Pengaruh COVID-19 pada Psikologi dan Kesehatan Jiwa di Masyarakat

Rabu, 14 Oktober 2020 - 16:06 WIB
loading...
Pengaruh COVID-19 pada...
Selama pandemi, kesehatan jiwa pasien COVID-19 dan masyarakat menjadi perhatian para ahli psikologi serta kesehatan jiwa. Foto Ilustrasi/Power to Persuade
A A A
JAKARTA - Selama masa pandemi, kesehatan jiwa pasien COVID-19 dan masyarakat menjadi perhatian Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).

Dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020, IPK Indonesia dan PDSKJI merilis hasil temuan lapangan dan riset, sekaligus mengantisipasi penanganan potensi masalah psikologis akibat beragam tantangan ke depan.

Dalam kaitan kolaborasi untuk mengukur kondisi kesehatan jiwa masyarakat selama pandemi COVID-19, PDSKJI dan IPK Indonesia mengadakan penelitian lalu mendapatkan temuan dalam melakukan layanan pada masyarakat tentang gambaran masalah psikologis masyarakat yang mengakses swaperiksa web PDKSJI dan gambaran masalah psikologis pada masyarakat yang mengakses layanan psikologi klinis selama pandemi COVID-19.

( )

"Sejak ditemukan kasus COVID-19 pertama kali, PDSKJI segera meluncurkan swaperiksa web guna mencegah kepanikan massal dalam suasana batin yang mencekam, sekaligus untuk membantu masyarakat menangani perasaan tidak nyaman,” ujar Ketua Umum PDSKJI DR. Dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ, MARS dalam jumpa pers, Rabu (14/10).

Dr. Diah mengatakan, selama Oktober 2020, jumlah pengisian swaperiksa masyarakat di web PDSKJI berjumlah 5.661 buah, berasal dari 31 provinsi dengan temuan 32% mengalami masalah psikologis dan 68% tidak ada masalah psikologis.

"Dari 2606 swaperiksa, sebanyak 67,4% yang mengisi swaperiksa mengalami gejala cemas. Gejala Kecemasan terbanyak ditemukan pada kelompok usia kurang 30 tahun dengan uraian sebanyak 75,9% terjadi pada kategori usia kurang 20 tahun, 71,5% pada usia 20-29 tahun, 58,8% pada usia 30-39 tahun, 48,7% pada usia 40-49 tahun, 42% usia 50-59 tahun, dan 47,1% usia lebih 60 tahun," beber Dr. Diah.

Dari 2.294 swaperiksa, sebanyak 67,3% yang mengisi swaperiksa mengalami gejala depresi, di mana 48% dari responden berpikir lebih baik mati atau ingin melukai diri dengan cara apapun. Pikiran kematian terbanyak pada rentang usia 18-29 tahun. Temuan lain yakni sebanyak 761 swaperiksa, terdapat 74,2% yang mengisi swaperiksa mengalami gejala trauma psikologis.

Adapun gejala trauma psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia kurang 30 tahun. Keluhan tersering berupa perasaan waspada terus-menerus dan merasa sendirian atau terisolasi dengan jumlah 90,6% terjadi pada kategori usia kurang 20 tahun, 73,4% pada usia 20-29 tahun, 76,5% pada usia 30-39 tahun, 55% pada usia 40-49 tahun, dan 38,9% pada usia lebih 50 tahun.

"Dengan 110 swaperiksa, 68% yang mengisi swaperiksa bunuh diri memiliki pemikiran tentang bunuh diri dan 5% di antaranya memiliki rencana matang dan telah mengambil tindakan dari hasil swaperiksa yang mengatakan memiliki pemikiran bunuh diri. Sementara 66% belum pernah mendapatkan pengobatan," jelas Dr. Diah.

( )

Untuk menindaklanjuti tingginya presentase swaperiksa yang mengalami gangguan, PDSKJI bertekad untuk membuka jangkauan layanan yang lebih luas dengan mendorong para profesional kesehatan jiwa untuk bergandeng tangan bersama dengan tujuan penemuan dan penalataksaan lebih dini terhadap orang dengan masalah psikologis.

"Beberapa program strategis PDSKJI dalam penanggulangan kesehatan jiwa meliputi edukasi tenaga profesional kesehatan jiwa, edukasi masyarakat untuk memeriksakan diri, pendampingan jarak jauh, serta akses pelayanan yang mudah dan aman," sebutnya.
(tsa)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1380 seconds (0.1#10.140)