Penting dan Dibutuhkan Bayi, ASI Makin Tersia-siakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dampak kurangnya asupan air susu ibu (ASI) tidak boleh dianggap enteng. Menurut data WHO, 53% penyebab kematian bayi akibat kurangnya nutrisi dimasa vital, yakni saat perkembangan otak di periode emas kehidupannya.
Siapa pun tahu air susi ibu (ASI) merupakan nutrisi yang teramat penting dan dibutuhkan untuk bayi. Tapi fakta tersebut ternyata tidak selaras dengan implementasi di lapangan. Kondisi tersebut terjadi karena ketidakpahaman ibu-ibu dan kegagalan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyosialisasikan manfaat ASI secara luas.
Kondisi ini bisa terlihat berdasarkan laporan Riskesdas sejak 2003-2018, seperti diungkap penelitian bertema ”Breastfeeding Knowledge, Attitude, and Practice among White-Collar and Blue-Collar Workers in Indonesia” yang dipublikasikan di jurnal internasional, JKMS, edisi 2019 lalu. (Baca: Berikan ASI untuk Tumbuh Kembang Optimal)
Dari data yang diperoleh, terungkap prevalensi ASI eksklusif Indonesia tidak membaik signifikan, hanya berkisar antara 32% hingga 38%. Padahal, target nasional yang ditetapkan 80%. Penelitian juga mengungkapkan, sebagian besar ibu pekerja di Indonesia masih memiliki pengetahuan dan perilaku kurang baik terhadap menyusui.
Dampak kurangnya asupan ASI untuk bayi juga tidak boleh dianggap enteng. Menurut data WHO, 53% penyebab kematian bayi berasal dari kurangnya nutrisi di masa vital, yakni saat perkembangan otak di periode emas kehidupannya. Artinya, kesadaran pentingnya ASI untuk balita perlu digugah kembali bersamaan dengan momen Pekan Menyusui Dunia (World Breastfeeding Week) yang jatuh mulai pekan ini atau 1 Agustus. Mendorong pemanfaatan ASI harus terus digelorakan demi mewujudkan generasi sehat untuk masa depan bangsa yang tangguh.
Anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini dan Netty Prasetiyani mengingatkan bahwa ASI menjadi pekerjaan rumah serius bagi pemerintah. Mereka mendorong pemerintah tidak henti menyosialisasikan pentingnya ASI dan melibatkan semua komponen masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sayangnya pihak Kementerian Kesehatan tidak memberi konfirmasi dengan alasan birokratis.
"Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana terus menyosialisasikan pentingnya ASI untuk bayi. Bicara soal gizi anak itu bukan selalu kasih PMT (pemberian makanan tambahan), makanan tambahan. ASI itu justru lebih punya peran," ujar Anggia, kepada Koran SINDO.
Ketua Umum PP Fatayat ini mengakui bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam menggugah kesadaran pemanfaatan ASI untuk bayi. Karena itu, pemerintah perlu melibatkan ormas atau komunitas. Dia mencontohkan, Fatayat melakukan sosialisasi pemberian ASI yang dikemas dengan pendekatan keagamaan dan ideologi di Brebes, Jawa Tengah, dengan hasil sangat efektif.
"Kerja bareng dengan tokoh agama itu signifikan. Kita kasih informasi ke tokoh agama, ini loh landasannya begini, strategi yang kita pakai. Kalau tokoh agama kan orang yang punya ilmu, jadi kita tidak perlu ngajari, cuma kita kasih masalah, lalu sama-sama kita cari solusinya," tuturnya. (Baca juga: Sandra Dewi Beri Tips Makanan untuk Jaga Imunitas Tubuh di Masa Pandemi)
Menurut Anggia, sebenarnya tidak ada cerita seorang ibu tidak bisa menyusui. Karena itu, diperlukan dukungan dari pemerintah untuk mengedukasi pentingnya ASI secara masif. "Pemerintah juga perlu mengoptimalkan peran puskesmas sebagai pusat informasi kepada warganya mengenai pentingnya memberikan asupan ASI kepada bayi," ujarnya.
