Waspadai Gangguan Mental Anak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, khususnya pada anak, sulit terlihat. Orang tua harus lebih peka terhadap hal ini.
Riskesdas 2018 menemukan bahwa prevalensi gangguan mental emosional remaja usia di atas 15 tahun meningkat menjadi 9,8% dari yang sebelumnya 6% pada 2013. Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mencatat, 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri, di mana bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun.
Psikolog anak Annelia Sari Sani SPsi yang juga Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia mengatakan, gangguan mental pada usia anak hingga remaja dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk menyebabkan masalah pada perilaku, gangguan emosional dan sosial, gangguan perkembangan dan belajar, gangguan perilaku makan dan kesehatan, hingga gangguan relasi dengan orang tua.
“Tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, terlebih pada anak, cenderung sulit dilihat. Karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan memberikan penanganan sejak dini guna meminimalisasi risiko jangka,” beber Annelia dalam acara Hari Anak Nasional Halodoc Edukasi Pentingnya Jaga Kesehatan Mental pada Anak belum lama ini. Sayangnya, gangguan mental pada anak hampir tidak diketahui dan tidak mudah membedakannya dengan fluktuasi perilaku pada masa remaja. (Baca: Stunting Pada Anak Dipicu Perilaku Salah di Masyarakat)
Asaelia Aleeza selaku Co-founder Ubah Stigma (komunitas dengan misi meningkatkan kesadaran kesehatan mental untuk melawan stigma terhadap isu kesehatan mental) menemukan bahwa sebagian besar kondisi gangguan mental pada anak berupa gejala depresi maupun kecemasan yang disebabkan masalah keluarga. “Akibatnya, anak kehilangan konsentrasi saat belajar dan terjadi penurunan nilai akademis," sebut Asaelia.
Gangguan mental yang dialami anak membuat mereka tidak mampu mengelola emosi dengan baik dan mengatasi konflik sehingga membuat anak menjadi pribadi yang tertutup. Tidak jarang ditemukan banyak anak yang menyakiti diri mereka sendiri.
Stigma yang paling sering melekat pada anak dengan gangguan kesehatan mental adalah rasa malu dan bingung. Mereka malu mengakui memiliki gejala gangguan mental serta tidak memahami solusi alternatif yang mereka miliki.
“Saya percaya bahwa dengan membuka komunikasi dua arah secara lebih intensif dengan orang tua, penanganan gangguan kesehatan mental dapat dilakukan sejak dini,” ujar Asaelia.
Annelia menjelaskan, salah satu hambatan dalam penanganan gangguan mental pada anak adalah minimnya pengetahuan orang tua. Dia mencontohkan pemandangan anak laki-laki yang sering marah dan berkelahi sebagai suatu hal yang lumrah. Padahal, dibaliknya ada gangguan yang bersifat pembangkangan. “Kekurangan informasi inilah yang menjadi kendala sangat besar," imbuh Annelia. (Baca juga: 3Tren Wisata yang Muncul Pascapandemi)
Untuk itu, orang tua dapat segera bertindak untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan menjalin relasi yang baik dengan anak. Orang tua hendaknya lebih memahami perasaan anak dan bersikap empati sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan buah hati. Dengan begitu, anak akan melihat jalan keluar atau solusi yang lebih baik daripada melakukan pembangkangan atau lebih buruk dari itu, bunuh diri.
Berdasarkan data internal Halodoc periode Februari–Mei, jumlah konsultasi dengan dokter jiwa terus meningkat. Lonjakan yang sangat signifikan mulai terlihat saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April dengan peningkatan pertumbuhan layanan konsultasi mencapai hampir 80% dibandingkan Maret. Jumlah konsultasi dengan dokter kejiwaan masih tercatat naik hingga puncak yang ada pada Mei.
Perlu Deteksi Dini
Statistik gangguan mental pada anak menunjukkan peningkatan tren. Jadi, deteksi dini gangguan mental semakin penting guna mewujudkan masa depan anak yang lebih baik. Ya, bukan hanya kesehatan fisik yang harus dijaga, kesehatan mental pun sama pentingnya. Anak dengan kesehatan mental yang baik akan memiliki karakter yang juga positif. "Contohnya, anak akan dapat beradaptasi dengan berbagai keadaan," kata psikolog anak ini.
