Sindrom Patah Hati Meningkat Selama Pandemi Covid-19

Selasa, 14 Juli 2020 - 17:30 WIB
loading...
Sindrom Patah Hati Meningkat...
Sindrom patah hati dengan gejala seperti nyeri dada dan sesak napas diduga menjadi konsekuensi lain dari pandemi Covid-19 seiring dengan banyaknya pasien. (News Medical)
A A A
Dokter di satu sistem rumah sakit Ohio telah menemukan kemungkinan konsekuensi lain dari pandemi COVID-19 yakni sindrom patah hati. Kondisi yang oleh dokter disebut stress cardiomyopathy ini tampak mirip serangan jantung dengan gejala seperti nyeri dada dan sesak napas. Namun, penyebabnya berbeda. Para ahli percaya itu menandakan kelemahan sementara pada otot jantung karena lonjakan hormon stres.

Di dua rumah sakit Klinik Cleveland, diagnosis stres kardiomiopati meningkat pada minggu-minggu awal pandemi COVID-19. Selama bulan Maret dan April, studi baru menemukan, stres kardiomiopati didiagnosis pada hampir 8% pasien yang tiba di gawat darurat dengan nyeri dada dan gejala jantung lainnya.

Kondisi ini ditemukan empat sampai lima kali lebih tinggi dari tingkat yang terlihat pada periode pra-pandemi, yang berkisar antara 1,5% dan 1,8%. Sementara COVID-19 dapat menyebabkan komplikasi jantung, tidak ada pasien dengan stress cardiomyopathy yang dites positif untuk infeksi, demikian dikatakan dr. Ankur Kalra, seorang ahli jantung yang bekerja pada penelitian ini.

"Itu menunjukkan ini bukan cerminan dari virus, tetapi tekanan dari pandemi," kata Kalra seperti dilansir dari WebMd, Selasa (14/7).

Stress cardiomyopathy adalah diagnosis yang relatif baru, dan dokter masih berusaha untuk memahami sepenuhnya. Tapi kondisi ini mendapat julukannya karena mungkin muncul setelah peristiwa yang sulit secara emosional, seperti perceraian atau kematian orang yang dicintai.

Namun, situasi stres lainnya seperti dari kecelakaan lalu lintas hingga operasi juga bisa menjadi pemicu. Dr. David Kass, seorang profesor kardiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins di Baltimore menjelaskan, kondisi itu mungkin tidak muncul segera setelah pemicunya.

Kass mengatakan seseorang dapat, misalnya, mengembangkan stres kardiomiopati setelah mengalami gempa bumi kemudian berurusan dengan rasa takut yang lain. Kondisi ini diperkirakan terjadi ketika otot jantung diliputi oleh banjir katekolamin atau lebih dikenal sebagai hormon stres dan sementara mengurangi kemampuan memompa jantung.

Kondisinya ini cukup berbeda dari serangan jantung. Tidak ada penyumbatan di arteri, dan sel-sel otot jantung mungkin terpana untuk sementara, mereka tidak mati. Namun, dr. James Januzzi, ahli jantung di Massachusetts General Hospital di Boston dari American College of Cardiology menyebutkan bahwa gejalanya menyerupai serangan jantung, tapi saat tes dilakukan, ditemukan penyebab sebenarnya semakin jelas.

Januzzi menjelaskan, stres kardiomiopati terlihat berbeda dari serangan jantung pada elektrokardiogram, yang mengukur aktivitas listrik jantung. Ketika dokter melakukan angiogram untuk mengintip ke dalam arteri jantung, mereka tidak akan menemukan penyumbatan pada pasien dengan kardiomiopati stres.

Kabar baiknya, menurut Januzzi, orang-orang dengan kondisi ini biasanya pulih dengan cepat, tanpa kerusakan jantung jangka panjang. Kass mengatakan bahwa mengingat semua tekanan pandemi, mulai dari ketakutan akan virus hingga kehilangan pekerjaan hingga isolasi sosial tidak sulit untuk membayangkan mengapa stres kardiomiopati meningkat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1561 seconds (0.1#10.140)