Anggia lantas menuturkan, minimnya pemberian ASI kepada bayi di Indonesia disebabkan persoalan pola asuh. Padahal, agama seperti Islam sudah mewajibkan para perempuan untuk memberikan kolostrom, ASI yang keluar pertama kali setelah melahirkan, kepada bayinya.
"Artinya, kalau kita bicara konteks agama, sudah jelas. Di Alquran juga sudah jelas. Fatayat NU juga punya bukunya itu. Tapi, masalahnya kalau hanya Fatayat pesan ini tidak maksimal tersampaikan kepada masyarakat," ujarnya.
Netty Prasetiyani juga menegaskan bahwa pemberian ASI eksklusif masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Dia mengakui tanggung jawab mendorong program tersebut bukan hanya di pundak pemerintah, tapi harus didistribusikan secara merata ke pihak terkait.
“Pemerintah harus bekerja keras dengan ASI ini, apalagi menjadi salah satu agenda promosi kesehatan (promkes). Jadi, dari 10 perilaku hidup bersih dan sehat dalam tatanan rumah tangga itu adalah pemberian ASI eksklusif,” kata Netty. (Baca juga: Pria Dewasa Ketagihan Minum Air Susu Ibu, Ini Efeknya)
Dia kemudian mengingatkan amanat UU Nomor 36/2009 yang menyebut setiap pihak, masyarakat, dunia usaha mestinya menyediakan ruang laktasi. Bagi yang menghalangi ibu yang memberikan ASI, maka bisa dikenai ancaman hukuman kurungan dan denda hingga Rp100 juta.
Menurut dia, pemerintah harus menjalankan fungsi pengawasan dan kerja koordinatif dengan lintas sektoral. Termasuk memastikan penerapan dan ketersediaan ruang laktasi di kantor maupun ruang publik. “Yang tidak kalah penting dan menjadi hal mendasar adalah sosialisasi melalui sentra-sentra kegiatan masyarakat, di mana perempuan-perempuan atau ibu-ibu berkumpul,” ujarnya.
Dalam pandangan Netty, banyak hal yang membuat seorang ibu tidak memberikan ASI kepada anaknya, dari minimnya informasi dan pengetahuan, mitos, hingga tersedianya layanan kesehatan. Karena itu, fasilitas layanan kesehatan melakukan upaya ‘jemput bola’ sebagai wujud promotif-preventif dalam mencegah stunting, gizi buruk.
“Yang sekarang menjadi andalan pemerintah itu posyandu. Ada 50-100 ibu setiap bulan kumpul di posyandu. Mulai dari hamil di bulan pertama sampai proses kehamilan. Seharusnya di situlah peran pemerintah dengan ujung tombaknya posyandu yang harus terus ditingkatkan kapasitas, seperti capacity building bagi kader-kadernya sehingga ibu-ibu yang hamil sudah mulai dilakukan penjangkauan, diberi pengetahuan tentang ASI dan pentingnya pemberian ASI untuk bayi kita,” tambahnya.
Sebelumnya, peneliti Ray Wagiu Basrowi dari Iluni Kedokteran Kerja FKUI, menjelaskan, lebih dari 70% ibu Indonesia yang merupakan pekerja buruh dan sedang masa menyusui, sama sekali tidak mengerti bahwa menyusui merupakan perilaku sehat yang bisa bermanfaat bagi tumbuh kembang bayi dan juga kesehatan ibu itu sendiri. (Baca juga: Mantan Menkeu Sebut Ada Tiga Bisnis yang Terancam Tutup)
"Bahkan hampir 50% ibu Indonesia menyusui yang bekerja kantoran belum mengetahui bahwa peraturan pemerintah bisa melindungi mereka untuk bisa bebas menyusui atau memompa ASI di kantor tanpa harus takut mendapat sanksi," tuturnya.
Pendiri dan Ketua Health Collaborative Center ini mengungkapkan, hal yang menyedihkan adalah, temuan dan kondisi terkait rendahnya pengetahuan ibu tentang laktasi ini masih mirip dengan temuan-temuan pada penelitian mengenai laktasi sejak lebih dari satu dekade silam. “Artinya, status pengetahuan dan kualitas perilaku laktasi ibu Indonesia, terutama ibu pekerja, tidak membaik secara signifikan," keluhnya.