Kemampuan beradaptasi ini amat krusial diperlukan di tengah tantangan kehidupan saat ini. Terlebih pada periode pandemi virus korona sekarang, di mana sudah diterapkan adaptasi kenormalan baru. Bukan hanya kemampuan beradaptasi, kemampuan resiliensi atau ketahanan anak juga harus dimiliki generasi masa depan ini. (Baca juga: Koalisi Selamatkan Indonesia Imbas Tumpulnya Barisan Oposisi)
Annelia menganalogikan seperti sebuah bola yang dapat kembali memantul ketika dijatuhkan. Nah, anak yang sehat mental adalah sebuah pribadi yang dapat menghadapi stres dengan baik. Artinya, anak ini dapat menjaga hubungan dengan baik dan dapat bangkit dari keadaan yang sulit. Kesehatan mental anak sangat penting untuk dijaga karena sangat berpeluang terjadinya bunuh diri jika tidak segera diatasi.
Hal ini ditunjukkan dengan data dari WHO yang mencatat 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri. Bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun. Tidak hanya itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan adanya kenaikan gangguan mental emosional pada masa remaja usia 15 tahun menjadi 9,8%, padahal di Riskesdas 2013 hanya 6%.
Jadi, dia mengakui cukup tinggi kenaikannya, terlebih di Indonesia dengan populasi banyak. Sebut saja ada 8 atau 10% anak dengan gangguan mental dari populasi anak hingga remaja di Indonesia yang berjumlah sekitar 80 juta jiwa. Artinya ada sekitar 8 juta yang memiliki gangguan mental emosional. Maka itu keluarga, khususnya orang tua, haruslah merangkul anak dan mengetahui betul adanya perubahan perilaku yang terjadi. Keluarga juga perlu membentuk zona yang nyaman agar anak dapat menceritakan masalahnya tanpa merasa dicemooh atau disalahkan. (Lihat videonya: Satu Keluarga Makan Bersama di bahu Jalan Tol Cipali Viral di Medsos)
Yakinkan mereka bahwa kondisi yang dialami akan berakhir. Aktivitas fisik seperti berolahraga, makan teratur, dan tidur cukup dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan anak. Tidak kalah penting ialah edukasi agama dan moral yang harus diajarkan kepada anak. (Sri Noviarni)
Riskesdas 2018 menemukan bahwa prevalensi gangguan mental emosional remaja usia di atas 15 tahun meningkat menjadi 9,8% dari yang sebelumnya 6% pada 2013. Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mencatat, 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri, di mana bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun.
Psikolog anak Annelia Sari Sani SPsi yang juga Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia mengatakan, gangguan mental pada usia anak hingga remaja dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk menyebabkan masalah pada perilaku, gangguan emosional dan sosial, gangguan perkembangan dan belajar, gangguan perilaku makan dan kesehatan, hingga gangguan relasi dengan orang tua.
“Tidak seperti gangguan kesehatan lainnya, tanda-tanda gangguan kesehatan mental, terlebih pada anak, cenderung sulit dilihat. Karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan memberikan penanganan sejak dini guna meminimalisasi risiko jangka,” beber Annelia dalam acara Hari Anak Nasional Halodoc Edukasi Pentingnya Jaga Kesehatan Mental pada Anak belum lama ini. Sayangnya, gangguan mental pada anak hampir tidak diketahui dan tidak mudah membedakannya dengan fluktuasi perilaku pada masa remaja. (Baca: Stunting Pada Anak Dipicu Perilaku Salah di Masyarakat)
Asaelia Aleeza selaku Co-founder Ubah Stigma (komunitas dengan misi meningkatkan kesadaran kesehatan mental untuk melawan stigma terhadap isu kesehatan mental) menemukan bahwa sebagian besar kondisi gangguan mental pada anak berupa gejala depresi maupun kecemasan yang disebabkan masalah keluarga. “Akibatnya, anak kehilangan konsentrasi saat belajar dan terjadi penurunan nilai akademis," sebut Asaelia.
Gangguan mental yang dialami anak membuat mereka tidak mampu mengelola emosi dengan baik dan mengatasi konflik sehingga membuat anak menjadi pribadi yang tertutup. Tidak jarang ditemukan banyak anak yang menyakiti diri mereka sendiri.
Stigma yang paling sering melekat pada anak dengan gangguan kesehatan mental adalah rasa malu dan bingung. Mereka malu mengakui memiliki gejala gangguan mental serta tidak memahami solusi alternatif yang mereka miliki.
