Wisata Religi : Menelusuri Masjid-masjid Tua Jakarta Yang Sarat Sejarah
loading...
A
A
A
Kota Jakarta saratdengan sejarah. Dalam perjalanannya, Jakarta juga tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam. Dulu bernama Sunda Kelapa, kemudian Batavia dan akhirnya bernama Jakarta. Para penguasa kawasan ini konon, masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Fatahillah.
Dalam literatur sejarah tercatat, pada 1511 M penguasa Sunda Kelapa dikisahkan pernah bergabung dengan Kesultanan Demak untuk menghadang kekuatan Portugis di Malaka. Sejumlah sejarawan pun menyimpulkan, sejatinya wajah Jakarta dulu adalah bernuansa Islam. Hingga saat kekuatan Kerajaan Pajajaran masuk di Sunda Kelapa pada 1522.
Hingga kini, nuansa Islam di Jakarta masih mengakar kuat. Ini dapat dilihat dari banyaknya masjid-masjid bersejarah yang hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid-masjid berusia ratusan tahun, masih ada di berbagai penjuru Jakarta.
Berikut beberapa masjid tua yang sangat ikonik dengan Kota Jakarta.
1. Masjid Luar Batang
Masjid Luar Batang adalah nama populer dari Masjid Jami Keramat Luar Batang. Lokasinya terletak di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Jalan Luar Batang, Gang V No. 1, Kelurahan Penjaringan. Masjid ini sering dikunjungi para peziarah, karenadi dalam kompleks masjid itu terdapat ruang makam keramat Al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus dan asistennya, seorang keturunan Tionghoa bernama Habib Abdul Kadir.
Menilik sejarahnya, berdirinya masjid berawal dari kedatangan seorang pemuda tampan berasal dari belahan Jazirah Arab, tepatnya di daerah Hadhramaut, Yaman Selatan, datang ke Batavia pada 1736 Masehi atau awal abad ke-18. Pemuda yang dilahirkan dalam keadaan yatim piatu itu hijrah ke Batavia melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada saat itu Pelabuhan Sunda Kelapa termasuk Bandar yang paling ramai di pulau Jawa.
Di kawasan berawa-rawa dan terdapat banyak pohon bakau, terletak di bagian barat Sunda Kelapa yang berbentuk teluk itulah dibangun surau (musala) oleh Alhabib Husen sebagai tempat beribadah dan bershalawat.Di masjid inilah, Alhabieb menyiarkan agama Islam dan banyak penduduk yang datang untuk mohon doa. Perjuangannya mensyiarkan Islam bukan tanpa rintangan. Habieb Husen, dianggap musuh besar oleh penjajah Belanda. Semasa hidup Habib Husen belum pernah menikah, sampai akhir hayatnya pada Kamis, 17 Ramadan 1169 Hijriah atau bertepatan dengan 27 Juni 1756 Masehi dalam usia kurang lebih 30-40 tahun.
2. Masjid Cut Meutia, Menteng.
Masjid Cut Meutia terletak di Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasinya tidak jauh dari Stasiun KRL Gondangdia. Dulunya, masjid ini adalah bangunan kantor biro arsitek (sekaligus pengembang) N.V. (Naamloze vennootschap, atau Perseroan terbatas) Bouwploeg, Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879 - 1955) yang membangun wilayah Gondangdia di Menteng.
Sebelum difungsikan sebagai mesjid sebagaimana sekarang, bangunan ini pernah digunakan sebagai kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda dan kantor Kempetai Angkatan Laut Jepang (1942 - 1945). Setelah Indonesia merdeka, ia pernah dipergunakan sebagai kantor Urusan Perumahan, hingga Kantor Urusan Agama (1964 - 1970). Dan baru pada zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi dengan surat keputusan nomor SK 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987.
Masjid Cut Meutia memiliki gaya arsitektur yang unik, ciri khas bangunan zaman kolonial Belanda. Masjid ini sangat ikonik di Jakarta. Biasanya kalau bulan Ramadhan selalu dijadikan tempat berbagai kegiatan, salah satunya tempat festival jazz Ramadhan.
3. Masjid Al Makmur Cikini
Lokasinya tepat berada di Cikini. Masjid Al-Makmur dibangun pada 1860 dan menjadi salah satu masjid tertua di Jakarta.
Dulunya, masjid Al Makmur ini merupakan sebidang tanah kosong yang luas milik Raden Saleh Syarif Bustaman atau yang dikenal dengan nama Raden Saleh. Ia seorang pribumi keturunan Jawa yang terkenal tidak hanya di Tanah Air, tetapi juga ke seluruh belahan Eropa.
