Film Eksil Ungkap Kisah para Korban yang Terasing di Negeri Orang akibat PKI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Film dokumenter Eksil akan tayang di bioskop mulai Kamis (1/2/2024). Film arahan sutradara Lola Amaria ini merupakan film sejarah kelam Indonesia pada masa huru-hara politik Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) 1965 dari sudut pandang para korban atau orang-orang asli Indonesia yang tidak diakui negara hingga terdampar di negeri orang, di antaranya Rusia, Belanda, Ceko, Swedia dan lainnya.
Pada film tersebut, mereka menceritakan apa yang dialami pada masa itu sampai terdampar di negara orang.
Lola Amaria mengatakan telah melakukan riset bersama tim sejak 2010, termasuk mencari data keberadaan para Eksil.
Eksil kemudian digarap pada 2015. Selama tiga bulan di Eropa, Lola dan tim untuk bertemu langsung dan berbincang dengan para Eksil.
“Ini film dokumenter perdana saya. Di film ini menggunakan gaya bertutur, sehingga akan lebih mudah untuk dicerna, terutama oleh generasi milenial dan generasi Z. Kedua generasi ini sudah sangat berjarak dengan sejarah masa lalu, apalagi dengan disrupsi informasi yang masif sekarang ini. Kepada merekalah anak-anak muda, termasuk orangtua film ini sesungguhnya kita berikan agar lebih tahu dengan keadaan yang sebenarnya yang dialami para Eksil,” kata Lola Amaria di XXI Metropole, Jakarta Pusat, Senin (29/1/2024).
“Kita mendapatkan kendala dalam proses pembuatannya. Selain masalah dana tentunya, masalah narasumber yang cukup sulit untuk ditemui dan mau bercerita. Karena mereka waspada sekali terhadap kita. Mereka mengira kita intel atau mata-mata, sehingga menjaga jarak dengan kita. Dan ini butuh proses untuk meyakininya,” tutur Lola lagi.
Sementara, Sari Mochtar selaku line produser mengatakan bahwa untuk bisa berinteraksi dengan para narasumber itu tidak mudah, dibutuhkan trik dan kesabaran sehingga mereka percaya.
“Untuk mempercayakan mereka nggak gampang, kecurigaan itu ada. Bahkan ketika kita mengambil video mereka juga mengambil video tentang kita. Jadi untuk mensiasati kita harus membantu masak atau cuci piring agar kecurigaan itu menjadi cair.Dari situ baru mereka percaya sama kita dan bisa diwawancarai secara terbuka,” ujar Sari Michtar atau akrab disapa Ai.
Dikatakan Lola Amaria, film Eksil tak bermaksud mengangkat peristiwa G30S/PKI atau politiknya, tetapi lebih dari sisi kemanusiannya dengan melihat dan mendengar langsung apa yang dialami para Eksil selama menetap di negeri orang akibat terusir dari negeri sendiri, termasuk kerinduan dan kecintaan mereka terhadap Tanah Air.
“Film ini bukan untuk yang mengerti soal peristiwa 1965. Tapi ini untuk generasi saya dan di bawah saya yang tiap tahun dicekoki film G30S/PKI. Itu kayaknya harus tahu dari sisi sebelahnya dan ini yang bicara orangnya langsung, yang mereka yang berada di luar negeri sebelum peristiwa PKI nggak boleh pulang. Mereka punya cerita yang jujur tentang itu,” ujar Lola.
Hampir dari 10 orang yang berhasil diwawancarai mereka masih mengaku Cinta Indonesia, meski pun beberapa dari mereka sudah beranak pinak disana. Bahkan secara jujur hati mereka tetap rindu pulang ke kampung halaman.
Pada film tersebut, mereka menceritakan apa yang dialami pada masa itu sampai terdampar di negara orang.
Lola Amaria mengatakan telah melakukan riset bersama tim sejak 2010, termasuk mencari data keberadaan para Eksil.
Eksil kemudian digarap pada 2015. Selama tiga bulan di Eropa, Lola dan tim untuk bertemu langsung dan berbincang dengan para Eksil.
“Ini film dokumenter perdana saya. Di film ini menggunakan gaya bertutur, sehingga akan lebih mudah untuk dicerna, terutama oleh generasi milenial dan generasi Z. Kedua generasi ini sudah sangat berjarak dengan sejarah masa lalu, apalagi dengan disrupsi informasi yang masif sekarang ini. Kepada merekalah anak-anak muda, termasuk orangtua film ini sesungguhnya kita berikan agar lebih tahu dengan keadaan yang sebenarnya yang dialami para Eksil,” kata Lola Amaria di XXI Metropole, Jakarta Pusat, Senin (29/1/2024).
“Kita mendapatkan kendala dalam proses pembuatannya. Selain masalah dana tentunya, masalah narasumber yang cukup sulit untuk ditemui dan mau bercerita. Karena mereka waspada sekali terhadap kita. Mereka mengira kita intel atau mata-mata, sehingga menjaga jarak dengan kita. Dan ini butuh proses untuk meyakininya,” tutur Lola lagi.
Sementara, Sari Mochtar selaku line produser mengatakan bahwa untuk bisa berinteraksi dengan para narasumber itu tidak mudah, dibutuhkan trik dan kesabaran sehingga mereka percaya.
“Untuk mempercayakan mereka nggak gampang, kecurigaan itu ada. Bahkan ketika kita mengambil video mereka juga mengambil video tentang kita. Jadi untuk mensiasati kita harus membantu masak atau cuci piring agar kecurigaan itu menjadi cair.Dari situ baru mereka percaya sama kita dan bisa diwawancarai secara terbuka,” ujar Sari Michtar atau akrab disapa Ai.
Dikatakan Lola Amaria, film Eksil tak bermaksud mengangkat peristiwa G30S/PKI atau politiknya, tetapi lebih dari sisi kemanusiannya dengan melihat dan mendengar langsung apa yang dialami para Eksil selama menetap di negeri orang akibat terusir dari negeri sendiri, termasuk kerinduan dan kecintaan mereka terhadap Tanah Air.
“Film ini bukan untuk yang mengerti soal peristiwa 1965. Tapi ini untuk generasi saya dan di bawah saya yang tiap tahun dicekoki film G30S/PKI. Itu kayaknya harus tahu dari sisi sebelahnya dan ini yang bicara orangnya langsung, yang mereka yang berada di luar negeri sebelum peristiwa PKI nggak boleh pulang. Mereka punya cerita yang jujur tentang itu,” ujar Lola.
Hampir dari 10 orang yang berhasil diwawancarai mereka masih mengaku Cinta Indonesia, meski pun beberapa dari mereka sudah beranak pinak disana. Bahkan secara jujur hati mereka tetap rindu pulang ke kampung halaman.
(tdy)