Penggunaan Antibiotik Tidak Bijak Picu Resistensi, Kemenkes Beri Peringatan Keras

Kamis, 19 September 2024 - 13:20 WIB
loading...
Penggunaan Antibiotik...
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan peringatan keras terkait penggunaan antibiotik yang tidak bijak yang dapat memicu resistensi antimikroba (AMR). Foto/New Scientist
A A A
JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan peringatan keras terkait penggunaan antibiotik yang tidak bijak yang dapat memicu resistensi antimikroba (AMR). Kondisi ini menyebabkan bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik.

Akibatnya, pengobatan dan perawatan pasien semakin sulit. Kemenkes menekankan pentingnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan antibiotik sesuai anjuran dokter guna mencegah munculnya ancaman kesehatan yang serius di masa mendatang.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI dr. Azhar Jaya mengungkap data kejadian resistensi antimikroba yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel. Data tersebut mencakup dua jenis bakteri yang kebal antibiotik.

"Data AMR di Indonesia secara khusus didapatkan dari data yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, di mana hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68 persen,” kata dr. Azhar dalam keterangan tertulisnya dikutip Kamis (19/9/2024).



"Kemudian, di tahun 2023 pada 24 rumah sakit sentinel site sebesar 70,75 persen dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52 persen. Angka ini menunjukkan, adanya peningkatan resistensi antimikroba pada bakteri jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae,” sambungnya.

Menurut dr. Azhar, kedua jenis bakteri tersebut dapat menyebabkan kematian dan menyerang seluruh sistem organ dalam tubuh manusia.

"Agar data ini dapat mewakili Indonesia, maka untuk pengukuran ESBL, pada akhir tahun 2024 akan dilakukan pengukuran pada 56 rumah sakit sentinel yang tersebar di wilayah Indonesia barat, tengah dan timur serta meliputi rumah sakit milik pemerintah, pemerintah daerah dan swasta," jelasnya.

Data WHO Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) yang diperbarui pada 2022 menyebutkan, bahwa resistensi antimikroba pada Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia terdeteksi melalui pemeriksaan spesimen darah dan urine pasien yang terinfeksi AMR.



Berdasarkan laporan rumah sakit yang diterima Kemenkes, penanganan pasien dengan infeksi resistensi antimikroba membutuhkan upaya yang besar. Sebab, bakteri yang kebal terhadap antibiotik memengaruhi perawatan pasien.

“Merawat pasien dengan infeksi AMR sangat sulit karena beberapa faktor. Yang pertama adalah pilihan obat terbatas. Obat yang efektif untuk pasien AMR mungkin tidak tersedia atau mahal dan patogen bisa menjadi resisten terhadap antibiotik yang ada," ujarnya.

Menurut dr. Azhar, penegakan diagnosis bisa menjadi lambat. Pasalnya, dibutuhkan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan dalam menegakkan diagnosis pasien infeksi lama. Di mana, untuk pemeriksaan tersebut memerlukan waktu. Sehingga memperlambat perawatan yang tepat. Kemudian, dibutuhkan komitmen pimpinan rumah sakit untuk optimalisasi fungsi laboratorium.

Faktor lainnya terkait dengan efek samping. Pengobatan resistensi antimikroba sering kali memerlukan antibiotik dengan efek samping yang berat atau risiko toksisitas. Selain itu, infeksi resistensi antimikroba dapat menyebar cepat. Terutama di lingkungan rumah sakit sehingga memerlukan langkah-langkah pengendalian infeksi yang ketat.



“Kelima, biaya tinggi. Karena perawatan AMR membutuhkan waktu yang lama sehingga pengobatan AMR menjadi sangat mahal, produktivitas pasien dan keluarga penunggu menurun, serta membebani pasien dan jaminan kesehatan,” tandasnya.
(dra)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1306 seconds (0.1#10.140)