mbah Katro, merupakan nama pemilik warung tersebut, Katro Sumaryo yang kini berusia 50 tahun. Tentu berbeda dengan dengan soto-soto lainnya. Baik cita rasa maupun namanya.
Dari sisi cita rasa, soto ini gurih dengan kuah bening, sehingga terasa segar saat menyantapnya. Rasa gurih kuah berasal dari daging sapi. Sedangkan isi dari saoto bathok adalah nasi, daging sapi, tauge, taburan daun seledri dan bawang merah goreng. Cita rasa Saoto Bathok Mbah Katro semakin nikmat bila ditambah dengan perasan jeruk nipis, sambal dan kecep. (Baca: Oseng Daging Kecombrang, Bisa untuk Makan Siang)
Kombinasi rasa gurih, pedas, dan manis dengan rempah yang pas ditambah makanan pendamping, seprti tempe garit, sate usus, sate telur puyuh, lempeng dan krupuk putih mampu membuat penikmatinya ketagihan. Sehingga tidak mengherankan, pembeli akan memesan lagi usai menikmati porsi pertama. “Biasanya pembeli memesan tiga sampai empat mangkok bathok,” kata pengelola Warung Saoto Bathok Mbah Katro, Suyatno.
Hal lain yang menjadi khas dari warung soto satu ini adalah tempatnya berada di tengah area persawahan dengan konsep terbuka dan dekat dengan obyek wisata Candi Sambisari. Sehingga saat menyantap soto dapat melihat suasana persawahan dan pedesaan, terlebih konsep tempat makan yang terbuka menyatukan dengan alam.
Di tempat ini juga terdapat delapan buah saung berukuran kecil hingga besar sebagai tempat untuk menikmati soto bathok. Terdapat saung dengan konsep lesehan maupun saung yang dilengkapi dengan meja kursi. Di sekitar saung juga ditanami beberapa pohon yang membuat suasana semakin nyaman.
Menurut Suyanto Warung Saoto Bathok Mbah Katro ini berdiri pada 2014. Yakni saat pemiliknya Katro Sumaryo memutuskan pensiun dini sebagai karyawan hotel di Yogyakarta. Kemudian Karto mendirikan warung makan yang belum ada di tempat lain dan bisa menjadi ciri khas, hingga munculan ide mendirikan warung soto yang mangkoknya dari bathok. Alasan mengunakan mangkok dari bathok, karena berasal dari alam sekaligus memberdayakan masyarakat sebagai perajin mangkok bathok, apalagi dari sisi harga terbilang murah.
Selain itu batok juga memiliki fungsi mengurangi tingkat sakit perut, karena kandungan karbonnya. Sehingga saat dituangi kuah panas, akan bereaksi bagus untuk alat pencernaan.
Pemakaian nama saoto bukan soto, karena orang tua dulu menyebut soto dengan mana saoto. Sehingga nama itu yang dipakai untuk nama warung sotonya, yakni Saoto Bathok Mbah Katro. “Warung soto dengan mengunakan mangkok dari bathok ini dapat dikatakan yang pertama kali. Setelah itu diikuti di tempat-tempat lain,” paparnya. (Baca juga: Ramen Ini Terbuat dari Jangkrik, Anda Berani Coba?)
Harga satu batuk soto lumayan murah yakni Rp6.000 sedangkan soto dipisah dengan nasi Rp8.000. Untuk minuman rata-rata Rp2.500 per gelas dan makanan pendamping antara Rp500-Rp2.000 perpotong. Tidak mengherankan, selain rasanya enak dengan alam pedesaaan dan harga yang terjangkau, tempat ini banyak diserbu pembeli. Rata-rata per hari antara 800-1.200 mangkok batok. (Priyo Setyawan)
Masing-masing daerah memiliki rasa tersendiri yang menjadi ciri khasnya hingga membedakan dengan soto lainnya. Tidak hanya yang berhubungan dengan nama kota, di beberapa tempat lainya ada juga sebutan soto yang namanya sesuai dengan nama tempat soto tersebut. Di antaranya seperti soto yang ditawarkan di daerah Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Masyarakat sekitar mengenal tempat makan tersebut dengan nama Saoto Bathok Mbah Katro.
