Deindividuasi pada Anak Bisa Dihilangkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sikap deindividuasi tidak hanya sebatas di lingkungan orang dewasa, kecenderungan bersikap mementingkan keinginan sendiri dan kelompoknya pun kerap terjadi di dunia anak. Karena itu, menumbuhkan sikap kepedulian sejak dini menjadi penting untuk membentengi anak dari sikap ini.
Kasus deindividuasi pada anak pernah dialami oleh mahasiswa berkebutuhan khusus di salah satu universitas kawasan Depok, Jawa Barat. Dalam rekaman video yang sempat viral di media sosial diperlihatkan bahwa seorang mahasiswa menarik tas mahasiswa berkebutuhan khusus, sementara mahasiswa lainnya menonton sambil tertawa. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Melihat peristiwa deindividuasi di atas, membuktikan bahwa fenomena ini bisa terjadi di segala usia dan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) hingga mahasiswa. Mereka bisa melakukannya demi mendapat keuntungan semata dan seolah tidak peduli dampak yang dirasakan korban. Lantas, apa yang menyebabkan sikap ini dapat terjadi di lingkungan anak?
Pada dasarnya, sikap individuasi terjadi karena kurangnya rasa empati. Bila sedari dini anak sudah ditumbuhkan rasa mengenal lingkungan dan empati dengan baik, maka diharapkan itu bisa mudah diajak bekerja sama dan bisa menjadi teman yang lebih baik untuk lingkungannya.
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo menjelaskan, sikap deindividuasi pada anak muncul karena saat ini kurangnya rasa empati dan kecerdasan emosional pada anak. Terlebih lagi dengan adanya media sosial yang sering menampilkan tindak ketidaksopanan di masyarakat. Mereka menganggap dengan menjadikan orang lain sebagai objek yang dianggapnya menarik bisa memberi keuntungan seperti ketenaran untuk diri dan kelompoknya.
"Jadi, untuk mencegah sikap deindividuasi terjadi di lingkungan sekolah harus ada pendidikan saling menghargai. Seperti contoh kecilnya membiasakan anak mengucapkan terimakasih saat dibantu, maaf saat merasa bersalah, dan tolong saat meminta bantuan," kata Vera. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdaftar di Dapodik)
Faktor kurangnya pemahaman akan rasa menghormati dapat memicu munculnya sikap ini. Vera pun menilai, usia anak-anak yang masih belum mengerti mengenali emosi dan hanya melihat tindakan tersebut untuk kepentingan pribadinya membuat mereka kurang berempati terhadap orang lain. Sehingga, saat menemukan objek yang dianggap menarik, mereka langsung tergerak untuk mempraktikannya.
Faktor tontonan juga turut memengaruhi membentuk karakter anak. Vera menambahkan, terlebih lagi gawai dan dunia anak sudah menjadi hal tidak asing lagi. Tayangan memperlihatkan kesedihan dan penderitaan orang seolah menjadi wajar dan bisa membawa dirinya lebih terkenal.
"Di sini anak menangkap bahwa tayangan tersebut apabila disebarkan di media sosial bisa membuat dirinya dikenal orang dan mendapatkan banyak pengikut. Di sinilah peran orang tua untuk mendampingi anak agar mereka tidak menerima informasi yang salah," tambahnya. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)
Psikolog anak, Ferlita Sari mengingatkan, orang tua juga bisa jadi sumber terbentuknya sikap deindividuasi ini. ?Misalkan, saat orang tua dan anak melihat sesuatu hal yang seharusnya dibantu, tetapi orang tua bersikap cuek atau bahkan ikut menonton dan menertawakannya, sehingga dalam pemikiran anak terbentuk bahwa hal tersebut adalah objek menarik atau lucu.
Jika orang tua terus menumbuhkan rasa tidak empati terhadap lingkungan sekitar, maka anak dikhawatirkan akan menerima dan tidak bisa memilih sikap apa yang harus diambil ketika melihat hal serupa di luar rumah. Orang tua bisa mengajarkan kepada anak sikap apa yang harus dilakukan ketika melihat hal tidak wajar terjadi di sekitarnya.
