Review Film Godzilla: King of the Monsters
A
A
A
Penonton film tentang monster bagi sebagian besar orang memang mengasyikkan. Terutama jika monster yang tampil memiliki nama yang melegenda dalam cerita dongeng seperti Godzilla. Monster asal Jepang ini sudah beberapa kali difilmkan di Hollywood dengan beragam penerimaan dari para kritikus dan penonton.
Menyusul kesuksesan yang diraih Godzilla pada 2014, Warner Bros. mencoba kembali peruntungan itu dengan membuat sekuelnya, Godzilla: King of the Monsters. Film ini dijanjikan memberikan tontonan seru dengan adanya perkelahian antara para monster yang ingin berkuasa di muka Bumi.
Dan, janji itu memang terpenuhi. Godzilla: King of the Monsters memang menyajikan sejumlah pertempuran antara para monster dengan model satu lawan satu. Seru? In the sense of action, memang seru. Banyak pertempuran yang melibatkan Godzilla dengan monster lain yang memang banyak dinantikan para penonton film ini. Film ini sepertinya menjawab keinginan penggemar untuk lebih banyak aksi para monster di film Godzilla setelah pendahulunya tidak terlalu menampilkan banyak aksi.
Film ini mengisahkan tentang Emma Russell (Vera Farmiga) dan kini tinggal bersama putrinya, Madison (Millie Bobby Brown) setelah putranya, Andrew, tewas dalam serangan monster pada 2014. Sementara, suaminya, Mark (Kyle Chandler), pergi untuk mengamati serigala. Suatu hari, Emma dan Madison diculik sekelompok orang yang dipimpin Colonel Jonah Alan (Charles Dance). Penculikan terjadi ketika Emma dan Madison sedang berada di salah satu fasilitas Monarch untuk mengamati monster Mothra.
Monarch kemudian menjemput Mark untuk mencari Emma dan Madison. Pencarian pun dimulai. Di tengah pencarian, mereka pun tahu jika Emma dan Jonah pergi ke Antartika, tempat King Ghidorah dibekukan. Mereka pergi ke tempat itu. Namun, Emma telah membangunkan King Ghidorah dan menolak untuk bergabung dengan Mark.
Di sinilah kemudian ceritanya terasa jadi aneh. Jika Anda penggemar film Avengers, tentu Anda akrab dengan latar belakang mengapa Thanos ingin melenyapkan separuh populasi semesta. Dan, di film ini, alasan yang nyaris sama dipakai Emma untuk membangunkan monster-monster tersebut. Emma merasa Bumi sudah terlalu padat dan ingin membangunkan monster-monster itu untuk mengurangi kelebihan populasi di Bumi. Sound familiar, eh?
Mungkin Emma nonton Avengers: Infinity War sebelum akhirnya memiliki ide yang hampir sama dengan Thanos di kepalanya. Selain itu, Emma membangkitkan para monster itu dengan sebuah alat bernama ORCA. Mark dan teman-temannya dari Monarch pun memburu alat itu demi menemukan Emma dan Madison serta mencegah para monster itu bangkit dan membuat kekacauan.
Mark dan teman-temannya dari Monarch dan pemerintah juga kewalahan menghadapi para monster itu. Nuklir dan senjata lainnya tidak mampu menahan mereka. Mereka begitu kuat. Sehingga, mereka pun terpaksa bergantung pada Godzilla untuk menjadi benteng terdepan Bumi. Namun, Godzilla tidak selalu ada untuk mereka. Di satu titik, dia memilih pergi dan beristirahat. Mark dan teman-temannya pun harus membangunkannya.
Godzilla: King of the Monsters besutan Michael Dougherty ini memang menjawab keinginan untuk penampilan lebih banyak monster. Godzilla pun tampil lumayan banyak. Dia terlihat hebat di film ini karena benar-benar total. Namun, sisanya biasa saja.
Plot film yang berbelit-belit membuat film ini jadi sedikit membosankan dan terasa capai sekali menontonnya. Bahkan, klimaksnya pun tak seperti harapan saya, terasa menjadi anti klimaks dan dipaksakan untuk tetap terlihat sebagai film keluarga. Namun, film ini masih memberikan hiburan yang bisa dinikmati.
Selama 132 menit, suguhan kehancuran dengan pusat di Amerika Serikat mendominasi film ini. Godzilla: King of the Monsters memang menyajikan pertempuran besar para monster yang memporak porandakan Bumi dengan latar cerita yang terasa sangat Thanos dari Avengers: Infinity War.
