Komplikasi Hipertensi Sebabkan Beban Ekonomi Tinggi, InaSH Ingatkan Pentingnya Pencegahan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesian Society of Hypertension (InaSH) menggelar 18th Scientific Meeting yang mengangkat tema Beban Ekonomi Akibat Komplikasi Hipertensi.
Untuk diketahui, beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan penelitian di 15 negara berkembang termasuk Indonesia, beban biaya penyakit ini tercatat mencapai USD1.497,36 per orang per tahun.
Ketua Panitia The 18th Annual Scientific Meeting of InaSH 2024 dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K) mengungkapkan, berdasarkan data dari BPJS, klaim terbesar di tahun 2023 dipegang oleh penyakit jantung dengan besaran Rp17,63 triliun.
"Berdasarkan laporan BPJS di tahun 2023, dari 23 juta peserta JKN yang telah menjalani skrining riwayat kesehatan, sekitar 8 persen di antaranya berisiko menderita hipertensi,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Menurut dr. Ario, hipertensi yang tidak tertangani akan menimbulkan kerusakan pada organ lain, termasuk otak dan ginjal.
"Bisa dibayangkan biaya kesehatan yang akan sangat membengkak apabila sampai terjadi gangguan di tiga organ sekaligus. Harus diingat juga bahwa penyakit jantung, ginjal, dan otak termasuk penyakit katastropik dengan klaim BPJS terbesar di Indonesia. Dengan demikian, pencegahan adalah salah satu langkah tepat agar pasien tetap sehat, dapat produktif, serta tidak memberikan beban kepada keluarga, masyarakat, dan negara," bebernya.
Sementara itu, Wakil Ketua InaSH dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S menegaskan, tanpa disadari hipertensi dapat merusak organ
selama bertahun-tahun sebelum ada gejala. Apabila tidak diobati, hipertensi dapat menyebabkan disabilitas, kualitas hidup buruk, hingga kematian karena kerusakan organ target seperti otak, jantung, dan ginjal.
Hipertensi juga dapat menyebabkan stroke minor yang terjadi karena terganggunya aliran darah ke otak dalam waktu singkat akibat penyumbatan di pembuluh darah.
InaSH menggelar 18th Scientific Meeting dengan tema Beban Ekonomi Akibat Komplikasi Hipertensi. Foto/Istimewa
"Selain itu, hipertensi merupakan faktor risiko utama penyebab stroke. Menurut berbagai penelitian hipertensi ditemukan pada 60%-70% kasus stroke," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua InaSH dr. Erwinanto, Sp.JP(K), FIHA menjelaskan, diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah yang diukur di klinik mencapai 140/90 mmHg atau lebih.
"Tidak semua dari mereka yang tekanan darahnya terukur ≥140/90 mmHg di klinik mempunyai peningkatan tekanan darah jika diukur di luar klinik. Pengukuran tekanan darah di luar klinik dapat menggunakan Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau pengukuran tekanan darah di rumah menggunakan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM)," terang dr. Erwinanto.
"Diagnosis hipertensi disebut akurat jika baik pengukuran tekanan darah di klinik maupun di luar klinik menunjukkan tekanan darah yang meningkat dan disebut sebagai true hypertension. Individu yang mempunyai tekanan darah meningkat ketika diukur di klinik tetapi mempunyai tekanan darah normal ketika diukur di luar klinik disebut hipertensi jas putih (whitecoat hypertension)," lanjutnya.
Individu dengan true hypertension, kata dr. Erwinanto, memerlukan terapi obat antihipertensi. Sementara individu dengan whitecoat hypertension, yang jumlahnya dapat mencapai 30% dari mereka yang terdeteksi hipertensi di klinik, tidak perlu terapi obat.
"Pada saat ini belum ada bukti bahwa terapi obat yang diberikan pada penyandang whitecoat hypertension dapat mencegah penyakit akibat hipertensi seperti penyakit kardiovaskular, stroke atau penyakit ginjal,” pungkas dr. Erwinanto.
Untuk diketahui, beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan penelitian di 15 negara berkembang termasuk Indonesia, beban biaya penyakit ini tercatat mencapai USD1.497,36 per orang per tahun.
Ketua Panitia The 18th Annual Scientific Meeting of InaSH 2024 dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K) mengungkapkan, berdasarkan data dari BPJS, klaim terbesar di tahun 2023 dipegang oleh penyakit jantung dengan besaran Rp17,63 triliun.
"Berdasarkan laporan BPJS di tahun 2023, dari 23 juta peserta JKN yang telah menjalani skrining riwayat kesehatan, sekitar 8 persen di antaranya berisiko menderita hipertensi,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Menurut dr. Ario, hipertensi yang tidak tertangani akan menimbulkan kerusakan pada organ lain, termasuk otak dan ginjal.
"Bisa dibayangkan biaya kesehatan yang akan sangat membengkak apabila sampai terjadi gangguan di tiga organ sekaligus. Harus diingat juga bahwa penyakit jantung, ginjal, dan otak termasuk penyakit katastropik dengan klaim BPJS terbesar di Indonesia. Dengan demikian, pencegahan adalah salah satu langkah tepat agar pasien tetap sehat, dapat produktif, serta tidak memberikan beban kepada keluarga, masyarakat, dan negara," bebernya.
Sementara itu, Wakil Ketua InaSH dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S menegaskan, tanpa disadari hipertensi dapat merusak organ
selama bertahun-tahun sebelum ada gejala. Apabila tidak diobati, hipertensi dapat menyebabkan disabilitas, kualitas hidup buruk, hingga kematian karena kerusakan organ target seperti otak, jantung, dan ginjal.
Hipertensi juga dapat menyebabkan stroke minor yang terjadi karena terganggunya aliran darah ke otak dalam waktu singkat akibat penyumbatan di pembuluh darah.
InaSH menggelar 18th Scientific Meeting dengan tema Beban Ekonomi Akibat Komplikasi Hipertensi. Foto/Istimewa
"Selain itu, hipertensi merupakan faktor risiko utama penyebab stroke. Menurut berbagai penelitian hipertensi ditemukan pada 60%-70% kasus stroke," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua InaSH dr. Erwinanto, Sp.JP(K), FIHA menjelaskan, diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah yang diukur di klinik mencapai 140/90 mmHg atau lebih.
"Tidak semua dari mereka yang tekanan darahnya terukur ≥140/90 mmHg di klinik mempunyai peningkatan tekanan darah jika diukur di luar klinik. Pengukuran tekanan darah di luar klinik dapat menggunakan Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau pengukuran tekanan darah di rumah menggunakan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM)," terang dr. Erwinanto.
"Diagnosis hipertensi disebut akurat jika baik pengukuran tekanan darah di klinik maupun di luar klinik menunjukkan tekanan darah yang meningkat dan disebut sebagai true hypertension. Individu yang mempunyai tekanan darah meningkat ketika diukur di klinik tetapi mempunyai tekanan darah normal ketika diukur di luar klinik disebut hipertensi jas putih (whitecoat hypertension)," lanjutnya.
Individu dengan true hypertension, kata dr. Erwinanto, memerlukan terapi obat antihipertensi. Sementara individu dengan whitecoat hypertension, yang jumlahnya dapat mencapai 30% dari mereka yang terdeteksi hipertensi di klinik, tidak perlu terapi obat.
"Pada saat ini belum ada bukti bahwa terapi obat yang diberikan pada penyandang whitecoat hypertension dapat mencegah penyakit akibat hipertensi seperti penyakit kardiovaskular, stroke atau penyakit ginjal,” pungkas dr. Erwinanto.
(tsa)