"Misalnya, saat sedang bermain, kakak melihat adiknya terpeleset lalu si kakak menertawakan. Di sinilah peran orang tua hadir untuk membimbing dan memberitahu bahwa hal tersebut bukan untuk dijadikan tontonan, tetapi justru harus dibantu," jelas Ferlita. (Baca juga: Indonesia Ajak ASEAN Kerja Sama Tanggulangi Pandemi Covid-19)
Cara lainnya, ibu bisa mengatakan kesalahan anak sembari memberikan penjelasan bahwa sikap yang ditunjukannya dapat merugikan orang lain. Dalam konteks ini, Ferlita merasa tidak banyak orang tua di Indonesia yang dapat bersikap seperti itu. Orang tua sebaliknya hanya ?memberikan penjelasan terhadap apa yang dilihat anak, tetapi tidak mencontohkan langsung seperti menolong orang yang terkena kesulitan tersebut.
"Kalau ini diajarkan dari kecil, sikap deindividuasi akan sangat kecil. Bila anak bertemu dengan orang yang tertimpa kesulitan, dia seharusnya akan membantu bukan menonton atau menjadikannya objek konten," tambahnya.
Sikap deindividuasi pada anak bisa dihilangkan dengan menanamkan rasa empati atau tanggap terhadap lingkungan yang sudah bisa diajarkan saat anak bayi. Saat anak berusia 18 bulan sudah bisa menguasai komponen kunci dari memahami perasaan orang lain. Pada usia 4 tahun, anak berubah dari membuat gerakan fisik yang menandakan mereka peduli, dan mulai berpikir tentang perasaan orang lain yang terhubung dengan perasaan mereka sendiri. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan tahun Lolos dari Penculikan)
Kebanyakan proses tersebut terjadi secara alami, tetapi orang tua juga bisa mengusahakan agar proses itu terjadi secara sadar dan mendorong anak memiliki pengalaman empati yang lebih banyak. "Dasar dari menghilangkan rasa deindividuasi adalah pengenalan emosi. Contoh sederhana bayi sudah bisa merasakan emosi, yakni biasanya ketika ada bayi menangis di sekitarnya ia akan ikut menangis," kata Ferlita.
Seiring dengan pertumbuhannya, sekitar dua tahun di mana sang anak sudah mulai berpikir dan nalarnya bagus mulai memperkenalkannya dengan tindakan secara langsung. "Penting juga bagi orang tua untuk mengenalkan anak dengan emosinya sendiri, dan memahami emosi orang lain. Kalau sikap ini bisa ditanamkan sedari kecil bukan tidak mungkin sikap yang hanya menguntungkan diri sendiri bisa dicegah sejak dini," tuturnya. (Aprilia S Andyna)
Kasus deindividuasi pada anak pernah dialami oleh mahasiswa berkebutuhan khusus di salah satu universitas kawasan Depok, Jawa Barat. Dalam rekaman video yang sempat viral di media sosial diperlihatkan bahwa seorang mahasiswa menarik tas mahasiswa berkebutuhan khusus, sementara mahasiswa lainnya menonton sambil tertawa. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Melihat peristiwa deindividuasi di atas, membuktikan bahwa fenomena ini bisa terjadi di segala usia dan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) hingga mahasiswa. Mereka bisa melakukannya demi mendapat keuntungan semata dan seolah tidak peduli dampak yang dirasakan korban. Lantas, apa yang menyebabkan sikap ini dapat terjadi di lingkungan anak?
Pada dasarnya, sikap individuasi terjadi karena kurangnya rasa empati. Bila sedari dini anak sudah ditumbuhkan rasa mengenal lingkungan dan empati dengan baik, maka diharapkan itu bisa mudah diajak bekerja sama dan bisa menjadi teman yang lebih baik untuk lingkungannya.
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo menjelaskan, sikap deindividuasi pada anak muncul karena saat ini kurangnya rasa empati dan kecerdasan emosional pada anak. Terlebih lagi dengan adanya media sosial yang sering menampilkan tindak ketidaksopanan di masyarakat. Mereka menganggap dengan menjadikan orang lain sebagai objek yang dianggapnya menarik bisa memberi keuntungan seperti ketenaran untuk diri dan kelompoknya.
"Jadi, untuk mencegah sikap deindividuasi terjadi di lingkungan sekolah harus ada pendidikan saling menghargai. Seperti contoh kecilnya membiasakan anak mengucapkan terimakasih saat dibantu, maaf saat merasa bersalah, dan tolong saat meminta bantuan," kata Vera. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdaftar di Dapodik)
Faktor kurangnya pemahaman akan rasa menghormati dapat memicu munculnya sikap ini. Vera pun menilai, usia anak-anak yang masih belum mengerti mengenali emosi dan hanya melihat tindakan tersebut untuk kepentingan pribadinya membuat mereka kurang berempati terhadap orang lain. Sehingga, saat menemukan objek yang dianggap menarik, mereka langsung tergerak untuk mempraktikannya.