Dinamakan soato bathok (tempurun kelapa) karena dalam menyajikannya mengunakan mangkok yang terbuat dari bathok. Sedangkan Nama Mbah Katro, merupakan nama pemilik warung tersebut, Katro Sumaryo yang kini berusia 50 tahun. Tentu berbeda dengan dengan soto-soto lainnya. Baik cita rasa maupun namanya.
Dari sisi cita rasa, soto ini gurih dengan kuah bening, sehingga terasa segar saat menyantapnya. Rasa gurih kuah berasal dari daging sapi. Sedangkan isi dari saoto bathok adalah nasi, daging sapi, tauge, taburan daun seledri dan bawang merah goreng. Cita rasa Saoto Bathok Mbah Katro semakin nikmat bila ditambah dengan perasan jeruk nipis, sambal dan kecep. (Baca: Oseng Daging Kecombrang, Bisa untuk Makan Siang)
Kombinasi rasa gurih, pedas, dan manis dengan rempah yang pas ditambah makanan pendamping, seprti tempe garit, sate usus, sate telur puyuh, lempeng dan krupuk putih mampu membuat penikmatinya ketagihan. Sehingga tidak mengherankan, pembeli akan memesan lagi usai menikmati porsi pertama. “Biasanya pembeli memesan tiga sampai empat mangkok bathok,” kata pengelola Warung Saoto Bathok Mbah Katro, Suyatno.
Hal lain yang menjadi khas dari warung soto satu ini adalah tempatnya berada di tengah area persawahan dengan konsep terbuka dan dekat dengan obyek wisata Candi Sambisari. Sehingga saat menyantap soto dapat melihat suasana persawahan dan pedesaan, terlebih konsep tempat makan yang terbuka menyatukan dengan alam.
Di tempat ini juga terdapat delapan buah saung berukuran kecil hingga besar sebagai tempat untuk menikmati soto bathok. Terdapat saung dengan konsep lesehan maupun saung yang dilengkapi dengan meja kursi. Di sekitar saung juga ditanami beberapa pohon yang membuat suasana semakin nyaman.
Menurut Suyanto Warung Saoto Bathok Mbah Katro ini berdiri pada 2014. Yakni saat pemiliknya Katro Sumaryo memutuskan pensiun dini sebagai karyawan hotel di Yogyakarta. Kemudian Karto mendirikan warung makan yang belum ada di tempat lain dan bisa menjadi ciri khas, hingga munculan ide mendirikan warung soto yang mangkoknya dari bathok. Alasan mengunakan mangkok dari bathok, karena berasal dari alam sekaligus memberdayakan masyarakat sebagai perajin mangkok bathok, apalagi dari sisi harga terbilang murah.
Selain itu batok juga memiliki fungsi mengurangi tingkat sakit perut, karena kandungan karbonnya. Sehingga saat dituangi kuah panas, akan bereaksi bagus untuk alat pencernaan.
Pemakaian nama saoto bukan soto, karena orang tua dulu menyebut soto dengan mana saoto. Sehingga nama itu yang dipakai untuk nama warung sotonya, yakni Saoto Bathok Mbah Katro. “Warung soto dengan mengunakan mangkok dari bathok ini dapat dikatakan yang pertama kali. Setelah itu diikuti di tempat-tempat lain,” paparnya. (Baca juga: Ramen Ini Terbuat dari Jangkrik, Anda Berani Coba?)
Harga satu batuk soto lumayan murah yakni Rp6.000 sedangkan soto dipisah dengan nasi Rp8.000. Untuk minuman rata-rata Rp2.500 per gelas dan makanan pendamping antara Rp500-Rp2.000 perpotong. Tidak mengherankan, selain rasanya enak dengan alam pedesaaan dan harga yang terjangkau, tempat ini banyak diserbu pembeli. Rata-rata per hari antara 800-1.200 mangkok batok. (Priyo Setyawan)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda