Awas, Depresi karena Covid-19 Bisa Picu Asam Lambung
loading...
A
A
A
Pandemi Covid-19 menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang hingga bisa memicu stres. Kalau sudah begini, asam lambung yang diderita bisa kambuh. Bagaimana mengatasinya?
Ketakutan akan terkena virus SARS-COV-2, kondisi yang tidak menentu, ditambah lagi dengan resesi, berpeluang menyebabkan stres bagi banyak orang. Hati-hati, sebab stres dapat memperburuk kondisi fisik. (Baca: Inilah Dosa yang Lebih Besar daripada Zina)
Pada penderita gangguan kecemasan, kondisi ini bisa menimbulkan peluang kekambuhan dan memperparah gejala asam lambung. GERD (gastroesophageal reflux disease) atau penyakit asam lambung disebabkan melemahnya katup atau sfingter yang terletak di kerongkongan bagian bawah.
Dalam keadaan normal, katup ini akan terbuka sehingga makanan dan minuman bisa masuk ke lambung dan dicerna. Setelahnya, katup ini akan kembali tertutup supaya isi lambung tidak naik ke kerongkongan. Akan tetapi, pada penderita GERD, katup ini tidak dapat tertutup dengan baik. Alhasil isi lambung yang sudah diisi dengan makanan berikut asam lambung naik ke kerongkongan (esofagus).
Kalau kondisi ini terus terjadi, maka lapisan esofagus akan iritasi sampai menimbulkan peradangan. Gejala GERD di antaranya mulut terasa asam, kesulitan menelan, mual dan muntah, tenggorokan sakit, gangguan tidur, dan bau mulut. Kerusakan gigi juga bisa terjadi lantaran sering terpapar asam lambung.
GERD tidak sama dengan maag. Jika maag terasa nyeri di ulu hati, sedangkan GERD menyebabkan rasa panas di dada. Meski begitu, seorang pasien bisa saja memiliki keluhan maag dan GERD sekaligus. GERD adalah penyakit menahun dan sudah berulang. Ketika GERD kambuh, sebaiknya penderita tidak cemas dan panik. Cemas malah akan menambah produksi asam lambung meningkat. (Baca juga: 5 Cara Menjaga Kesehatan Tulang)
"Segera konsumsi antasida (antacid) untuk menetralkan kadar asam di dalam lambung," saran Prof Dr dr H Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB FINASIM FACP. Asam lambung yang naik juga bisa membuat sesak napas atau terasa tercekik. Tapi tentunya berbeda dengan gejala Covid-19 yang diiringi dengan demam tinggi dan sesak napas.
Di samping itu, GERD juga terjadi berulang. Penyakit ini erat kaitannya dengan gaya hidup. Selain stres, kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung lemak seperti cokelat dan keju yang mengakibatkan pengosongan lambung menjadi terganggu. Termasuk kebiasaan makan besar sesaat sebelum tidur pada malam hari dan merokok.
Karenanya, spesialis penyakit dalam konsultan Hepatologi Gastro Entero ini, menyarankan untuk mengendalikan stres, mendekatkan diri pada agama, menghindari makanan cokelat, keju, berlemak, asam, pedas, dan memberi jarak dua jam sehabis makan guna mencegah kambuhnya GERD. Diagnosis penyakit ini bisa dilakukan lewat aplikasi GERDQ. (Baca juga: Mobilnya Dipasang Bom, Ulama Tops Suriah Meninggal)
Aplikasi ini berisikan kuesioner, yang dilengkapi oleh pasien dan dalam pengawasan dokter untuk identifikasi dan manajemen pasien dengan GERD. Kuesioner terdiri atas empat pertanyaan mengenai gejala, dan dua pertanyaan pada dampak yang dialami pasien. Bagi yang mengalami keluhan berat badan turun, BAB berdarah, anemia, harus dipastikan apakah itu GERD dengan endoskopi.
"Harus diteropong, ada luka atau tidak, kalau hasilnya normal, maka dilanjutkan monitoring pH," imbuh Prof Ari. GERD harus diobati, jangan dibiarkan. Mengingat kerongkongan yang terus terpapar asam lambung bisa akibatkan luka dan terjadi perubahan struktur. Dalam jangka panjang dapat terjadi kanker, apalagi diperparah dengan kebiasaan merokok. Obesitas dan diabetes juga masuk dalam faktor risiko GERD. (Lihat videonya: Diterjang Angin Puting Beliung, 109 Rumah Rusak Parah di Bekasi Utara)
Maka itu, modifikasi gaya hidup adalah kunci pengobatan penyakit pencernaan ini. Pasien juga harus konsumsi obat untuk menekan produksi asam lambung. Obat di sini berguna untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi. Dengan modifikasi gaya hidup dan rutin minum obat, pasien GERD pun dapat sembuh. Waspada terhadap penyebaran Covid-19 sangat disarankan. Namun, tidak ada gunanya terlalu khawatir berlebihan yang akhirnya memicu stres dan membuat kondisi tubuh semakin buruk. (Sri Noviarni)
Ketakutan akan terkena virus SARS-COV-2, kondisi yang tidak menentu, ditambah lagi dengan resesi, berpeluang menyebabkan stres bagi banyak orang. Hati-hati, sebab stres dapat memperburuk kondisi fisik. (Baca: Inilah Dosa yang Lebih Besar daripada Zina)
Pada penderita gangguan kecemasan, kondisi ini bisa menimbulkan peluang kekambuhan dan memperparah gejala asam lambung. GERD (gastroesophageal reflux disease) atau penyakit asam lambung disebabkan melemahnya katup atau sfingter yang terletak di kerongkongan bagian bawah.
