Perangi Kekerasan Seksual, Lakukan Ini Segera untuk Atasi Luka Batin dan Trauma Korban

Kamis, 04 Mei 2023 - 10:30 WIB
loading...
Perangi Kekerasan Seksual,...
Remedi Indonesia selalu mengutamakan ruang aman dan nyaman bagi mereka yang membutuhkan bantuan, baik dari fasilitas pendukung maupun para fasilitator yang tergabung di dalamnya. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Isu kekerasan seksual menjadi pembahasan hangat karena masih kerap terjadi. Bahkan, jumlah kasusnya terus meningkat di Indonesia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, per 2022 ada lebih dari 27.000 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Tiga kasus kekerasan teratas adalah kekerasan seksual sebanyak lebih dari 11.600 kasus, kekerasan fisik 9.500 kasus, dan kekerasan psikis lebih dari 9.000 kasus.

Sementara di tahun berjalan 2023, KemenPPPA telah mencatat lebih dari 7.400 kasus kekerasan yang tak hanya terjadi pada perempuan, tapi juga laki-laki. Kekerasan seksual masih menempati kasus teratas dengan angka lebih dari 3.200 kasus.

Guna memerangi kasus tersebut, negara pun telah membuat Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dengan UU ini, pemerintah ingin mengatasi bermacam tantangan dan hambatan korban untuk mendapatkan keadilan dalam hal penanganan serta pemulihan.

Jenis Kekerasan Seksual

Mengacu pada UU TPKS, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan dan eksploitasi seksual, perbudakan seksual, hingga kekerasan seksual berbasis elektronik. Tindak pidana kekerasan seksual lainnya di antaranya perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi melibatkan anak, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan dalam lingkup rumah tangga, dan sebagainya.



“Dengan mengenal jenis-jenis kekerasan seksual, kita dapat mengedukasi dan turut menjaga keluarga dan lingkungan terdekat, terutama anak-anak kita. Utamanya dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi melalui sosial media, kita wajib memperkaya pengetahuan tentang pelecehan seksual serta kekerasan dalam rumah tangga dan lingkungan kerja, mengapa dapat terjadi, apa dampak fisik serta psikis yang dihadapi korban dan orang yang secara sengaja maupun tak sengaja menyaksikan, dan bagaimana menanganinya," ungkap Dian Rishita Dewi, Psikoterapis sekaligus Co-Founder Remedi Indonesia, melalui keterangan tertulis, Kamis (4/5/2023).

Pada tahun ini, KemenPPPA mencatat, kekerasan kerap terjadi di lingkungan rumah tangga, lingkungan kerja dan fasilitas umum. Yang terbanyak terjadi pada anak usia 13-17 tahun.

Tak sedikit dari kita lantas mempertanyakan, mengapa korban tidak langsung melakukan pengaduan atau membela diri pada saat pelecehan terjadi. Ada beberapa tantangan yang dihadapi korban. Di antaranya sebagai berikut:

- Tonic immobility atau freeze, yaitu keadaan lumpuh sementara yang tak disengaja, bahkan dalam banyak kasus korban tidak dapat bersuara. Korban kekerasan seksual sering dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saat mengalami kekerasan, padahal saat itu mereka masih mengalami tonic immobility.

“Konsep ini penting untuk kita pahami agar tidak dengan mudah menganggap bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada korban adalah aktivitas seksual ‘suka sama suka’ karena menganggap korban tidak melawan, berteriak, berlari ataupun melaporkan saat kejadian,” ungkap Rishita.

- Victim blaming, yaitu kondisi menyalahkan korban karena dianggap memprovokasi atau menyebabkan kekerasan seksual terjadi melalui tindakan, kata-kata, ataupun sesederhana pakaian yang dikenakan yang dianggap “mengundang”. Kondisi tersebut dapat berdampak internal, yaitu korban menyalahkan dirinya sendiri atau self-blaming sehingga berujung tidak mengadukan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.

Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental seseorang dan bagaimana korban bersikap secara sadar maupun tidak sadar pada lingkungan sosialnya.

- Tuduhan palsu, di mana korban enggan melaporkan bahkan dilaporkan balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik karena dianggap tidak memiliki cukup bukti.



Nyatanya, tak hanya perempuan, laki-laki pun banyak menjadi korban kekerasan seksual, khususnya anak laki-laki. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.

Pada 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Pengalaman traumatis pada korban kekerasan seksual dapat memberikan dampak fisik, emosi, dan psikologis apabila tidak mendapat bantuan serta pendampingan para ahli.

Menurut Rishita, dampak yang paling umum adalah depresi karena mengingat kejadian masa lalu, dan yang paling berat adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

“Ada tiga tanda PTSD. Pertama, re-experiencing di mana korban mengalami kondisi kilas balik (flash back), mimpi dan timbul pikiran mengganggu. Kedua, avoidance di mana korban menghindari hal-hal yang terkait dengan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya hingga menghindari lingkungan kesehariannya karena mereka merasa resah, takut, dan tak aman. Ketiga, hyper-arousal di mana mereka sering merasa gelisah, sulit tidur, mudah terkejut, hingga emosi yang meledak-ledak. Pada jangka panjang, sangat mungkin korban kekerasan seksual akan kehilangan hak untuk hidup dengan aman,” bebernya.

Kemungkinan lain yang butuh diwaspadai adalah munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena ingin mengakhiri penderitaan/konflik yang dialami. Pilihan ini seolah pilihan terbaik karena korban merasa tidak memiliki bantuan lain.

“Temani dan berikan saran kepada kerabat kita untuk melaporkan dan meminta bantuan kepada para praktisi kesehatan mental bila mereka sudah berbicara tentang keinginan untuk mati, perasaannya hampa, tidak memiliki alasan untuk melanjutkan hidup, merasa sangat malu, merasa terjebak, merasa menjadi beban bagi lingkungannya, selalu cemas, menarik diri dari keluarga dan teman-teman, amarah yang besar, dan gejala berat lainnya,” sebut Rishita.

Lakukan Ini Segera!

Penanganan yang tepat dan cepat diharapkan dapat membantu memulihkan kondisi korban kekerasan seksual, seperti:

- Sebagai pertolongan pertama, korban kekerasan seksual butuh meminta bantuan kepada praktisi kesehatan mental seperti psikolog, psikiater, psikoterapis, dan konselor untuk mengatasi dampak langsung/tak langsung dari peristiwa traumatis yang dialami korban.

- Tak hanya bagi korban langsung, stres dan depresi ataupun gangguan kecemasan dapat berdampak bagi Anda yang pernah yang menyaksikan langsung kekerasan seksual tersebut. Jangan abaikan bila Anda merasakan kondisi yang tidak nyaman.

- Ciptakan ruang aman dan nyaman bagi kerabat, keluarga, ataupun teman yang mengalami kekerasan seksual dengan tidak menghakimi (no-judgement), memahami kondisinya, mendengarkan kesedihannya, dan ajak untuk meminta pertolongan segera.

“Memahami hal ini, Remedi Indonesia selalu mengutamakan ruang aman dan nyaman bagi mereka yang membutuhkan bantuan, baik dari fasilitas pendukung maupun para fasilitator yang tergabung di Remedi Indonesia sehingga para survivor dapat memproses luka batin dan trauma mereka,” ujar Rishita.

Remedi Indonesia, perusahaan yang bergerak dalam pengembangan manusia telah turut berkontribusi pada kesehatan mental dengan mengadakan Meditasi Melepas Stres secara rutin tiap Selasa pukul 19.00-21.00. Sesi meditasi ini diberikan gratis kepada siapa pun yang membutuhkan.
(tsa)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1103 seconds (0.1#10.140)