Keren! Sosok Ini 2 Tahun Hanya Hasilkan Sampah Sebanyak 3 Botol Kecil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tak mau menunggu kondisi bumi terpuruk, sosok ini beberapa tahun terakhir memilih menjalankan gaya hidup yang ramah lingkungan. Cara-caranya dalam menerapkan pola keberlanjutan sangat inspiratif.
Adalah Andhini Miranda, praktisi hidup minim sampah, yang gaya hidup ramah lingkungannya amat menginspirasi. Dalam Webinar #SustainabilityDay 2020 "Kolaborasi dan Aksi untuk Masa Depan Berkelanjutan” yang digagas Unilever Indonesia Foundation belum lama ini, ia berbagi pengalaman serta pandangan mengenai pilihannya mengadopsi pola-pola keberlanjutan.
( )
Andhini berkisah, pertama kali "tercebur" untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan adalah ketika mengandung anaknya, delapan tahun lalu. Seperti ibu hamil kebanyakan, sebelum persalinan, Andhini pun menyempatkan diri melakukan persiapan untuk memenuhi kebutuhan bayi yang baru lahir, salah satunya popok. Hanya, di tengah persiapan itu, ia justru menemukan sebuah tulisan yang menggugah rasa pedulinya.
"Tahun 2012 saat hamil, saya menemukan artikel tentang popok sekali pakai. Di situ dikatakan bahwa jenis popok ini mustahil terurai karena di dalamnya mengandung plastik untuk menahan bocor kotoran bayi. Mustahil juga didaur ulang karena di situ ada residu dari kotoran bayi tersebut," kata Andhini.
Ibu satu anak ini lantas menghitung jumlah popok yang kemungkinan dibutuhkan bayinya kelak. Dari hasil risetnya, Andhini menemukan angka rata-rata kebutuhan popok pada bayi.
"Menurut hasil riset saya, dalam sehari bayi memerlukan empat popok. Tandanya akan ada 120 sampah popok sekali pakai dalam satu bulan, dan dalam setahun ada 1.440 sampah popok yang dihasilkan oleh satu bayi dari satu rumah. Coba dikalikan dengan jumlah bayi di seluruh Indonesia. Dan itu baru satu jenis sampah," beber Andhini.
Tak mau merusak bumi dengan sampah , Andhini lantas mencari barang alternatif pengganti popok sekali pakai tadi. Hasil yang ia dapatkan adalah cloth diaper atau popok kain modern yang bisa dicuci dan dipakai berulang kali oleh bayi.
"Jadi memakai popok kain modern adalah langkah pertama keluarga saya untuk mengurangi sampah. Dari situ kami mulai mencari tahu, ada apa sih dengan masalah sampah dan belajar untuk mengurangi sampah secara bertahap dan konsisten," kenang wanita berambut pendek itu.
( )
Berkat konsistensinya mengurangi sampah, maka sejak 2018 keluarga Andhini sudah bisa menghilangkan fungsi tempat sampah di rumah. Sebab sampah organik yang dihasilkan keluarga ini selalu diolah menjadi pupuk. Mereka juga sebisa mungkin menghindari produk dengan kemasan yang tidak ramah lingkungan, sementara untuk produk-produk kemasan yang belum ditemukan opsi yang lebih ramah lingkungan dikumpulkan, dipilah, lalu diserahkan kepada para pelaku daur ulang. Adapun untuk residu yang tak bisa didaur ulang, Andhini simpan di dalam wadah botoh yang selama dua tahun -sejak 2018- hanya menghasilkan tiga botol kecil berisi sampah.
"Jadi sejak 2018 kami bertiga, saya, suami, dan anak, hanya menghasilkan sampah segini," ujar Andhini, seraya memperlihatkan 3 botol kecil berisi sampah tersebut.
Usaha Andhini untuk mengurangi sampah bisa dikatakan luar biasa. Pasalnya, sejauh ini mayoritas produk masih dikemas dengan kemasan sekali pakai dan tidak ramah lingkungan. Maka itu, Andhini berharap pihak produsen mau memproduksi barang mereka dengan cara ataupun kemasan yang lebih ramah lingkungan untuk mempermudah para aktivis lingkungan menemukan produk yang mengusung konsep keberlanjutan.
Sementara dari pemerintah, Andhini juga berharap ada regulasi yang lebih tepat mengenai tata kelola sampah. Termasuk keterbukaan informasi mengenai badan atau pihak-pihak mana yang bersedia menerima sampah para konsumen sehingga tak sampai mencemari lingkungan.