Ray mengungkapkan, hasil penelitian terdahulu dari Basrowi dkk juga menemukan bahwa meskipun sudah ada peraturan pemerintah tentang perlindungan laktasi di tempat kerja, tetapi implementasinya masih belum maksimal. Padahal, sukses laktasi pada ibu pekerja terbukti tidak hanya menyehatkan tumbuh kembang bayi tapi juga membantu mempertahankan status produktivitas kerja.
Pendiri Sentra Laktasi Indonesia (Selasi) Utami Roesli, yang dikenal sebagai aktivitas ASI , juga telah mengingatkan bahwa ASI memiliki dampak jangka panjang bukan hanya terhadap kesehatan fisik anak hingga ia dewasa, namun juga berpengaruh pada mental anak. "Bayi yang disusui lebih dari empat bulan, lebih jarang mengalami gangguan perilaku," katanya. (Lihat videonya: Mengaku Bisa Gandakan Uang Triliunan, Seorang Dukung di Malang Diciduk Polisi)
Sebaliknya, pada usia lima tahun bayi yang tidak diberi ASI, atau tidak maksimal, rentan mengalami gangguan emosional (gelisah, berbohong, mencuri, emosional), dan di usia 14 tahun nantinya anak yang tidak mendapat ASI atau tidak maksimal rentan mengalami masalah internal seperti menarik diri, gangguan psikosomatik, gelisah, depresi, dan gangguan cara berpikir. "Termasuk masalah eksternal yaitu agresif dan kenakalan remaja," ungkapnya.
Ketua Satgas ASI Indonesia, Elizabeth Yohmi menegaskan, ASI eksklusif pada bayi merupakan suatu hal yang wajib bagi ibu yang mampu menjalakannya dan merupakan hak bayi untuk mendapatkan. "Karena itu, para ibu hendaknya bisa melek informasi dan mengerti pentingnya ASI bagi kehidupan bayi. Pemberian ASI juga bisa mengurangi angka kematian pada bayi karena ketidaktahuan akibat praktik yang salah dalam pemberian nutrisi bagi bayi," katanya. (Sri Noviarni/Abdul Rochim/FW Bahtiar/Faoric/M Shamil)
Siapa pun tahu air susi ibu (ASI) merupakan nutrisi yang teramat penting dan dibutuhkan untuk bayi. Tapi fakta tersebut ternyata tidak selaras dengan implementasi di lapangan. Kondisi tersebut terjadi karena ketidakpahaman ibu-ibu dan kegagalan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyosialisasikan manfaat ASI secara luas.
Kondisi ini bisa terlihat berdasarkan laporan Riskesdas sejak 2003-2018, seperti diungkap penelitian bertema ”Breastfeeding Knowledge, Attitude, and Practice among White-Collar and Blue-Collar Workers in Indonesia” yang dipublikasikan di jurnal internasional, JKMS, edisi 2019 lalu. (Baca: Berikan ASI untuk Tumbuh Kembang Optimal)
Dari data yang diperoleh, terungkap prevalensi ASI eksklusif Indonesia tidak membaik signifikan, hanya berkisar antara 32% hingga 38%. Padahal, target nasional yang ditetapkan 80%. Penelitian juga mengungkapkan, sebagian besar ibu pekerja di Indonesia masih memiliki pengetahuan dan perilaku kurang baik terhadap menyusui.
Dampak kurangnya asupan ASI untuk bayi juga tidak boleh dianggap enteng. Menurut data WHO, 53% penyebab kematian bayi berasal dari kurangnya nutrisi di masa vital, yakni saat perkembangan otak di periode emas kehidupannya. Artinya, kesadaran pentingnya ASI untuk balita perlu digugah kembali bersamaan dengan momen Pekan Menyusui Dunia (World Breastfeeding Week) yang jatuh mulai pekan ini atau 1 Agustus. Mendorong pemanfaatan ASI harus terus digelorakan demi mewujudkan generasi sehat untuk masa depan bangsa yang tangguh.
Anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini dan Netty Prasetiyani mengingatkan bahwa ASI menjadi pekerjaan rumah serius bagi pemerintah. Mereka mendorong pemerintah tidak henti menyosialisasikan pentingnya ASI dan melibatkan semua komponen masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sayangnya pihak Kementerian Kesehatan tidak memberi konfirmasi dengan alasan birokratis.
"Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana terus menyosialisasikan pentingnya ASI untuk bayi. Bicara soal gizi anak itu bukan selalu kasih PMT (pemberian makanan tambahan), makanan tambahan. ASI itu justru lebih punya peran," ujar Anggia, kepada Koran SINDO.
Ketua Umum PP Fatayat ini mengakui bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam menggugah kesadaran pemanfaatan ASI untuk bayi. Karena itu, pemerintah perlu melibatkan ormas atau komunitas. Dia mencontohkan, Fatayat melakukan sosialisasi pemberian ASI yang dikemas dengan pendekatan keagamaan dan ideologi di Brebes, Jawa Tengah, dengan hasil sangat efektif.
"Kerja bareng dengan tokoh agama itu signifikan. Kita kasih informasi ke tokoh agama, ini loh landasannya begini, strategi yang kita pakai. Kalau tokoh agama kan orang yang punya ilmu, jadi kita tidak perlu ngajari, cuma kita kasih masalah, lalu sama-sama kita cari solusinya," tuturnya. (Baca juga: Sandra Dewi Beri Tips Makanan untuk Jaga Imunitas Tubuh di Masa Pandemi)
Menurut Anggia, sebenarnya tidak ada cerita seorang ibu tidak bisa menyusui. Karena itu, diperlukan dukungan dari pemerintah untuk mengedukasi pentingnya ASI secara masif. "Pemerintah juga perlu mengoptimalkan peran puskesmas sebagai pusat informasi kepada warganya mengenai pentingnya memberikan asupan ASI kepada bayi," ujarnya.
Anggia lantas menuturkan, minimnya pemberian ASI kepada bayi di Indonesia disebabkan persoalan pola asuh. Padahal, agama seperti Islam sudah mewajibkan para perempuan untuk memberikan kolostrom, ASI yang keluar pertama kali setelah melahirkan, kepada bayinya.
"Artinya, kalau kita bicara konteks agama, sudah jelas. Di Alquran juga sudah jelas. Fatayat NU juga punya bukunya itu. Tapi, masalahnya kalau hanya Fatayat pesan ini tidak maksimal tersampaikan kepada masyarakat," ujarnya.
Netty Prasetiyani juga menegaskan bahwa pemberian ASI eksklusif masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Dia mengakui tanggung jawab mendorong program tersebut bukan hanya di pundak pemerintah, tapi harus didistribusikan secara merata ke pihak terkait.
“Pemerintah harus bekerja keras dengan ASI ini, apalagi menjadi salah satu agenda promosi kesehatan (promkes). Jadi, dari 10 perilaku hidup bersih dan sehat dalam tatanan rumah tangga itu adalah pemberian ASI eksklusif,” kata Netty. (Baca juga: Pria Dewasa Ketagihan Minum Air Susu Ibu, Ini Efeknya)
Dia kemudian mengingatkan amanat UU Nomor 36/2009 yang menyebut setiap pihak, masyarakat, dunia usaha mestinya menyediakan ruang laktasi. Bagi yang menghalangi ibu yang memberikan ASI, maka bisa dikenai ancaman hukuman kurungan dan denda hingga Rp100 juta.
Menurut dia, pemerintah harus menjalankan fungsi pengawasan dan kerja koordinatif dengan lintas sektoral. Termasuk memastikan penerapan dan ketersediaan ruang laktasi di kantor maupun ruang publik. “Yang tidak kalah penting dan menjadi hal mendasar adalah sosialisasi melalui sentra-sentra kegiatan masyarakat, di mana perempuan-perempuan atau ibu-ibu berkumpul,” ujarnya.
Dalam pandangan Netty, banyak hal yang membuat seorang ibu tidak memberikan ASI kepada anaknya, dari minimnya informasi dan pengetahuan, mitos, hingga tersedianya layanan kesehatan. Karena itu, fasilitas layanan kesehatan melakukan upaya ‘jemput bola’ sebagai wujud promotif-preventif dalam mencegah stunting, gizi buruk.
