Metode Wolbachia Jadi Kontroversi, Peneliti UGM: Bukan Hasil Rekayasa Genetik
loading...
A
A
A
JAKARTA – Metode wolbachia yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia menuai kontroversi. Alasannya, pelepasan ratusan juta nyamuk Wolbachia dikhawatirkan membawa risiko besar.
Alasannya, belum ada studi komprehensif di kota-kota di atas terkait efektivitas program penyebaran nyamuk wolbachia sehingga berpotensi risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, termasuk K3.
Peneliti Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Adi Utarini MSc, MPH, PhD mengatakan teknologi wolbachia telah melalui proses teliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogayakarta. Hasilnya, metode tersebut bukan rekayasa genetika.
Prof Adi Utarini mengatakan teknologi ini mempunyai tujuan untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
Wolbachia merupakan bakteri yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Sehingga wolbachia tidak bisa bertahan hidup di luar sel tubuh serangga inangnya karena sudah memiliki sifat alami di dalam tubuh nyamuk aedes albopictus.
“Bakteri wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik baik dari nyamuk maupun bakteri wolbachia yang digunakan, identik dengan organisme yang ditemukan di alam,” kata Prof Adi Utarini dikutip dalam keterangan resmi yang didapat MNC Portal Indonesia, Sabtu (18/11/2023).
Wolbachia memiliki peran sebagai memblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk, maka akibatnya nyamuk yang mengandung wolbachia tidak akan mampu untuk menularkan virus dengue, ketika nyamuk itu menghisap darah yang terinfeksi virus dengue.
Hal itu lantaran di dalam telur nyamuk yang terdapat wolbachia akan membuat bakteri diturunkan satu per satu, dari generasi nyamuk ke generasi lainnya. Sehingga dampak perlindungan wolbachia terhadap penularan dengue bersifat berkelanjutan atau sustainable.
“Wolbachia secara alami terdapat pada lebih dari 50 Persen serangga, dan mempunyai sifat sebagai simbion (tidak berdampak negatif) pada inangnya. Selain itu, analisis risiko yang telah dilakukan oleh 20 ilmuwan independen di Indonesia menyimpulkan bahwa risiko dampak buruk terhadap manusia atau lingkungan dapat diabaikan,” ucapnya.
Untuk itu, di Indonesia teknologi wolbachia digunakan sebagai implementasi dengan metode “Penggantian”. Artinya, baik itu nyamuk jantan ataupun betina dilepaskan secara alami ke populasinya. Hal ini bertujuan agar nyamuk betina dapat kawin dengan nyamuk setempat, sehingga menghasilkan jentik nyamuk yang mengandung wolbachia dan akhirnya seluruh populasi akan memiliki wolbachia.
Lihat Juga: Farhat Abbas Punya Banyak Bukti Seret Denny Sumargo ke Polisi, Buntut Saling Sindir di Medsos
Alasannya, belum ada studi komprehensif di kota-kota di atas terkait efektivitas program penyebaran nyamuk wolbachia sehingga berpotensi risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, termasuk K3.
Peneliti Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Adi Utarini MSc, MPH, PhD mengatakan teknologi wolbachia telah melalui proses teliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogayakarta. Hasilnya, metode tersebut bukan rekayasa genetika.
Prof Adi Utarini mengatakan teknologi ini mempunyai tujuan untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
Wolbachia merupakan bakteri yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Sehingga wolbachia tidak bisa bertahan hidup di luar sel tubuh serangga inangnya karena sudah memiliki sifat alami di dalam tubuh nyamuk aedes albopictus.
“Bakteri wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik baik dari nyamuk maupun bakteri wolbachia yang digunakan, identik dengan organisme yang ditemukan di alam,” kata Prof Adi Utarini dikutip dalam keterangan resmi yang didapat MNC Portal Indonesia, Sabtu (18/11/2023).
Wolbachia memiliki peran sebagai memblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk, maka akibatnya nyamuk yang mengandung wolbachia tidak akan mampu untuk menularkan virus dengue, ketika nyamuk itu menghisap darah yang terinfeksi virus dengue.
Hal itu lantaran di dalam telur nyamuk yang terdapat wolbachia akan membuat bakteri diturunkan satu per satu, dari generasi nyamuk ke generasi lainnya. Sehingga dampak perlindungan wolbachia terhadap penularan dengue bersifat berkelanjutan atau sustainable.
“Wolbachia secara alami terdapat pada lebih dari 50 Persen serangga, dan mempunyai sifat sebagai simbion (tidak berdampak negatif) pada inangnya. Selain itu, analisis risiko yang telah dilakukan oleh 20 ilmuwan independen di Indonesia menyimpulkan bahwa risiko dampak buruk terhadap manusia atau lingkungan dapat diabaikan,” ucapnya.
Untuk itu, di Indonesia teknologi wolbachia digunakan sebagai implementasi dengan metode “Penggantian”. Artinya, baik itu nyamuk jantan ataupun betina dilepaskan secara alami ke populasinya. Hal ini bertujuan agar nyamuk betina dapat kawin dengan nyamuk setempat, sehingga menghasilkan jentik nyamuk yang mengandung wolbachia dan akhirnya seluruh populasi akan memiliki wolbachia.
Lihat Juga: Farhat Abbas Punya Banyak Bukti Seret Denny Sumargo ke Polisi, Buntut Saling Sindir di Medsos
(tdy)