Dalam keadaan normal, katup ini akan terbuka sehingga makanan dan minuman bisa masuk ke lambung dan dicerna. Setelahnya, katup ini akan kembali tertutup supaya isi lambung tidak naik ke kerongkongan. Akan tetapi, pada penderita GERD, katup ini tidak dapat tertutup dengan baik. Alhasil isi lambung yang sudah diisi dengan makanan berikut asam lambung naik ke kerongkongan (esofagus).
Kalau kondisi ini terus terjadi, maka lapisan esofagus akan iritasi sampai menimbulkan peradangan. Gejala GERD di antaranya mulut terasa asam, kesulitan menelan, mual dan muntah, tenggorokan sakit, gangguan tidur, dan bau mulut. Kerusakan gigi juga bisa terjadi lantaran sering terpapar asam lambung.
GERD tidak sama dengan maag. Jika maag terasa nyeri di ulu hati, sedangkan GERD menyebabkan rasa panas di dada. Meski begitu, seorang pasien bisa saja memiliki keluhan maag dan GERD sekaligus. GERD adalah penyakit menahun dan sudah berulang. Ketika GERD kambuh, sebaiknya penderita tidak cemas dan panik. Cemas malah akan menambah produksi asam lambung meningkat. (Baca juga: 5 Cara Menjaga Kesehatan Tulang)
"Segera konsumsi antasida (antacid) untuk menetralkan kadar asam di dalam lambung," saran Prof Dr dr H Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB FINASIM FACP. Asam lambung yang naik juga bisa membuat sesak napas atau terasa tercekik. Tapi tentunya berbeda dengan gejala Covid-19 yang diiringi dengan demam tinggi dan sesak napas.
Di samping itu, GERD juga terjadi berulang. Penyakit ini erat kaitannya dengan gaya hidup. Selain stres, kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung lemak seperti cokelat dan keju yang mengakibatkan pengosongan lambung menjadi terganggu. Termasuk kebiasaan makan besar sesaat sebelum tidur pada malam hari dan merokok.
Karenanya, spesialis penyakit dalam konsultan Hepatologi Gastro Entero ini, menyarankan untuk mengendalikan stres, mendekatkan diri pada agama, menghindari makanan cokelat, keju, berlemak, asam, pedas, dan memberi jarak dua jam sehabis makan guna mencegah kambuhnya GERD. Diagnosis penyakit ini bisa dilakukan lewat aplikasi GERDQ. (Baca juga: Mobilnya Dipasang Bom, Ulama Tops Suriah Meninggal)
Aplikasi ini berisikan kuesioner, yang dilengkapi oleh pasien dan dalam pengawasan dokter untuk identifikasi dan manajemen pasien dengan GERD. Kuesioner terdiri atas empat pertanyaan mengenai gejala, dan dua pertanyaan pada dampak yang dialami pasien. Bagi yang mengalami keluhan berat badan turun, BAB berdarah, anemia, harus dipastikan apakah itu GERD dengan endoskopi.
"Harus diteropong, ada luka atau tidak, kalau hasilnya normal, maka dilanjutkan monitoring pH," imbuh Prof Ari. GERD harus diobati, jangan dibiarkan. Mengingat kerongkongan yang terus terpapar asam lambung bisa akibatkan luka dan terjadi perubahan struktur. Dalam jangka panjang dapat terjadi kanker, apalagi diperparah dengan kebiasaan merokok. Obesitas dan diabetes juga masuk dalam faktor risiko GERD. (Lihat videonya: Diterjang Angin Puting Beliung, 109 Rumah Rusak Parah di Bekasi Utara)
Maka itu, modifikasi gaya hidup adalah kunci pengobatan penyakit pencernaan ini. Pasien juga harus konsumsi obat untuk menekan produksi asam lambung. Obat di sini berguna untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi. Dengan modifikasi gaya hidup dan rutin minum obat, pasien GERD pun dapat sembuh. Waspada terhadap penyebaran Covid-19 sangat disarankan. Namun, tidak ada gunanya terlalu khawatir berlebihan yang akhirnya memicu stres dan membuat kondisi tubuh semakin buruk. (Sri Noviarni)
(ysw)