Indonesia Negara dengan Kasus DBD Tertinggi di Dunia

Kamis, 02 November 2023 - 02:00 WIB
loading...
Indonesia Negara dengan...
Kasus DBD sebagai salah satu dari ancaman kesehatan masyarakat yang ada di dunia dengan Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Kasus DBD sebagai salah satu dari ancaman kesehatan masyarakat yang ada di dunia dengan Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak. Oleh karena itu dirasa pentingnya memberikan pencerahan terkait kesadaran akan kasus DBD kepada seluruh pihak mulai dari masyarakat, praktisi dalam sektor kesehatan, hingga ke pemangku kebijakan dalam penyusunan strategi penurunan angka kerugian hingga kematian dari kasus DBD.

Koordinator Substansi Arbovirosis dr. Asik Surya, MPPM mengatakan bahwa interaksi agent, host dan lingkungan pada DBD merupakan suatu penyakit yang menempatkan semua orang memiliki resiko untuk tertular, dengan golongan tertinggi untuk penderita DBD adalah usia 0-14 tahun sebesar 49,8 persen. Kasus DBD ini diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Menanggapi situasi ini, dr. Asik menyampaikan terdapat beberapa strategi nasional dalam menanggulangi DBD di Indonesia menuju zero dengue death 2030.

"Koalisi Bersama Lawan Dengue, Pemberantasan Sarang Nyamuk 3Mplus, melalui G1R1J (Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik), Pokjanal DBD menggerakan G1R1J," kata dr. Asik saat Burden of Dengue in Indonesia dalam InaHEA Biennial Scientific Meeting 2023.



"Inovasi terkini adalah teknologi nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia sebagai upaya pelengkap strategi penanggulangan DBD. Vaksin dengue yang telah disetujui Badan Pengelola Obat dan Makan (BPOM). Saat ini vaksinasi dengue dapat diberikan kepada masyarakat dengan rentang usia 6-45 tahun berdasarkan rekomendasi dokter," tambahnya.

Berbagai strategi ini masih menghadapi tantangan yang memerlukan upaya bersama. Antara lain utamanya dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat karena pemberdayaan masyarakat masih menjadi peran utama pencegahan dan penanggulangan DBD.

Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H menjelaskan bahwa kasus dengue mengalami kenaikan yang dramatis. Per tahun, diestimasikan ada 58 juta hingga 105 juta kasus di seluruh dunia. Kenaikan juga terlihat pada disability-adjusted life year (DALY).

"Di mana pada tahun 1990 berada pada 800 ribu, dan tahun 2016 menyentuh angka 2,8 juta. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban DBD yang terbesar di dunia, di mana diestimasikan ada sekitar 7.8 juta kasus DBD," jelas dr. Nandyan.

"Dari sisi beban keuangan DBD, sebagian besar ditanggung dengan keuangan rumah tangga, dan diikuti oleh JKN dan kontribusi dari kerabat," sambungnya.



Guru Besar FKM UI Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.Sc memaparkan bahwa di Indonesia, Aedes aegypti and Aedes albopictus adalah vektor primer dan sekunder untuk transmisi DBD. Jumlah rata-rata kasus DBD tahunan yang dilaporkan ke otoritas kesehatan di Indonesia lebih dari 129.000 untuk periode antara 2004 dan 2010, tingkat insiden tertinggi kedua di dunia setelah Brasil.

Pelaporan DBD di Indonesia diakui belum lengkap dan prosedur pelaporan antar provinsi sangat bervariasi. Sebuah studi pemodelan kartografi 2013 memperkirakan bahwa sekitar 7,6 juta infeksi DBD telah terjadi di Indonesia pada 2010, yang sebagian besar tidak dilaporkan. Penyakit ini biasanya paling umum di daerah perkotaan, namun, daerah pedesaan semakin terpengaruh. Selain itu, wabah epidemi DBD secara tradisional tampaknya menjadi lebih tidak menentu dalam beberapa dekade terakhir.

"Dengan besarnya beban ekonomi pada kasus DBD, Indonesia harus memperbaiki sistem pencatatan pelaporan kasus, meningkatkan pencegahan seperti vektor kontrol dan pengembangan vaksin untuk menekan beban itu mengingat Indonesia adalah daerah endemis DBD," ujar Prof. Mardiati.

"Apabila hal ini tidak dilakukan, Indonesia berpotensi mengalami kerugian. Jika Indonesia tidak bisa menekan beban ekonomi akibat DBD, maka jumlah kasus akan terus meningkat. Bila jumlah kasus meningkat tentu beban ini akan meningkat, termasuk beban bagi BPJS kesehatan dan Pemerintah serta masyarakat sendiri," lanjutnya.

Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines Andreas Gutknecht menyebutkan bahwa Takeda menghargai kontribusi InaHEA dalam meningkatkan kesadaran tentang beban penyakit demam berdarah di Indonesia dan dampaknya pada kesehatan masyarakat.



"Kami juga merasa terhormat atas kepercayaan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam menjalin kemitraan yang kuat untuk berbagai upaya pencegahan DBD, sejalan dengan tujuan nol kematian akibat DBD di Indonesia pada tahun 2030," ujar Andreas.

"Komitmen Takeda terhadap masalah DBD tercermin dalam keterlibatan kami dalam inisiatif seperti KOBAR (Koalisi Bersama) Lawan Dengue sebagai salah satu anggota pendiri dan dalam pelaksanaan kampanye masyarakat #Ayo3mplusVaksinDBD yang mendukung upaya pencegahan dan pengendalian DBD yang komprehensif," pungkasnya.
(dra)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1262 seconds (0.1#10.140)