CERMIN: Ini Kisah tentang Takdir atau Statistik?
loading...

Film komedi romantis Love at First Sight diadaptasi dari novel The Statistical Probability of Love at First Sight. Foto/Netflix
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1972. Sutradara Francis Ford Coppola merilis film The Godfather yang lantas menjadi klasik. Lebih dari 40 tahun berselang, kita masih mengenang bagaimana Michael Corleone bertemu dengan Apollonia Vitelli.
Michael dan Apollonia menjadi salah satu sosok ikonis dalam sejarah film dunia yang menggambarkan bagaimana cinta pada pandangan pertama bekerja. Michael yang sedang dalam pelarian di Sisilia tak pernah menyangka akan terpana ketika matanya beradu dengan mata indah dari Apollonia. Perkenalan yang singkat, percintaan yang intens diakhiri dengan pernikahan di antara keduanya. Sayangnya tragedi mengakhiri kisah cinta nan indah ini.
Tapi betulkah ada sesuatu yang disebut “cinta pada pandangan pertama”? Dalam bukunya yang terkenal, Metaphysics of Love, Arthur Schopenhauer, salah seorang filsuf terpenting abad ke-19, mengemukakan cinta hanyalah tipu-tipu “kehendak” atau "will", daya adikuasa yang menggerakkan segala sesuatu di alam semesta (perlu dibedakan dari arti kehendak dalam penggunaan sehari-hari), agar manusia berkembang biak dan melestarikan spesies.
Penulis novel Jennifer E Smith seakan membantah apa yang diyakini Arthur dengan merilis novelnya yang berjudul menarik, The Statistical Probability of Love at First Sight. Ia menjejalkan banyak data berupa statistik tentang hal yang melanda kaum muda hari ini dengan segala kegiatan dan masalah yang melingkari mereka. Kelak novel ini diadaptasi menjadi film orisinal oleh Netflix dengan judul yang lebih singkat dan terkesan generik, Love at First Sight.
![CERMIN: Ini Kisah tentang Takdir atau Statistik?]()
Foto: Netflix
Padahal Love at First Sight membuka ceritanya dengan narasi menarik dari Dewi Cinta (diperankan dengan menarik pula oleh Jameela Jamil dalam beragam peran). “This isn’t a story about love. This is a story about fate. Or statistics. Really just depends on who you’re talking to”. Ceritanya bergerak secara kreatif memperkenalkan dua karakter utamanya, Hadley Sullivan dan Oliver Jones. Narasi digunakan dalam banyak adegan dan justru terasa efektif terutama karena dilontarkan dalam teknik breaking fourth wall.
Karena diperkenalkan secara efektif kepada penonton dalam tempo cepat, dalam sekejap kita merasa sudah mengenal Hadley dan Oliver. Hal ini menjadi modal penting bagi sutradara Vanessa Caswill untuk terus membetot perhatian penonton hingga 90 menit.
Hadley yang selalu bermasalah dengan baterai ponselnya (sebagaimana yang sering dialami oleh banyak dari kita termasuk saya] harus ketinggalan pesawat karena terlambat empat menit. Namun empat menit itu membawa berkah baginya ketika ia dipertemukan oleh takdir dengan Oliver juga karena masalah baterai ponsel.
Cowok Inggris ini berbaik hati meminjamkan pengisi daya kepada si cewek Amerika. Keduanya ternyata berada dalam satu pesawat yang sama yang akan menuju London dalam beberapa jam ke depan.
Michael dan Apollonia menjadi salah satu sosok ikonis dalam sejarah film dunia yang menggambarkan bagaimana cinta pada pandangan pertama bekerja. Michael yang sedang dalam pelarian di Sisilia tak pernah menyangka akan terpana ketika matanya beradu dengan mata indah dari Apollonia. Perkenalan yang singkat, percintaan yang intens diakhiri dengan pernikahan di antara keduanya. Sayangnya tragedi mengakhiri kisah cinta nan indah ini.
Tapi betulkah ada sesuatu yang disebut “cinta pada pandangan pertama”? Dalam bukunya yang terkenal, Metaphysics of Love, Arthur Schopenhauer, salah seorang filsuf terpenting abad ke-19, mengemukakan cinta hanyalah tipu-tipu “kehendak” atau "will", daya adikuasa yang menggerakkan segala sesuatu di alam semesta (perlu dibedakan dari arti kehendak dalam penggunaan sehari-hari), agar manusia berkembang biak dan melestarikan spesies.
Penulis novel Jennifer E Smith seakan membantah apa yang diyakini Arthur dengan merilis novelnya yang berjudul menarik, The Statistical Probability of Love at First Sight. Ia menjejalkan banyak data berupa statistik tentang hal yang melanda kaum muda hari ini dengan segala kegiatan dan masalah yang melingkari mereka. Kelak novel ini diadaptasi menjadi film orisinal oleh Netflix dengan judul yang lebih singkat dan terkesan generik, Love at First Sight.

Foto: Netflix
Padahal Love at First Sight membuka ceritanya dengan narasi menarik dari Dewi Cinta (diperankan dengan menarik pula oleh Jameela Jamil dalam beragam peran). “This isn’t a story about love. This is a story about fate. Or statistics. Really just depends on who you’re talking to”. Ceritanya bergerak secara kreatif memperkenalkan dua karakter utamanya, Hadley Sullivan dan Oliver Jones. Narasi digunakan dalam banyak adegan dan justru terasa efektif terutama karena dilontarkan dalam teknik breaking fourth wall.
Karena diperkenalkan secara efektif kepada penonton dalam tempo cepat, dalam sekejap kita merasa sudah mengenal Hadley dan Oliver. Hal ini menjadi modal penting bagi sutradara Vanessa Caswill untuk terus membetot perhatian penonton hingga 90 menit.
Hadley yang selalu bermasalah dengan baterai ponselnya (sebagaimana yang sering dialami oleh banyak dari kita termasuk saya] harus ketinggalan pesawat karena terlambat empat menit. Namun empat menit itu membawa berkah baginya ketika ia dipertemukan oleh takdir dengan Oliver juga karena masalah baterai ponsel.
Cowok Inggris ini berbaik hati meminjamkan pengisi daya kepada si cewek Amerika. Keduanya ternyata berada dalam satu pesawat yang sama yang akan menuju London dalam beberapa jam ke depan.
Lihat Juga :