Kemudian dalam beberapa tahun tanah tersebut mengalami sengketa tanah dengan pemerintah kolonial Belanda. Konon, saat itu ada pihak yang ingin mendirikan pusat perbelanjaan tidak puas dan menuntut agar masjid dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh lagi. Akibat tuntutan itu, timbul reaksi dari para tokoh Islam seperti H.O.S. Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam) dibantu Haji Agus Salim dan Abikusno Cokrosuyoso. Sebagai muslim sejati, tentu mereka tidak setuju jika masjid itu dipindahkan.
Akhirnya, bangunan masjid yang ada saat ini masih menyerupai bentuk aslinya itu diresmikan oleh Agus Salim dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya Jakarta.
4. Masjid Al Anshor Tambora
Nama masjid ini mungkin jarang terdengar, tak sekondang masjid Jami Pekojan. Tetapi Masjid Al Anshor yang terletak di Pekojan, Tambora, Jakarta Barat ini adalah masjid tertua di DKI Jakarta. Masjid ini tercatat keberadaannya sejak 1648.
Awalnya didirikan oleh dan untuk orang Moor, yaitu pedagang asal Gujarat dan Bengal, yang pada masa itu datang ke Jakarta untuk berdagang.
Meski telah dibangun sejak 1648, namun sulit untuk menentukan bagian mana dari bangunan yang masih terbilang asli. Karena setelah diperbaharui pada 1973 dan 1985, gaya lama bangunan ini agak hilang. Sampai saat ini, bangunan masjid sederhana ini masih ada dan menyatu dengan rumah-rumah di kawasan Tambora.
5. Masjid Jami Al-Atiq Kampung Melayu Besar
Masjid di Jalan Masjid I Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan ini merupakan peninggalan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama yang pusat pemerintahannya di daerah Banten Lama. Sultan Maulana Hasanuddin adalah putra Syarif Hidayatul- lah dari istrinya, Ratu Kaung Anten.
Ciri khas arsitektur masjid yang berdiri pada abad ke-16 ini, tampak pada atap bangunan yang bersusun dan lambang panah sebagai simbol bersejarah. Simbol ini juga ada di beberapa masjid di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Masjid Demak, Masjid Sunan Giri dan Gresik. Masjid ini telah beberapa kali direnovasi, luas masjid yang asli dapat dilihat pada batas keempat tiang yang berdiri kokoh di dalamnya.
6. Masjid Al-Anwar Muara Angke
Dulunya bernama Masjid Angke, terletak di Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Keberadaan masjid ini tidak bisa dilepaskan dengan tokoh-tokoh pejuang dan pendiri Jakarta seperti Pangeran Fatahillah dan Tubagus Angke. Masjid di atas tanah seluas 400 meter persegi, berukuran 15x15 meter ini memang termasuk kecil. Bangunannya memperlihatkan paduan arsitektur gaya Belanda, Banten kuno, dan Cina.
Masjid Al Anwar ini iyakini dibangun oleh sekelompok orang Bali di Batavia pada tahun 1761. Sebagaimana tertulis pada kaligrafi di ambang pintu sebelah timur, Masjid Angke dibangun pada tahun 1761 M (tepatnya, tanggal 26 Sya'ban 1174 H). Mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah permukiman --pada saat itu-- suku Bali di Batavia, sejarawan Denys Lombard dan juga Adolf Heuken cenderung menganggap orang-orang Bali itulah yang membangun masjid tersebut.
Dugaan ini diperkuat oleh arsitektur masjid yang untuk sebagiannya berciri budaya Bali. Tercatat pula bahwa pada tahun 1804, seorang kapitan (pemimpin) suku Bali bernama Mohammad Paridan Tousalette Babandan telah menyumbangkan perolehannya dari sewa dua puluh lima rumah petak miliknya di daerah Patuakan (kini kawasan Jl Perniagaan) untuk kas Masjid Angke.
Namun demikian, ada pula yang meyakini bahwa Masjid Angke dibangun oleh seorang wanita Tionghoa bernama Tan Nio, dengan arsiteknya Syaikh Liong Tan. Di pemakaman kecil di belakang masjid ini memang terdapat beberapa kuburan. Yang tertua di antaranya nisannya bertulisan aksara Cina: "Chen men Wang shi zhi mu", 'Nisan ny. Chen yang lahir sebagai Wang'. Namun demikian, keberadaan masjid ini konon diyakini sebagai lokasi pertemuan- pertemuan rahasia melawan Belanda.
7. Masjid Jami An-Nawier Pekojan
Keberadaan masjid Jami an-Nawier atau yang lebih dikenal sebagai Masjid Jami Pekojan ini tidak dapat di lepaskan dari kiprah pendirinya, Komandan Dahlan. Ia adalah seorang tokoh ulama yang sangat disegani pada masanya. Ia dimakamkan di sebelah utara masjid, dikelilingi batu-batu besar pahatan abad ke-18.