( )
"Jadi peran pemerintah dan produsen sangat kami tunggu, karena itu bisa memudahkan kami untuk menurunkan jumlah sampah serta mengelolanya," ujar Andhini.
Adalah Andhini Miranda, praktisi hidup minim sampah, yang gaya hidup ramah lingkungannya amat menginspirasi. Dalam Webinar #SustainabilityDay 2020 "Kolaborasi dan Aksi untuk Masa Depan Berkelanjutan” yang digagas Unilever Indonesia Foundation belum lama ini, ia berbagi pengalaman serta pandangan mengenai pilihannya mengadopsi pola-pola keberlanjutan.
( )
Andhini berkisah, pertama kali "tercebur" untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan adalah ketika mengandung anaknya, delapan tahun lalu. Seperti ibu hamil kebanyakan, sebelum persalinan, Andhini pun menyempatkan diri melakukan persiapan untuk memenuhi kebutuhan bayi yang baru lahir, salah satunya popok. Hanya, di tengah persiapan itu, ia justru menemukan sebuah tulisan yang menggugah rasa pedulinya.
"Tahun 2012 saat hamil, saya menemukan artikel tentang popok sekali pakai. Di situ dikatakan bahwa jenis popok ini mustahil terurai karena di dalamnya mengandung plastik untuk menahan bocor kotoran bayi. Mustahil juga didaur ulang karena di situ ada residu dari kotoran bayi tersebut," kata Andhini.
Ibu satu anak ini lantas menghitung jumlah popok yang kemungkinan dibutuhkan bayinya kelak. Dari hasil risetnya, Andhini menemukan angka rata-rata kebutuhan popok pada bayi.
"Menurut hasil riset saya, dalam sehari bayi memerlukan empat popok. Tandanya akan ada 120 sampah popok sekali pakai dalam satu bulan, dan dalam setahun ada 1.440 sampah popok yang dihasilkan oleh satu bayi dari satu rumah. Coba dikalikan dengan jumlah bayi di seluruh Indonesia. Dan itu baru satu jenis sampah," beber Andhini.
Tak mau merusak bumi dengan sampah , Andhini lantas mencari barang alternatif pengganti popok sekali pakai tadi. Hasil yang ia dapatkan adalah cloth diaper atau popok kain modern yang bisa dicuci dan dipakai berulang kali oleh bayi.
"Jadi memakai popok kain modern adalah langkah pertama keluarga saya untuk mengurangi sampah. Dari situ kami mulai mencari tahu, ada apa sih dengan masalah sampah dan belajar untuk mengurangi sampah secara bertahap dan konsisten," kenang wanita berambut pendek itu.
( )
Berkat konsistensinya mengurangi sampah, maka sejak 2018 keluarga Andhini sudah bisa menghilangkan fungsi tempat sampah di rumah. Sebab sampah organik yang dihasilkan keluarga ini selalu diolah menjadi pupuk. Mereka juga sebisa mungkin menghindari produk dengan kemasan yang tidak ramah lingkungan, sementara untuk produk-produk kemasan yang belum ditemukan opsi yang lebih ramah lingkungan dikumpulkan, dipilah, lalu diserahkan kepada para pelaku daur ulang. Adapun untuk residu yang tak bisa didaur ulang, Andhini simpan di dalam wadah botoh yang selama dua tahun -sejak 2018- hanya menghasilkan tiga botol kecil berisi sampah.
"Jadi sejak 2018 kami bertiga, saya, suami, dan anak, hanya menghasilkan sampah segini," ujar Andhini, seraya memperlihatkan 3 botol kecil berisi sampah tersebut.
Usaha Andhini untuk mengurangi sampah bisa dikatakan luar biasa. Pasalnya, sejauh ini mayoritas produk masih dikemas dengan kemasan sekali pakai dan tidak ramah lingkungan. Maka itu, Andhini berharap pihak produsen mau memproduksi barang mereka dengan cara ataupun kemasan yang lebih ramah lingkungan untuk mempermudah para aktivis lingkungan menemukan produk yang mengusung konsep keberlanjutan.
Sementara dari pemerintah, Andhini juga berharap ada regulasi yang lebih tepat mengenai tata kelola sampah. Termasuk keterbukaan informasi mengenai badan atau pihak-pihak mana yang bersedia menerima sampah para konsumen sehingga tak sampai mencemari lingkungan.
( )
"Jadi peran pemerintah dan produsen sangat kami tunggu, karena itu bisa memudahkan kami untuk menurunkan jumlah sampah serta mengelolanya," ujar Andhini.
(tsa)