“Saya percaya bahwa dengan membuka komunikasi dua arah secara lebih intensif dengan orang tua, penanganan gangguan kesehatan mental dapat dilakukan sejak dini,” ujar Asaelia.
Annelia menjelaskan, salah satu hambatan dalam penanganan gangguan mental pada anak adalah minimnya pengetahuan orang tua. Dia mencontohkan pemandangan anak laki-laki yang sering marah dan berkelahi sebagai suatu hal yang lumrah. Padahal, dibaliknya ada gangguan yang bersifat pembangkangan. “Kekurangan informasi inilah yang menjadi kendala sangat besar," imbuh Annelia. (Baca juga: 3Tren Wisata yang Muncul Pascapandemi)
Untuk itu, orang tua dapat segera bertindak untuk mengatasi hal ini, yaitu dengan menjalin relasi yang baik dengan anak. Orang tua hendaknya lebih memahami perasaan anak dan bersikap empati sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan buah hati. Dengan begitu, anak akan melihat jalan keluar atau solusi yang lebih baik daripada melakukan pembangkangan atau lebih buruk dari itu, bunuh diri.
Berdasarkan data internal Halodoc periode Februari–Mei, jumlah konsultasi dengan dokter jiwa terus meningkat. Lonjakan yang sangat signifikan mulai terlihat saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April dengan peningkatan pertumbuhan layanan konsultasi mencapai hampir 80% dibandingkan Maret. Jumlah konsultasi dengan dokter kejiwaan masih tercatat naik hingga puncak yang ada pada Mei.
Perlu Deteksi Dini
Statistik gangguan mental pada anak menunjukkan peningkatan tren. Jadi, deteksi dini gangguan mental semakin penting guna mewujudkan masa depan anak yang lebih baik. Ya, bukan hanya kesehatan fisik yang harus dijaga, kesehatan mental pun sama pentingnya. Anak dengan kesehatan mental yang baik akan memiliki karakter yang juga positif. "Contohnya, anak akan dapat beradaptasi dengan berbagai keadaan," kata psikolog anak ini.
Kemampuan beradaptasi ini amat krusial diperlukan di tengah tantangan kehidupan saat ini. Terlebih pada periode pandemi virus korona sekarang, di mana sudah diterapkan adaptasi kenormalan baru. Bukan hanya kemampuan beradaptasi, kemampuan resiliensi atau ketahanan anak juga harus dimiliki generasi masa depan ini. (Baca juga: Koalisi Selamatkan Indonesia Imbas Tumpulnya Barisan Oposisi)
Annelia menganalogikan seperti sebuah bola yang dapat kembali memantul ketika dijatuhkan. Nah, anak yang sehat mental adalah sebuah pribadi yang dapat menghadapi stres dengan baik. Artinya, anak ini dapat menjaga hubungan dengan baik dan dapat bangkit dari keadaan yang sulit. Kesehatan mental anak sangat penting untuk dijaga karena sangat berpeluang terjadinya bunuh diri jika tidak segera diatasi.
Hal ini ditunjukkan dengan data dari WHO yang mencatat 15% anak remaja di negara berkembang berpikiran untuk bunuh diri. Bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di dunia bagi kelompok anak usia 15–19 tahun. Tidak hanya itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan adanya kenaikan gangguan mental emosional pada masa remaja usia 15 tahun menjadi 9,8%, padahal di Riskesdas 2013 hanya 6%.
Jadi, dia mengakui cukup tinggi kenaikannya, terlebih di Indonesia dengan populasi banyak. Sebut saja ada 8 atau 10% anak dengan gangguan mental dari populasi anak hingga remaja di Indonesia yang berjumlah sekitar 80 juta jiwa. Artinya ada sekitar 8 juta yang memiliki gangguan mental emosional. Maka itu keluarga, khususnya orang tua, haruslah merangkul anak dan mengetahui betul adanya perubahan perilaku yang terjadi. Keluarga juga perlu membentuk zona yang nyaman agar anak dapat menceritakan masalahnya tanpa merasa dicemooh atau disalahkan. (Lihat videonya: Satu Keluarga Makan Bersama di bahu Jalan Tol Cipali Viral di Medsos)
Yakinkan mereka bahwa kondisi yang dialami akan berakhir. Aktivitas fisik seperti berolahraga, makan teratur, dan tidur cukup dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan anak. Tidak kalah penting ialah edukasi agama dan moral yang harus diajarkan kepada anak. (Sri Noviarni)
(ysw)