Masjid Jami Pekojan merupakan salah satu masjid tua dan sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran agama Islam di Jakarta pada masa lampau. Setiap Jumat tidak kurang dari 2.000 jamaah shalat di masjid ini.
Dalam literatur sejarah tercatat, pada 1511 M penguasa Sunda Kelapa dikisahkan pernah bergabung dengan Kesultanan Demak untuk menghadang kekuatan Portugis di Malaka. Sejumlah sejarawan pun menyimpulkan, sejatinya wajah Jakarta dulu adalah bernuansa Islam. Hingga saat kekuatan Kerajaan Pajajaran masuk di Sunda Kelapa pada 1522.
Hingga kini, nuansa Islam di Jakarta masih mengakar kuat. Ini dapat dilihat dari banyaknya masjid-masjid bersejarah yang hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid-masjid berusia ratusan tahun, masih ada di berbagai penjuru Jakarta.
Berikut beberapa masjid tua yang sangat ikonik dengan Kota Jakarta.
1. Masjid Luar Batang
Masjid Luar Batang adalah nama populer dari Masjid Jami Keramat Luar Batang. Lokasinya terletak di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Jalan Luar Batang, Gang V No. 1, Kelurahan Penjaringan. Masjid ini sering dikunjungi para peziarah, karenadi dalam kompleks masjid itu terdapat ruang makam keramat Al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus dan asistennya, seorang keturunan Tionghoa bernama Habib Abdul Kadir.
Menilik sejarahnya, berdirinya masjid berawal dari kedatangan seorang pemuda tampan berasal dari belahan Jazirah Arab, tepatnya di daerah Hadhramaut, Yaman Selatan, datang ke Batavia pada 1736 Masehi atau awal abad ke-18. Pemuda yang dilahirkan dalam keadaan yatim piatu itu hijrah ke Batavia melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada saat itu Pelabuhan Sunda Kelapa termasuk Bandar yang paling ramai di pulau Jawa.
Di kawasan berawa-rawa dan terdapat banyak pohon bakau, terletak di bagian barat Sunda Kelapa yang berbentuk teluk itulah dibangun surau (musala) oleh Alhabib Husen sebagai tempat beribadah dan bershalawat.Di masjid inilah, Alhabieb menyiarkan agama Islam dan banyak penduduk yang datang untuk mohon doa. Perjuangannya mensyiarkan Islam bukan tanpa rintangan. Habieb Husen, dianggap musuh besar oleh penjajah Belanda. Semasa hidup Habib Husen belum pernah menikah, sampai akhir hayatnya pada Kamis, 17 Ramadan 1169 Hijriah atau bertepatan dengan 27 Juni 1756 Masehi dalam usia kurang lebih 30-40 tahun.
2. Masjid Cut Meutia, Menteng.
Masjid Cut Meutia terletak di Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasinya tidak jauh dari Stasiun KRL Gondangdia. Dulunya, masjid ini adalah bangunan kantor biro arsitek (sekaligus pengembang) N.V. (Naamloze vennootschap, atau Perseroan terbatas) Bouwploeg, Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879 - 1955) yang membangun wilayah Gondangdia di Menteng.
Sebelum difungsikan sebagai mesjid sebagaimana sekarang, bangunan ini pernah digunakan sebagai kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda dan kantor Kempetai Angkatan Laut Jepang (1942 - 1945). Setelah Indonesia merdeka, ia pernah dipergunakan sebagai kantor Urusan Perumahan, hingga Kantor Urusan Agama (1964 - 1970). Dan baru pada zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi dengan surat keputusan nomor SK 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987.
Masjid Cut Meutia memiliki gaya arsitektur yang unik, ciri khas bangunan zaman kolonial Belanda. Masjid ini sangat ikonik di Jakarta. Biasanya kalau bulan Ramadhan selalu dijadikan tempat berbagai kegiatan, salah satunya tempat festival jazz Ramadhan.
3. Masjid Al Makmur Cikini
Lokasinya tepat berada di Cikini. Masjid Al-Makmur dibangun pada 1860 dan menjadi salah satu masjid tertua di Jakarta.
Dulunya, masjid Al Makmur ini merupakan sebidang tanah kosong yang luas milik Raden Saleh Syarif Bustaman atau yang dikenal dengan nama Raden Saleh. Ia seorang pribumi keturunan Jawa yang terkenal tidak hanya di Tanah Air, tetapi juga ke seluruh belahan Eropa.
Kemudian dalam beberapa tahun tanah tersebut mengalami sengketa tanah dengan pemerintah kolonial Belanda. Konon, saat itu ada pihak yang ingin mendirikan pusat perbelanjaan tidak puas dan menuntut agar masjid dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh lagi. Akibat tuntutan itu, timbul reaksi dari para tokoh Islam seperti H.O.S. Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam) dibantu Haji Agus Salim dan Abikusno Cokrosuyoso. Sebagai muslim sejati, tentu mereka tidak setuju jika masjid itu dipindahkan.
