Mengenal Retinopati Diabetik, Penyakti Mata Akibat Diabetes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Retinopati diabetik (RD) atau penyakit mata diabetik adalah salah satu bentuk komplikasi diabetes. Di mana kadar gula yang tinggi mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah retina mata, terutama di jaringan-jaringan yang sensitif terhadap cahaya.
Kondisi ini dapat diderita oleh siapa pun yang mengidap diabetes tipe 1 atau 2. Terutama mereka yang gula darahnya tidak terkontrol dan telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang lama.
"Pada awalnya, RD sering kali hanya menunjukkan gejala ringan, atau bahkan tidak menimbulkan gejala sama sekali. Namun apabila tidak ditangani, RD dapat menyebabkan kebutaan," kata Guru Besar dan Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K), M.Epi, PhD saat Peluncuran Peta Jalan Kesehatan Penglihatan 2025-2030 Hari Penglihatan Sedunia 2024 secara daring pada Kamis, 10 Oktober 2024.
"Oleh karena itu, penderita diabetes selalu disarankan untuk melakukan pemeriksaan mata rutin, setidaknya satu kali dalam setahun meskipun tidak merasakan keluhan apa pun pada mata," sambungnya.
Di Indonesia, RD menjadi sebuah permasalahan kesehatan masyarakat yang sangat penting. Ini karena berdampak tidak hanya pada kualitas manajemen diabetes namun juga kualitas hidup, produktivitas kerja, dan meningkatnya beban layanan kesehatan secara keseluruhan.
Meskipun telah banyak kemajuan dalam hal skrining, diagnosis, dan pengobatan, 75 persen penderita diabetes masih belum mendapatkan skrining yang dibutuhkan untuk gangguan penglihatan akibat diabetes. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan setidaknya 80 persen penderita diabetes di semua negara telah dilakukan skrining mata secara teratur.
Sementara itu, beban biaya kesehatan akibat penyakit ini diperkirakan mencapai Rp138 triliun di 2025 jika tidak diupayakan perbaikan penanganan. Pembentukan peta jalan Kesehatan Penglihatan 2025-2030 dari Kementerian Kesehatan menjadi panduan terbaru bagi penanganan masalah kesehatan mata di Indonesia, termasuk retinopati diabetik.
"Di dalam Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan Indonesia 2025 – 2030, ditargetkan pada tahun 2030 tidak hanya 80 persen penderita diabetes terskrining. Namun juga setidaknya 60 persen individu diabetes dengan gangguan mata telah mendapatkan tatalaksana yang sesuai," jelasnya.
Penyelesaian permasalahan RD di Indonesia memerlukan pendekatan berbagai dimensi dengan berbagai area kepakaran. Sejalan dengan hal tersebut, di dalam Peta Jalan ini telah di formulasikan target capaian untuk RD di Indonesia serta beberapa strategi, intervensi dan rencana operasional yang mencakup berbagai pilar sistem kesehatan.
“Kolaborasi pentahelix akan sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan kesehatan mata pada diabetes untuk dapat menggerakkan semua dimensi. Oleh karena itu, suatu bentuk konsorsium yang mempertemukan berbagai elemen mulai dari para ahli, pemangku kebijakan pusat dan daerah, peneliti, pelaksana sektor kesehatan publik dan swasta, serta masyarakat, memiliki peran sangat penting dalam mengoptimalkan kesehatan mata pada diabetes di Indonesia," ujarnya.
Konsorsium kesehatan mata diabetes ini merupakan suatu inisiatif dan juga bentuk komitmen untuk mengintegrasikan kegiatan promotif, preventif, skrining, deteksi dini, dan tatalaksana penyakit mata diabetes ke dalam strategi kesehatan nasional yang ditujukan untuk menurunkan beban gangguan penglihatan akibat diabetes yang terus meningkat di Indonesia.