Godzilla: King of the Monsters sudah bisa Anda saksikan di bioskop kesayangan Anda. Selamat menonton!
Menyusul kesuksesan yang diraih Godzilla pada 2014, Warner Bros. mencoba kembali peruntungan itu dengan membuat sekuelnya, Godzilla: King of the Monsters. Film ini dijanjikan memberikan tontonan seru dengan adanya perkelahian antara para monster yang ingin berkuasa di muka Bumi.
Dan, janji itu memang terpenuhi. Godzilla: King of the Monsters memang menyajikan sejumlah pertempuran antara para monster dengan model satu lawan satu. Seru? In the sense of action, memang seru. Banyak pertempuran yang melibatkan Godzilla dengan monster lain yang memang banyak dinantikan para penonton film ini. Film ini sepertinya menjawab keinginan penggemar untuk lebih banyak aksi para monster di film Godzilla setelah pendahulunya tidak terlalu menampilkan banyak aksi.
Film ini mengisahkan tentang Emma Russell (Vera Farmiga) dan kini tinggal bersama putrinya, Madison (Millie Bobby Brown) setelah putranya, Andrew, tewas dalam serangan monster pada 2014. Sementara, suaminya, Mark (Kyle Chandler), pergi untuk mengamati serigala. Suatu hari, Emma dan Madison diculik sekelompok orang yang dipimpin Colonel Jonah Alan (Charles Dance). Penculikan terjadi ketika Emma dan Madison sedang berada di salah satu fasilitas Monarch untuk mengamati monster Mothra.
Monarch kemudian menjemput Mark untuk mencari Emma dan Madison. Pencarian pun dimulai. Di tengah pencarian, mereka pun tahu jika Emma dan Jonah pergi ke Antartika, tempat King Ghidorah dibekukan. Mereka pergi ke tempat itu. Namun, Emma telah membangunkan King Ghidorah dan menolak untuk bergabung dengan Mark.
Di sinilah kemudian ceritanya terasa jadi aneh. Jika Anda penggemar film Avengers, tentu Anda akrab dengan latar belakang mengapa Thanos ingin melenyapkan separuh populasi semesta. Dan, di film ini, alasan yang nyaris sama dipakai Emma untuk membangunkan monster-monster tersebut. Emma merasa Bumi sudah terlalu padat dan ingin membangunkan monster-monster itu untuk mengurangi kelebihan populasi di Bumi. Sound familiar, eh?
Mungkin Emma nonton Avengers: Infinity War sebelum akhirnya memiliki ide yang hampir sama dengan Thanos di kepalanya. Selain itu, Emma membangkitkan para monster itu dengan sebuah alat bernama ORCA. Mark dan teman-temannya dari Monarch pun memburu alat itu demi menemukan Emma dan Madison serta mencegah para monster itu bangkit dan membuat kekacauan.
Mark dan teman-temannya dari Monarch dan pemerintah juga kewalahan menghadapi para monster itu. Nuklir dan senjata lainnya tidak mampu menahan mereka. Mereka begitu kuat. Sehingga, mereka pun terpaksa bergantung pada Godzilla untuk menjadi benteng terdepan Bumi. Namun, Godzilla tidak selalu ada untuk mereka. Di satu titik, dia memilih pergi dan beristirahat. Mark dan teman-temannya pun harus membangunkannya.
Godzilla: King of the Monsters besutan Michael Dougherty ini memang menjawab keinginan untuk penampilan lebih banyak monster. Godzilla pun tampil lumayan banyak. Dia terlihat hebat di film ini karena benar-benar total. Namun, sisanya biasa saja.
Plot film yang berbelit-belit membuat film ini jadi sedikit membosankan dan terasa capai sekali menontonnya. Bahkan, klimaksnya pun tak seperti harapan saya, terasa menjadi anti klimaks dan dipaksakan untuk tetap terlihat sebagai film keluarga. Namun, film ini masih memberikan hiburan yang bisa dinikmati.
Selama 132 menit, suguhan kehancuran dengan pusat di Amerika Serikat mendominasi film ini. Godzilla: King of the Monsters memang menyajikan pertempuran besar para monster yang memporak porandakan Bumi dengan latar cerita yang terasa sangat Thanos dari Avengers: Infinity War.
Godzilla: King of the Monsters sudah bisa Anda saksikan di bioskop kesayangan Anda. Selamat menonton!
(alv)