Akhirnya, bangunan masjid yang ada saat ini masih menyerupai bentuk aslinya itu diresmikan oleh Agus Salim dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya Jakarta.
4. Masjid Al Anshor Tambora
Nama masjid ini mungkin jarang terdengar, tak sekondang masjid Jami Pekojan. Tetapi Masjid Al Anshor yang terletak di Pekojan, Tambora, Jakarta Barat ini adalah masjid tertua di DKI Jakarta. Masjid ini tercatat keberadaannya sejak 1648.
Awalnya didirikan oleh dan untuk orang Moor, yaitu pedagang asal Gujarat dan Bengal, yang pada masa itu datang ke Jakarta untuk berdagang.
Meski telah dibangun sejak 1648, namun sulit untuk menentukan bagian mana dari bangunan yang masih terbilang asli. Karena setelah diperbaharui pada 1973 dan 1985, gaya lama bangunan ini agak hilang. Sampai saat ini, bangunan masjid sederhana ini masih ada dan menyatu dengan rumah-rumah di kawasan Tambora.
5. Masjid Jami Al-Atiq Kampung Melayu Besar
Masjid di Jalan Masjid I Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan ini merupakan peninggalan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama yang pusat pemerintahannya di daerah Banten Lama. Sultan Maulana Hasanuddin adalah putra Syarif Hidayatul- lah dari istrinya, Ratu Kaung Anten.
Ciri khas arsitektur masjid yang berdiri pada abad ke-16 ini, tampak pada atap bangunan yang bersusun dan lambang panah sebagai simbol bersejarah. Simbol ini juga ada di beberapa masjid di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Masjid Demak, Masjid Sunan Giri dan Gresik. Masjid ini telah beberapa kali direnovasi, luas masjid yang asli dapat dilihat pada batas keempat tiang yang berdiri kokoh di dalamnya.
6. Masjid Al-Anwar Muara Angke
Dulunya bernama Masjid Angke, terletak di Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Keberadaan masjid ini tidak bisa dilepaskan dengan tokoh-tokoh pejuang dan pendiri Jakarta seperti Pangeran Fatahillah dan Tubagus Angke. Masjid di atas tanah seluas 400 meter persegi, berukuran 15x15 meter ini memang termasuk kecil. Bangunannya memperlihatkan paduan arsitektur gaya Belanda, Banten kuno, dan Cina.
Masjid Al Anwar ini iyakini dibangun oleh sekelompok orang Bali di Batavia pada tahun 1761. Sebagaimana tertulis pada kaligrafi di ambang pintu sebelah timur, Masjid Angke dibangun pada tahun 1761 M (tepatnya, tanggal 26 Sya'ban 1174 H). Mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah permukiman --pada saat itu-- suku Bali di Batavia, sejarawan Denys Lombard dan juga Adolf Heuken cenderung menganggap orang-orang Bali itulah yang membangun masjid tersebut.
Dugaan ini diperkuat oleh arsitektur masjid yang untuk sebagiannya berciri budaya Bali. Tercatat pula bahwa pada tahun 1804, seorang kapitan (pemimpin) suku Bali bernama Mohammad Paridan Tousalette Babandan telah menyumbangkan perolehannya dari sewa dua puluh lima rumah petak miliknya di daerah Patuakan (kini kawasan Jl Perniagaan) untuk kas Masjid Angke.
Namun demikian, ada pula yang meyakini bahwa Masjid Angke dibangun oleh seorang wanita Tionghoa bernama Tan Nio, dengan arsiteknya Syaikh Liong Tan. Di pemakaman kecil di belakang masjid ini memang terdapat beberapa kuburan. Yang tertua di antaranya nisannya bertulisan aksara Cina: "Chen men Wang shi zhi mu", 'Nisan ny. Chen yang lahir sebagai Wang'. Namun demikian, keberadaan masjid ini konon diyakini sebagai lokasi pertemuan- pertemuan rahasia melawan Belanda.
7. Masjid Jami An-Nawier Pekojan
Keberadaan masjid Jami an-Nawier atau yang lebih dikenal sebagai Masjid Jami Pekojan ini tidak dapat di lepaskan dari kiprah pendirinya, Komandan Dahlan. Ia adalah seorang tokoh ulama yang sangat disegani pada masanya. Ia dimakamkan di sebelah utara masjid, dikelilingi batu-batu besar pahatan abad ke-18.
Masjid Jami Pekojan merupakan salah satu masjid tua dan sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran agama Islam di Jakarta pada masa lampau. Setiap Jumat tidak kurang dari 2.000 jamaah shalat di masjid ini.
(wid)