Jaga Ketahanan Keluarga dengan Kelola Emosi

Sabtu, 24 Oktober 2020 - 06:35 WIB
loading...
Jaga Ketahanan Keluarga dengan Kelola Emosi
Di masa pandemi corona (Covid-19), ketahanan keluarga banyak mengalami tantangan dan bahkan menghadapi ujian berat. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Di masa pandemi corona (Covid-19) , ketahanan keluarga banyak mengalami tantangan dan bahkan menghadapi ujian berat. Komunikasi dan manajemen stres yang baik menjadi kunci dalam memecahkan berbagai masalah seperti mengurus anak 24 jam nonstop.

Psikolog Arijani Lasmawati menerangkan Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu semester ini diakui telah membuat lelah secara fisik dan mental seluruh masyarakat. Pikiran masyarakat terbagi antara bertahan hidup dengan melakukan berbagai aktivitas dan ancaman terpapar virus. Kekhawatiran itu beralasan, sebab Covid-19 diakui bisa mengakibatkan dampak buruk, termasuk kematian. (Baca: Inilah Dosa yang Lebih Besar daripada Zina)

Tak ayal, Covid-19 telah memaksa banyak orang untuk beraktivitas di dalam rumah. Ini yang membuat sebagian masyarakat mengalami tekanan psikis mudah terguncang emosinya. Para orang tua yang biasa bekerja dan tidak mengurus anak selama 24 jam kini harus berinteraksi secara intensif sepanjang hari, bahkan berbulan-bulan. Peran mereka pun bertambah, yakni menjadi guru, karena anak-anak belajar dari rumah.

Imbasnya fenomena orang tua marah kepada anak-anak karena perubahan pembelajaran menjadi school from home (SFH) hingga konflik suami-istri karena tekanan ekonomi dan masalah kelesuan usaha menjadi hal yang lumrah muncul.

Banyaknya kegiatan yang dibatasi dan rontoknya perekonomian cukup menekan masyarakat. “Maka masyarakat membutuhkan proses adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan situasi terbaru,” ujar Arijani dalam diskusi online dengan tema “Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi” kemarin.

Namun, menurut Arijani, adaptasi yang dipaksakan dan dalam waktu cepat ini tidaklah mudah. Masalah psikis dan ekonomi inilah yang diduga menyebabkan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, grafik KDRT mengalami penurunan hingga Juni 2020. Bahkan kasusnya tinggi pada Desember 2019 atau sebelum pandemi korona terjadi. “Ini tidak bisa dipersepsikan pandemi menurunkan KDRT. Disinyalir cukup banyak (KDRT), tetapi ada keterbatasan layanan seperti konseling sehingga datanya tidak terdeteksi,” tuturnya. (Baca juga: Daftar Aplikasi dan Situs untuk Bantuan Kuota Data Ditambah)

Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dan seksual juga dilatarbelakangi pandemi. Maka dalam situasi Covid-19 diperlukan ketahanan keluarga yang kuat untuk mengarungi badai yang belum diketahui kapan berakhirnya ini.

Menurut Undang-Undang (UU) No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, ketahanan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan. Selain itu punya kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.

Ada dua kelompok besar yang bertanggung jawab dalam ketahanan keluarga, yakni kelompok internal dan eksternal. Kelompok internal terbagi dua, yakni aktif dan pasif. Kelompok aktif ini merupakan orang dewasa sehingga bisa menjaga orang tua dan anak. Adapun kelompok pasif adalah yang tidak produktif seperti bayi, anak-anak, lansia. Mereka itu memiliki keterbatasan dan kerentanan. Sementara itu kelompok eksternal adalah masyarakat dan pemerintah.