Faktor tontonan juga turut memengaruhi membentuk karakter anak. Vera menambahkan, terlebih lagi gawai dan dunia anak sudah menjadi hal tidak asing lagi. Tayangan memperlihatkan kesedihan dan penderitaan orang seolah menjadi wajar dan bisa membawa dirinya lebih terkenal.
"Di sini anak menangkap bahwa tayangan tersebut apabila disebarkan di media sosial bisa membuat dirinya dikenal orang dan mendapatkan banyak pengikut. Di sinilah peran orang tua untuk mendampingi anak agar mereka tidak menerima informasi yang salah," tambahnya. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)
Psikolog anak, Ferlita Sari mengingatkan, orang tua juga bisa jadi sumber terbentuknya sikap deindividuasi ini. ?Misalkan, saat orang tua dan anak melihat sesuatu hal yang seharusnya dibantu, tetapi orang tua bersikap cuek atau bahkan ikut menonton dan menertawakannya, sehingga dalam pemikiran anak terbentuk bahwa hal tersebut adalah objek menarik atau lucu.
Jika orang tua terus menumbuhkan rasa tidak empati terhadap lingkungan sekitar, maka anak dikhawatirkan akan menerima dan tidak bisa memilih sikap apa yang harus diambil ketika melihat hal serupa di luar rumah. Orang tua bisa mengajarkan kepada anak sikap apa yang harus dilakukan ketika melihat hal tidak wajar terjadi di sekitarnya.
"Misalnya, saat sedang bermain, kakak melihat adiknya terpeleset lalu si kakak menertawakan. Di sinilah peran orang tua hadir untuk membimbing dan memberitahu bahwa hal tersebut bukan untuk dijadikan tontonan, tetapi justru harus dibantu," jelas Ferlita. (Baca juga: Indonesia Ajak ASEAN Kerja Sama Tanggulangi Pandemi Covid-19)
Cara lainnya, ibu bisa mengatakan kesalahan anak sembari memberikan penjelasan bahwa sikap yang ditunjukannya dapat merugikan orang lain. Dalam konteks ini, Ferlita merasa tidak banyak orang tua di Indonesia yang dapat bersikap seperti itu. Orang tua sebaliknya hanya ?memberikan penjelasan terhadap apa yang dilihat anak, tetapi tidak mencontohkan langsung seperti menolong orang yang terkena kesulitan tersebut.
"Kalau ini diajarkan dari kecil, sikap deindividuasi akan sangat kecil. Bila anak bertemu dengan orang yang tertimpa kesulitan, dia seharusnya akan membantu bukan menonton atau menjadikannya objek konten," tambahnya.
Sikap deindividuasi pada anak bisa dihilangkan dengan menanamkan rasa empati atau tanggap terhadap lingkungan yang sudah bisa diajarkan saat anak bayi. Saat anak berusia 18 bulan sudah bisa menguasai komponen kunci dari memahami perasaan orang lain. Pada usia 4 tahun, anak berubah dari membuat gerakan fisik yang menandakan mereka peduli, dan mulai berpikir tentang perasaan orang lain yang terhubung dengan perasaan mereka sendiri. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan tahun Lolos dari Penculikan)
Kebanyakan proses tersebut terjadi secara alami, tetapi orang tua juga bisa mengusahakan agar proses itu terjadi secara sadar dan mendorong anak memiliki pengalaman empati yang lebih banyak. "Dasar dari menghilangkan rasa deindividuasi adalah pengenalan emosi. Contoh sederhana bayi sudah bisa merasakan emosi, yakni biasanya ketika ada bayi menangis di sekitarnya ia akan ikut menangis," kata Ferlita.
Seiring dengan pertumbuhannya, sekitar dua tahun di mana sang anak sudah mulai berpikir dan nalarnya bagus mulai memperkenalkannya dengan tindakan secara langsung. "Penting juga bagi orang tua untuk mengenalkan anak dengan emosinya sendiri, dan memahami emosi orang lain. Kalau sikap ini bisa ditanamkan sedari kecil bukan tidak mungkin sikap yang hanya menguntungkan diri sendiri bisa dicegah sejak dini," tuturnya. (Aprilia S Andyna)
(ysw)