“Yang sekarang menjadi andalan pemerintah itu posyandu. Ada 50-100 ibu setiap bulan kumpul di posyandu. Mulai dari hamil di bulan pertama sampai proses kehamilan. Seharusnya di situlah peran pemerintah dengan ujung tombaknya posyandu yang harus terus ditingkatkan kapasitas, seperti capacity building bagi kader-kadernya sehingga ibu-ibu yang hamil sudah mulai dilakukan penjangkauan, diberi pengetahuan tentang ASI dan pentingnya pemberian ASI untuk bayi kita,” tambahnya.
Sebelumnya, peneliti Ray Wagiu Basrowi dari Iluni Kedokteran Kerja FKUI, menjelaskan, lebih dari 70% ibu Indonesia yang merupakan pekerja buruh dan sedang masa menyusui, sama sekali tidak mengerti bahwa menyusui merupakan perilaku sehat yang bisa bermanfaat bagi tumbuh kembang bayi dan juga kesehatan ibu itu sendiri. (Baca juga: Mantan Menkeu Sebut Ada Tiga Bisnis yang Terancam Tutup)
"Bahkan hampir 50% ibu Indonesia menyusui yang bekerja kantoran belum mengetahui bahwa peraturan pemerintah bisa melindungi mereka untuk bisa bebas menyusui atau memompa ASI di kantor tanpa harus takut mendapat sanksi," tuturnya.
Pendiri dan Ketua Health Collaborative Center ini mengungkapkan, hal yang menyedihkan adalah, temuan dan kondisi terkait rendahnya pengetahuan ibu tentang laktasi ini masih mirip dengan temuan-temuan pada penelitian mengenai laktasi sejak lebih dari satu dekade silam. “Artinya, status pengetahuan dan kualitas perilaku laktasi ibu Indonesia, terutama ibu pekerja, tidak membaik secara signifikan," keluhnya.
Ray mengungkapkan, hasil penelitian terdahulu dari Basrowi dkk juga menemukan bahwa meskipun sudah ada peraturan pemerintah tentang perlindungan laktasi di tempat kerja, tetapi implementasinya masih belum maksimal. Padahal, sukses laktasi pada ibu pekerja terbukti tidak hanya menyehatkan tumbuh kembang bayi tapi juga membantu mempertahankan status produktivitas kerja.
Pendiri Sentra Laktasi Indonesia (Selasi) Utami Roesli, yang dikenal sebagai aktivitas ASI , juga telah mengingatkan bahwa ASI memiliki dampak jangka panjang bukan hanya terhadap kesehatan fisik anak hingga ia dewasa, namun juga berpengaruh pada mental anak. "Bayi yang disusui lebih dari empat bulan, lebih jarang mengalami gangguan perilaku," katanya. (Lihat videonya: Mengaku Bisa Gandakan Uang Triliunan, Seorang Dukung di Malang Diciduk Polisi)
Sebaliknya, pada usia lima tahun bayi yang tidak diberi ASI, atau tidak maksimal, rentan mengalami gangguan emosional (gelisah, berbohong, mencuri, emosional), dan di usia 14 tahun nantinya anak yang tidak mendapat ASI atau tidak maksimal rentan mengalami masalah internal seperti menarik diri, gangguan psikosomatik, gelisah, depresi, dan gangguan cara berpikir. "Termasuk masalah eksternal yaitu agresif dan kenakalan remaja," ungkapnya.
Ketua Satgas ASI Indonesia, Elizabeth Yohmi menegaskan, ASI eksklusif pada bayi merupakan suatu hal yang wajib bagi ibu yang mampu menjalakannya dan merupakan hak bayi untuk mendapatkan. "Karena itu, para ibu hendaknya bisa melek informasi dan mengerti pentingnya ASI bagi kehidupan bayi. Pemberian ASI juga bisa mengurangi angka kematian pada bayi karena ketidaktahuan akibat praktik yang salah dalam pemberian nutrisi bagi bayi," katanya. (Sri Noviarni/Abdul Rochim/FW Bahtiar/Faoric/M Shamil)
(ysw)