Mengenal Rekonstruksi Implan dan Flap untuk Kembalikan Organ Hilang pada Pasien Kanker Payudara

Minggu, 05 Februari 2023 - 10:20 WIB
loading...
Mengenal Rekonstruksi Implan dan Flap untuk Kembalikan Organ Hilang pada Pasien Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang menjadi momok menakutkan bagi perempuan di seluruh dunia. Foto Ilustrasi/iStock
A A A
JAKARTA - Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang menjadi momok menakutkan bagi perempuan di seluruh dunia. Pasalnya, selain mengancam nyawa, penyakit ini juga bisa menghilangkan rasa percaya diri karena kehilangan sebagian atau seluruh organ payudara.

Namun, dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin maju, kini membuat rasa percaya diri para perempuan yang telah terenggut karena kanker payudara dapat kembali lagi. Salah satunya melalui teknik bedah yang memungkinkan untuk rekonstruksi payudara.



Rekonstruksi payudara merupakan upaya untuk mengembalikan payudara ke bentuk semula pascamelakukan tindakan mastektomi (lumpektomi). Meski tidak diperuntukkan bagi semua perempuan, namun prosedur ini merupakan hak setiap perempuan untuk mengetahui dan mendapatkan pilihan rekonstruksi pascaoperasi pengangkatan kanker.

“Sayangnya, di Indonesia, belum banyak perempuan penderita kanker payudara yang justru mendapatkan saran untuk rekonstruksi payudara dari dokter pascaoperasi. Dan kebanyakan memang selama ini masih banyak pasien yang takut,” ujar dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik RS Pondok Indah dr. Mohamad Rachadian Ramadan, saat ditemui di Menara Astra, Jakarta, belum lama ini.

“Mereka menganggap, yang penting sudah diangkat dan bisa hidup sehat meskipun tanpa sebagian atau seluruh payudaranya. Padahal, mereka bisa mendapatkan haknya kembali dengan prosedur rekontruksi payudara ini,” imbuh dia.

Jenis Rekonstruksi Payudara

Dokter Mohamad Rachadian kembali memaparkan, perempuan yang memilih untuk melakukan rekonstruksi memiliki beberapa pilihan pengobatan, mulai pemasangan implan payudara sampai dengan rekonstruksi menggunakan jaringan dari tubuh mereka sendiri (flap). Keduanya tentu memiliki perbedaan serta kelebihan masing-masing.

“Kalau implan itu cepat sekali, sehari dua hari bisa pulang. Tapi kalau flap sedikit lebih lama karena harus dimonitor secara ketat selama 4 bulan pertama,” ungkapnya.

Meski masih banyak perempuan yang takut untuk memilih prosedur rekonstruksi flap, pada faktanya, flap justru mampu menciptakan payudara yang cukup lembut dan hangat mirip payudara asli. Selain itu, dibandingkan dengan implan, tingkat sensitivitas flap masih bisa dirasakan.

“Kalau misalnya masih ada kulit disisakan itu biasanya masih ada sensitivitasnya. Tapi kalau maksetomi secara total, diangkat semua, maka sensitivitasnya sudah tidak ada,” tuturnya.



Berbeda dengan implan, flap tidak akan pecah, bocor, atau mengeras dan bersifat permanen. Tingkat keberhasilannya pun sangat tinggi, yakni 99 persen jika ditangani oleh tenaga medis yang sangat berpengalaman.

Bahkan, dr. Mohamad Rachadian mengungkapkan salah satu kemajuan teknologi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, di mana para dokter bedah di beberapa negara dapat menciptakan sensitivitas payudara pada prosedur rekonstruksi flap.

Untuk mendapatkan sensitivitas payudara yang hilang pascaoperasi kanker payudara, dokter bedah akan menggunakan “kabel saraf” dari kaki untuk dipasang di payudara.

Meski terdengar ngeri, namun prosedur ini telah dilakukan oleh banyak perempuan penderita kanker payudara di beberapa negara untuk kembali mendapatkan payudara yang “hidup”.

“Nah, ini saya ceritakan, kemajuan teknologi, mungkin 5 tahun terakhir ya, sudah bisa mengambil namanya kabel saraf dari orang-orang yang sudah meninggal. Memang nggak cukup besar (operasinya), namun memang cukup menambah sayatan di kaki untuk mengambil saraf di kaki. Kira-kira sayatannya bisa 10 sentimeter, dan disatukan ke flap dan inti sarafnya menjadi terasa, bisa sensitif lagi sarafnya,” paparnya.

Namun, menurut dr. Mohamad Rachadian, kebanyakan prosedur di beberapa negara tersebut menggunakan kabel saraf dari kaki orang yang sudah meninggal. Sehingga, di Indonesia sendiri prosedur ini belum pernah dilakukan, mengingat penambahan sayatan di bagian kaki untuk mengambil kabel saraf tersebut makin membuat pasien kanker payudara di Indonesia bergidik duluan.

“Tapi memang di Indonesia masyarakatnya belum mau, karena apa? Karena tidak mau menambah sayatan baru di kaki. Kalau di luar negeri kan nggak perlu dilakukan sayatan tersebut, karena mereka mengambil kabel saraf tersebut di kaki orang yang sudah meninggal, kemudian diproses, dipakai pasien,” pungkasnya.
(tsa)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1490 seconds (0.1#10.140)