Orang Tua Harus Bisa Menyiapkan Mental Anak Menghadapi New Normal
Kamis, 18 Juni 2020 - 10:11 WIB
JAKARTA - Bukan hanya orang dewasa yang harus siap menghadapi new normal. Anak-anak pun harus disiapkan fisik dan mentalnya untuk menghadapi normal baru.
Banyak masyarakat mengira bahwa new normal berarti virus corona sudah lenyap dari muka bumi. Padahal, new normal yang tepat adalah penyesuaian gaya hidup dalam rangka mengendalikan transmisi Covid-19. Menurut WHO setidaknya ada enam syarat yang membolehkan suatu negara masuk ke era new normal.
Yang pertama, angka kejadian kasus Covid-19 bisa dikendalikan atau turun. Sementara di Indonesia, selalu ada peningkatan kasus baru yaitu 850 per hari. "Grafik kita masih naik, bahkan puncaknya saja belum," kata dr. Melia Yunita, M. Sc, Sp. A dalam Instagram Live dengan judul Persiapan Anak Untuk New Normal, Minggu (14/6/2020). (Baca: Cegah Dehidrasi Pada si Kecil)
Kedua, Semua masyarakat harus bisa menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan jaga jarak, dimana kebiasaan ini juga belum ada di masyarakat kita. Yang ketiga, kapasitas sistem kesehatan mampu untuk mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani setiap kasus, serta menelusuri kontak. "Disini untuk PCR dan swab makan waktu bisa sampai tujuh hari. Jadi artinya new normal kita adalah karena alasan ekonomi bukan karena penyakitnya sudah selesai," tegas dr. Melia.
Ia berharap agar orangtua memahami sepenuhnya hal ini dan tidak menghilangkan kewaspadaan terhadap Covid19. Dr. Melia mengingatkan agar PHBS selalu diterapkan pada anak, dengan mengajak cuci tangan, serta menerapkan etika batuk. Yaitu menutup dengan tisu atau sapu tangan, ataupun bagian dalam siku ketika batuk/bersin. Dan jangan lupa pemakaian masker.
Namun pemakaian masker tidak dianjurkan untuk anak dibawah dua tahun. Mengingat saluran napas anak masih sempit dan khawatir malah akan menghambat napas sehingga menjadi sesak, selain itu dikhawatirkan juga ada bahaya sufokasi/rasa seperti tercekik yang membuat bayi merasa tidak nyaman. Disamping itu, pemakaian masker untuk anak dibawah dua tahun dipandang tidak efektif sebab anak masih suka memegang wajah.
Karenanya orangtualah yang harus rajin mencucikan tangan si kecil dan menerapkan PHBS. Kebiasaan merokok bagi orangtua sebaiknya dihentikan. Selain membahayakan anak (anak berpotensi batuk/pilek), ada penelitian bahwa merokok akan memperberat dan meningkatkan insidensi Covid19. Imunisasi tidak boleh dilupakan.
Sayangnya, banyak orangtua yang khawatir ke rumah sakit untuk imunisasi anak lantaran virus corona. "Masalahnya jika tidak vaksin pandemiknya bukan Covid-19 lagi tapi penyakit lain. Tahun depan bisa saja muncul difteri, campak, polio dan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa). Maka itu yang sudah menunda vaksin segera divaksin anaknya," ingat dr. Melia. (Baca juga: Permainan Ini Bisa Latih Kemampuan Motorik Anak)
Dibenarkan dr. Theressia Handayani, orangtua khawatir mengajak anak vaksin tapi malah mengajak ke supermarket padahal ini lebih berbahaya. "Kalau takut ke rumah sakit bisa pilih rumah vaksin misalnya, yang penting anak segera divaksin dan tidak ditunda," imbuh dr. Theressia yang juga seorang vaksinator. Ia juga menyinggung vaksin influenza, meski bukan untuk mencegah Covid19, namun tetap perlu diberikan.
Perlu diketahui, komplikasi terberat dari Covid-19 adalah pneumonia (radang paru), nah IDAI merekomendasikan untuk melengkapi semua vaksin yang berhubungan dengan pneumonia seperti PCV, influenza, PCV, MMR, Hib, dan vaksin Campak. Sebelumnya, jika ada pasien pneumonia dokter tidak berpikir bahwa itu adalah Covid19. Sekarang, semua pasien yang pneumonia dinyatakan PDP (Pasien Dalam Pemantauan) dan harus diswab.
Selain vaksinasi, tentunya asupan nutrisi juga harus menjadi perhatian orangtua. Pemberian vitamin sangat disarankan untuk menangkal Covid19 terutama vitamin A, C, D, dan zinc. Dr. Melia mengatakan, ada riset yang mengungkap, kadar vitamin D pada pasien Covid-19 ternyata rendah. Selama ini kita berpikir, hidup di daerah tropis maka tidak lagi membutuhkan vitamin D. (Baca juga: Pandemi Covid-19, Gugatan cerai di Salatiga Menurun)
"Ternyata ada penelitian, tipe orang Asia sebanyak 80% memiliki kelainan gen untuk menyerap matahari dan merubahnya menjadi vitamin D. Saya sendiri sudah diperiksa genomiknya dan hasilnya ada kelainan gen (untuk menyerap vitamin D) makanya harus pakai suplemen," pungkas dr. Theressia. (Sri Noviarni)
Banyak masyarakat mengira bahwa new normal berarti virus corona sudah lenyap dari muka bumi. Padahal, new normal yang tepat adalah penyesuaian gaya hidup dalam rangka mengendalikan transmisi Covid-19. Menurut WHO setidaknya ada enam syarat yang membolehkan suatu negara masuk ke era new normal.
