Seruan para Pemangku Kepentingan untuk Mendorong Gaya Hidup Sehat demi Cegah Obesitas pada Anak

Rabu, 06 Maret 2024 - 08:30 WIB
loading...
Seruan para Pemangku...
Para pemangku kepentingan berkolaborasi untuk mendorong kesadaran soal pentingnya mengatasi masalah obesitas pada anak di Indonesia. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Obesitas pada anak merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian di Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia saat ini menghadapi tiga beban malnutrisi (TBM), dengan peningkatan dramatis kasus kelebihan berat badan dan obesitas di masyarakat, termasuk di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, 1 dari 5 anak usia sekolah (20 persen atau 7,6 juta) dan 1 dari 7 remaja (14,8 persen atau 3,3 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas.

Menanggapi isu tersebut, para pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Kesehatan, Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), berbagai asosiasi medis, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Novo Nordiskberkolaborasi untuk mendorong kesadaran akan pentingnya mengatasi masalah obesitas pada anak di Indonesia. Ini merupakan contoh kerja sama sektor publik dan swasta dalam menanggulangi obesitas pada anak. Bersama, mereka berkomitmen untuk berdiskusi dan bersinergi guna menghasilkan solusi yang komprehensif, termasuk perbaikan sistem makanan dan urban, yang akan berdampak signifikan pada kesehatan dan kesejahteraan anak.

Wakil Menteri Kesehatan Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, KEMD, PhD mengatakan, menurut data Riskesdas, obesitas di Indonesia meningkat dari 10,05 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen di tahun 2018. Obesitas pada anak juga berpotensi menyebabkan resistensi insulin dan berdampak pada penyakit diabetes dan gangguan kardiovaskular.

"Seiring dengan Indonesia yang sedang menyiapkan Indonesia Emas 2045, kita juga harus mempersiapkan anak-anak Indonesia untuk bebas dari obesitas dengan memberikan contoh asupan makanan sehat. Dengan kerja sama strategis dari semua pemangku kepentingan, kami percaya hal ini akan membantu memperkuat upaya penyebaran informasi mengenai faktor risiko obesitas pada anak dan cara pencegahannya," ujarnya di Jakarta belum lama ini.

Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI, Direktur Eksekutif di International Pediatric Association, menjelaskan, obesitas pada anak diukur menggunakan kurva referensi yang mencakup pengukuran berat badan dan tinggi badan. Jika kurva menunjukkan angka persentil di atas 85, itu menandakan overweight atau kelebihan berat badan. Jika angka persentil di atas 95, maka dapat dikatakan obesitas.

“Ketika anak itu sudah bertahun-tahun mengalami obesitas maka akan timbul warna kehitaman pada leher anak. Ini merupakan tanda acanthosis nigricans (AN), suatu kelainan kulit yang umum terjadi pada anak gemuk. Waspada, karena anak dengan AN memiliki kemungkinan lebih besar daripada anak yang tidak menderita kelainan yang sama untuk mengalami gangguan insulin," terangnya.

“Kelebihan lemak di seluruh tubuh juga dapat menyebabkan anak obesitas sering mengalami sesak napas,” lanjutnya.

Menurut Prof. Aman, data menunjukkan bahwa sekitar 15-16 persen siswa SD di Jakarta mengalami resistensi insulin, sementara 34 persen anak SD di Jakarta telah mengalami hipertensi. Dengan kondisi ini, risiko penyakit diabetes dan penyakit lain pada anak-anak tersebut hampir pasti meningkat.

Untuk penanganan anak yang telah mengalami obesitas, disarankan untuk menghindari makanan yang diproses, mengonsumsi lima kali buah dan sayur per hari, tidak duduk lebih dari dua jam sehari, berolahraga selama satu jam setiap hari, dan mengurangi konsumsi gula atau gula tambahan.

Diah Satiyani Saminarsih, Founder dan CEO CISDI, menekankan pentingnya membaca label kandungan gizi makanan dalam pencegahan dan penanganan obesitas pada anak.

“Memperhatikan kandungan gizi membantu kita memahami apa yang kita konsumsi. Namun, jika akses terhadap makanan yang tinggi gula, yodium tinggi, dan minuman dengan gula tinggi tidak dibatasi, akan sulit bagi orang tua untuk membentuk pola makan dan hidup yang sehat," kata Diah.

"Selain itu, faktor harga juga berperan penting. Jika harga makanan murah, cenderung itulah yang akan dibeli. Oleh karena itu, keluarga perlu membentuk pola konsumsi yang sehat, dengan dukungan kebijakan dari pemerintah. Kemenkes telah mendorong penerapan aturan cukai pada makanan dan minuman yang mengandung pemanis untuk membantu mengurangi konsumsi gula sesuai anjuran pemerintah, serta mencegah dan mengatasi obesitas serta penyakit lainnya yang berhubungan dengan obesitas," lanjut dia.

Sementara itu, Duta Besar Denmark untuk Indonesia H.E. Sten Frimodt Nielsen menyatakan dukungannya untuk upaya kolaboratif dari para pihak untuk mengatasi obesitas ini.

"Obesitas pada anak adalah masalah kesehatan global yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Hal ini merupakan masalah serius yang berdampak pada sistem kesehatan nasional. Oleh karena itu, kita membutuhkan kolaborasi yang kuat, tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari sektor swasta, untuk bekerja sama dalam mengatasi obesitas pada anak," tuturnya.

Sreerekha Sreenivasan, Vice President dan General Manager Novo Nordisk Indonesia menambahkan, selama bertahun-tahun pihaknya berkomitmen untuk mendorong perubahan pada obesitas dan secara aktif meningkatkan kesadaran serta melakukan edukasi untuk mencegah obesitas pada anak.

"Melalui inisiatif dan kolaborasi dengan berbagai pihak dari pemangku kepentingan, seperti pemerintah, para ahli, UNICEF, dan masyarakat secara bersama-sama, kerja sama ini akan meningkatkan jangkauan kami dan tentunya akan membawa perubahan pada kehidupan anak-anak Indonesia,” pungkasnya.
(tsa)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1061 seconds (0.1#10.140)