"Dengan semangat gotong royong, kita perlu bekerja sama untuk menjaga kesehatan penglihatan dan meningkatkan kualitas hidup jutaan penderita diabetes di Indonesia," tandasnya.
Kondisi ini dapat diderita oleh siapa pun yang mengidap diabetes tipe 1 atau 2. Terutama mereka yang gula darahnya tidak terkontrol dan telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang lama.
"Pada awalnya, RD sering kali hanya menunjukkan gejala ringan, atau bahkan tidak menimbulkan gejala sama sekali. Namun apabila tidak ditangani, RD dapat menyebabkan kebutaan," kata Guru Besar dan Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K), M.Epi, PhD saat Peluncuran Peta Jalan Kesehatan Penglihatan 2025-2030 Hari Penglihatan Sedunia 2024 secara daring pada Kamis, 10 Oktober 2024.
"Oleh karena itu, penderita diabetes selalu disarankan untuk melakukan pemeriksaan mata rutin, setidaknya satu kali dalam setahun meskipun tidak merasakan keluhan apa pun pada mata," sambungnya.
Di Indonesia, RD menjadi sebuah permasalahan kesehatan masyarakat yang sangat penting. Ini karena berdampak tidak hanya pada kualitas manajemen diabetes namun juga kualitas hidup, produktivitas kerja, dan meningkatnya beban layanan kesehatan secara keseluruhan.
Meskipun telah banyak kemajuan dalam hal skrining, diagnosis, dan pengobatan, 75 persen penderita diabetes masih belum mendapatkan skrining yang dibutuhkan untuk gangguan penglihatan akibat diabetes. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan setidaknya 80 persen penderita diabetes di semua negara telah dilakukan skrining mata secara teratur.
Sementara itu, beban biaya kesehatan akibat penyakit ini diperkirakan mencapai Rp138 triliun di 2025 jika tidak diupayakan perbaikan penanganan. Pembentukan peta jalan Kesehatan Penglihatan 2025-2030 dari Kementerian Kesehatan menjadi panduan terbaru bagi penanganan masalah kesehatan mata di Indonesia, termasuk retinopati diabetik.
"Di dalam Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan Indonesia 2025 – 2030, ditargetkan pada tahun 2030 tidak hanya 80 persen penderita diabetes terskrining. Namun juga setidaknya 60 persen individu diabetes dengan gangguan mata telah mendapatkan tatalaksana yang sesuai," jelasnya.
Penyelesaian permasalahan RD di Indonesia memerlukan pendekatan berbagai dimensi dengan berbagai area kepakaran. Sejalan dengan hal tersebut, di dalam Peta Jalan ini telah di formulasikan target capaian untuk RD di Indonesia serta beberapa strategi, intervensi dan rencana operasional yang mencakup berbagai pilar sistem kesehatan.
“Kolaborasi pentahelix akan sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan kesehatan mata pada diabetes untuk dapat menggerakkan semua dimensi. Oleh karena itu, suatu bentuk konsorsium yang mempertemukan berbagai elemen mulai dari para ahli, pemangku kebijakan pusat dan daerah, peneliti, pelaksana sektor kesehatan publik dan swasta, serta masyarakat, memiliki peran sangat penting dalam mengoptimalkan kesehatan mata pada diabetes di Indonesia," ujarnya.
Konsorsium kesehatan mata diabetes ini merupakan suatu inisiatif dan juga bentuk komitmen untuk mengintegrasikan kegiatan promotif, preventif, skrining, deteksi dini, dan tatalaksana penyakit mata diabetes ke dalam strategi kesehatan nasional yang ditujukan untuk menurunkan beban gangguan penglihatan akibat diabetes yang terus meningkat di Indonesia.
"Dengan semangat gotong royong, kita perlu bekerja sama untuk menjaga kesehatan penglihatan dan meningkatkan kualitas hidup jutaan penderita diabetes di Indonesia," tandasnya.
(dra)