Yang pertama, angka kejadian kasus Covid-19 bisa dikendalikan atau turun. Sementara di Indonesia, selalu ada peningkatan kasus baru yaitu 850 per hari. "Grafik kita masih naik, bahkan puncaknya saja belum," kata dr. Melia Yunita, M. Sc, Sp. A dalam Instagram Live dengan judul Persiapan Anak Untuk New Normal, Minggu (14/6/2020). (Baca: Cegah Dehidrasi Pada si Kecil)
Kedua, Semua masyarakat harus bisa menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan jaga jarak, dimana kebiasaan ini juga belum ada di masyarakat kita. Yang ketiga, kapasitas sistem kesehatan mampu untuk mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani setiap kasus, serta menelusuri kontak. "Disini untuk PCR dan swab makan waktu bisa sampai tujuh hari. Jadi artinya new normal kita adalah karena alasan ekonomi bukan karena penyakitnya sudah selesai," tegas dr. Melia.
Ia berharap agar orangtua memahami sepenuhnya hal ini dan tidak menghilangkan kewaspadaan terhadap Covid19. Dr. Melia mengingatkan agar PHBS selalu diterapkan pada anak, dengan mengajak cuci tangan, serta menerapkan etika batuk. Yaitu menutup dengan tisu atau sapu tangan, ataupun bagian dalam siku ketika batuk/bersin. Dan jangan lupa pemakaian masker.
Namun pemakaian masker tidak dianjurkan untuk anak dibawah dua tahun. Mengingat saluran napas anak masih sempit dan khawatir malah akan menghambat napas sehingga menjadi sesak, selain itu dikhawatirkan juga ada bahaya sufokasi/rasa seperti tercekik yang membuat bayi merasa tidak nyaman. Disamping itu, pemakaian masker untuk anak dibawah dua tahun dipandang tidak efektif sebab anak masih suka memegang wajah.
Karenanya orangtualah yang harus rajin mencucikan tangan si kecil dan menerapkan PHBS. Kebiasaan merokok bagi orangtua sebaiknya dihentikan. Selain membahayakan anak (anak berpotensi batuk/pilek), ada penelitian bahwa merokok akan memperberat dan meningkatkan insidensi Covid19. Imunisasi tidak boleh dilupakan.
Sayangnya, banyak orangtua yang khawatir ke rumah sakit untuk imunisasi anak lantaran virus corona. "Masalahnya jika tidak vaksin pandemiknya bukan Covid-19 lagi tapi penyakit lain. Tahun depan bisa saja muncul difteri, campak, polio dan menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa). Maka itu yang sudah menunda vaksin segera divaksin anaknya," ingat dr. Melia. (Baca juga: Permainan Ini Bisa Latih Kemampuan Motorik Anak)
Dibenarkan dr. Theressia Handayani, orangtua khawatir mengajak anak vaksin tapi malah mengajak ke supermarket padahal ini lebih berbahaya. "Kalau takut ke rumah sakit bisa pilih rumah vaksin misalnya, yang penting anak segera divaksin dan tidak ditunda," imbuh dr. Theressia yang juga seorang vaksinator. Ia juga menyinggung vaksin influenza, meski bukan untuk mencegah Covid19, namun tetap perlu diberikan.
Perlu diketahui, komplikasi terberat dari Covid-19 adalah pneumonia (radang paru), nah IDAI merekomendasikan untuk melengkapi semua vaksin yang berhubungan dengan pneumonia seperti PCV, influenza, PCV, MMR, Hib, dan vaksin Campak. Sebelumnya, jika ada pasien pneumonia dokter tidak berpikir bahwa itu adalah Covid19. Sekarang, semua pasien yang pneumonia dinyatakan PDP (Pasien Dalam Pemantauan) dan harus diswab.
Selain vaksinasi, tentunya asupan nutrisi juga harus menjadi perhatian orangtua. Pemberian vitamin sangat disarankan untuk menangkal Covid19 terutama vitamin A, C, D, dan zinc. Dr. Melia mengatakan, ada riset yang mengungkap, kadar vitamin D pada pasien Covid-19 ternyata rendah. Selama ini kita berpikir, hidup di daerah tropis maka tidak lagi membutuhkan vitamin D. (Baca juga: Pandemi Covid-19, Gugatan cerai di Salatiga Menurun)
"Ternyata ada penelitian, tipe orang Asia sebanyak 80% memiliki kelainan gen untuk menyerap matahari dan merubahnya menjadi vitamin D. Saya sendiri sudah diperiksa genomiknya dan hasilnya ada kelainan gen (untuk menyerap vitamin D) makanya harus pakai suplemen," pungkas dr. Theressia. (Sri Noviarni)
(ysw)
tulis komentar anda