Tidak Ideal

Pembicara lain Niken Prativi mengatakan pandemi ini telah membuat semua orang dalam kondisi tidak ideal. Dia menekankan pentingnya mengontrol pikiran untuk menghadapi berbagai masalah yang muncul karena wabah global ini. Pandemi ini diakui telah mengakibatkan orang-orang panik, cemas, marah, bingung, dan frustrasi. (Baca juga: Bioskop Mulai Dibuka, Ini 10 Tips Aman saat ke Bioskop)

Dia menceritakan, pengalamannya pada masa awal pandemi yang tetap bekerja di kantor. Niken justru merasa nyaman karena jalanan Jakarta lengang. Namun begitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kendur, ibu satu anak itu merasa khawatir bepergian ke luar rumah. Niken mengklaim beruntung karena ring I keluarganya memberikan dukungan untuk berbagai kegiatan. Bahkan dirinya mendapatkan pengetahuan dan masukan-masukan dari sang kakak yang seorang psikolog.

Lantas bagaimana mengaplikasikannya di kantor yang banyak sekali dinamika? Saat ada teman kantor yang khawatir karena efek finansial, dia meminta agar bisa mengontrol diri sendiri. “Ketika situasi tidak nyaman banyak sekali noise, opini dan gangguan. Cara terbaik mendengarkan diri sendiri. Caranya macam-macam, ada yang melalui doa, meditasi, dan curhat,” tutur editor The Jakarta Post itu.

Dia juga menjadi satu dari banyak orang tua lain yang mendaftarkan anak ke sekolah dasar (SD) saat pandemi ini. Hal ini menjadi tantangan tersendiri lantaran untuk pertama kalinya anak langsung belajar dari rumah. Dia mengungkapkan anaknya sempat menjalani perkenalan dengan teman-temannya di sekolah dengan protokol kesehatan yang ketat. Lalu setelah itu dilanjutkan dengan belajar online. Niken berusaha menjelaskan secara ilmiah kepada anaknya tentang virus.

“Saya mengurangi bahasa kiasan. Saya jelaskan virus apa, kenapa bisa beredar, dan apa yang harus dilakukan seperti menggunakan masker, cuci tangan, dan menjaga jarak. Dia akhirnya memahami standar. Sampai saat ini tidak ada penolakan. Dia anak yang kooperatif,” paparnya. (Baca juga: Angka KDRT Turun karena Tak Terdeteksi Selama Pandemi)

Wakil Redaktur Pelaksana KORAN SINDO Armydian Kurniawan mengatakan pengelolaan ketahanan keluarga harus dimulai dari para orang tua. Sebab anak-anak akan mencontoh perilaku dan tindakan orang tuanya. Menurutnya, anak-anak tidak boleh melihat ketidakharmonisan dan konflik orang tua.

Dia dan istrinya berbagai peran yang semuanya untuk kebutuhan anak. “Kita buat pointer, oh hari ini main catur di samping sekolah online yang bikin jenuh. Kalau mereka sudah di gawai harus diseimbangkan dengan permainan tradisional. Bisa karambol, catur, dan badminton. Kebetulan di dekat rumah ada lapangan basket kecil, kami main bersama,” ungkapnya.

PHK Bikin Gagap

Tekanan paling berat di keluarga saat pandemi adalah ketika ada anggota, entah suami atau istri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dampak PHK sangat besar. Ekonomi keluarga bisa langsung morat-marit. Hal ini diakui Pemimpin Redaksi Tabloid Saji dan Sajian Sedap Intan Yusans. Dia menceritakan hampir semua temannya yang terkena PHK mengalami kegagapan untuk sementara waktu. Rata-rata mereka kebingungan karena menganggap tidak memiliki kemampuan lain selain yang dikerjakan selama ini. (Lihat Videonya: Diterjang Angin Puting Beliung, 109 Rumah rusak di Bekasi Utara)

Biasanya teman-teman yang terkena PHK memulai membuka usaha kuliner dan menjahit. Misalnya untuk usaha menjahit, agar bisa survive seseorang yang terkena PHK dituntut jeli melihat peluang. Menjahit ternyata menjadi peluang besar karena saat ini kebutuhan masyarakat akan masker sangat tinggi. “Ada teman tidak memiliki keahlian menjahit. Namun dia lantas membeli mesin dengan harga terjangkau. Dia mencari tahu cara membuat masker secara online dan belajar autodidak,” terangnya.

Arijani mengatakan saat mengalami situasi pandemi dengan segala turunan masalahnya biasanya seseorang akan panik atau masuk fear zone. (FW Bahtiar)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1190 seconds (0.1#10.140)