Cerdas Kelola Emosi saat Pandemi
Kamis, 25 Juni 2020 - 13:55 WIB
Sedikitnya 45.891 orang dikonfirmasi menderita Covid-19 dengan jumlah meninggal hampir menyentuh angka 2500 jiwa. Virus corona yang tidak mengenal usia telah membuat perubahan di bidang kesehatan, melumpuhkan ekonomi global, dan membuat masyarakat dunia memiliki kebiasaan baru terkait protokol kesehatan pencegahan persebaran virus corona.
Dr Sawedi Muhammad SSos MSc melihat risiko pandemi Covid-19 memiliki tiga karakteristik, yaitu delokalisasi (Covid-19 tidak mengenal lokasi), incaltulate risk (biaya pandemi Covid-19 tidak dapat dihitung), dan non-compensability (tidak ada yang mampu memberi kompensasi). (Baca: Inilah Tips Aman Bersepeda di Luar Rumah Menurut Ahli)
“Ini kaitannya dengan ketakutan, kecemasan, stres, dan emosi. Risiko pandemi Covid-19 adalah risiko umat manusia, bukan hanya agama, ras, dan suku tertentu, ini menjadi bencana global," urai sosiolog Universitas Hasanuddin ini dalam diskusi online “Cerdas Mengelola Stres dan Emosi”, Jumat (19/6/2020).
Menurut dia, kita harus merumuskan langkah-langkah cerdas dalam memanajemen risiko sehingga tidak larut dalam kesedihan, bahkan ketakutan yang berlebihan.
Beberapa langkah yang dimaksud yakni memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif, mengenali kondisi kita dan orang-orang di sekitar, merekonsiliasi ketakutan dengan penerimaan terhadap situasi yang tidak pasti, optimistis bahwa pandemi ini pasti akan selesai, dan menghindari informasi yang tidak jelas. (Lihat videonya: Heboh! Pemuda di Lombok Nikahi Dua Gadis Sekaligus)
"Yang tidak kalah penting adalah berkontribusi dalam hal apa pun yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko yang mampu menghindarkan kita dari stres, emosi, cemas, dan ketakutan," paparnya.
Ketika manusia berada dalam situasi krisis, manusia tidak dapat langsung menerimanya, tetapi melewati lima tahapan terlebih dulu. Dimulai dari penyangkalan atau melawan terhadap realitas, diikuti rasa marah terhadap situasi, tawar-menawar, kemudian depresi yang jika tidak diobati akan menyebabkan tindakan fatalistik.
Barulah masuk ke tahapan menerima situasi. "Tahapan yang paling ideal ada meaning, di mana kita memaknai bahwa situasi yang terjadi adalah evaluasi terhadap diri sendiri," ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Sarwedi memberi catatan, pemerintah sebagai institusi yang paling kompeten dan paham terhadap situasi pandemi Covid-19 sedianya harus memberikan informasi yang transparan dan berdasarkan paradigma sains. (Baca juga: Biaya Perawatan Pasien Covid Per hari Rp10-25 Juta)
Pemerintah juga harus mendisiplinkan diri terhadap kebijakan yang dibuat. Jika masyarakat tidak puas dan tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah, masyarakat akan mengalami public distress, bahkan akan memunculkan gerakan sosial (social movement). (Sri Noviarni)
Dr Sawedi Muhammad SSos MSc melihat risiko pandemi Covid-19 memiliki tiga karakteristik, yaitu delokalisasi (Covid-19 tidak mengenal lokasi), incaltulate risk (biaya pandemi Covid-19 tidak dapat dihitung), dan non-compensability (tidak ada yang mampu memberi kompensasi). (Baca: Inilah Tips Aman Bersepeda di Luar Rumah Menurut Ahli)
“Ini kaitannya dengan ketakutan, kecemasan, stres, dan emosi. Risiko pandemi Covid-19 adalah risiko umat manusia, bukan hanya agama, ras, dan suku tertentu, ini menjadi bencana global," urai sosiolog Universitas Hasanuddin ini dalam diskusi online “Cerdas Mengelola Stres dan Emosi”, Jumat (19/6/2020).
Menurut dia, kita harus merumuskan langkah-langkah cerdas dalam memanajemen risiko sehingga tidak larut dalam kesedihan, bahkan ketakutan yang berlebihan.
Beberapa langkah yang dimaksud yakni memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif, mengenali kondisi kita dan orang-orang di sekitar, merekonsiliasi ketakutan dengan penerimaan terhadap situasi yang tidak pasti, optimistis bahwa pandemi ini pasti akan selesai, dan menghindari informasi yang tidak jelas. (Lihat videonya: Heboh! Pemuda di Lombok Nikahi Dua Gadis Sekaligus)
"Yang tidak kalah penting adalah berkontribusi dalam hal apa pun yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko yang mampu menghindarkan kita dari stres, emosi, cemas, dan ketakutan," paparnya.
Ketika manusia berada dalam situasi krisis, manusia tidak dapat langsung menerimanya, tetapi melewati lima tahapan terlebih dulu. Dimulai dari penyangkalan atau melawan terhadap realitas, diikuti rasa marah terhadap situasi, tawar-menawar, kemudian depresi yang jika tidak diobati akan menyebabkan tindakan fatalistik.
Barulah masuk ke tahapan menerima situasi. "Tahapan yang paling ideal ada meaning, di mana kita memaknai bahwa situasi yang terjadi adalah evaluasi terhadap diri sendiri," ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Sarwedi memberi catatan, pemerintah sebagai institusi yang paling kompeten dan paham terhadap situasi pandemi Covid-19 sedianya harus memberikan informasi yang transparan dan berdasarkan paradigma sains. (Baca juga: Biaya Perawatan Pasien Covid Per hari Rp10-25 Juta)
Pemerintah juga harus mendisiplinkan diri terhadap kebijakan yang dibuat. Jika masyarakat tidak puas dan tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah, masyarakat akan mengalami public distress, bahkan akan memunculkan gerakan sosial (social movement). (Sri Noviarni)
(ysw)
tulis komentar anda