GOR Saparua dan Sejarah Pergerakan Musik Bawah Tanah di Bandung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisah GOR Saparua Bandung yang menjadi tempat bersejarah perjalanan musik keras atau rock dan metal di Kota Kembang akan ditampilkan dalam sebuah bentuk film dokumenter. Proyek tersebut akan terangkum dalam dokumenter berjudul Gelora Magnumentary: Saparua.
Baca juga: Benarkah Vaksin Covid-19 Bisa Bikin Mandul? Begini Penjelasan dr. Tirta!
Film dokumenter Gelora Magnumentary: Saparua itu sendiri digagas oleh Cerahati, Arian13 dan Roni Pramaditia dengan menggandeng Rich Music sebagai bagian dari program Distorsi Keras.
Sutradara Gelora Magnumentary: Saparua, Alvin Yunata menyebutkan bahwa film tersebut merupakan sebuah jurnal dari gedung yang dengan sengaja dialihfungsikan sebagai sarana seni dan hiburan dari lintas generasi. GOR Saparua, kata dia, merupakan satu tempat bersejarah bagi perjalanan kancah musik independen dan underground di Bandung.
"Namun ada fenomena menarik di dekade terakhir sebelum gedung ini dinonaktifkan, yaitu lahirnya sebuah generasi yang menjunjung tinggi kolektivitas. Di mana mereka bisa mengubah gedung ini bukan lagi menjadi sekadar gedung pertunjukan seni namun lebih dari itu," ungkap Alvin Yunata, yang juga gitaris Teenage Death Star, penggiat musik, dan mantan jurnalis saat jumpa pers virtual, belum lama ini.
Alvin menambahkan, Gedung Saparua berhasil melahirkan ideologi baru di kalangan budaya pop musik keras dan metal, yang juga menciptakan sebuah pergerakan musik tersebut. "Sebuah pergerakan yang mampu membawa gedung ini sebagai salah satu kuil rock n roll dalam sejarah scene musik underground di Indonesia," terangnya.
Ketika menjalani proses persiapan sampai akhirnya proses syuting, Alvin menyebut hal yang paling sulit dan menantang dikerjakan timnya adalah arsip dokumentasi yang sulit ditemukan, khususnya pada era 1980-an dan 1990-an. "Sejujurnya mencari arsip dokumentasi ini lah pekerjaan yang paling sulitnya. Karena kelemahannya di Indonesia bicara soal arsip nyari yang 1980 sampai 1990-an. Walaupun saya sama Khemod ngalamin juga, tapi susah. Enggak tahu kenapa justru 1980-an sampai 1990-an," ucapnya.
Creative Director Cerahati, Edy Khemod menuturkan, inisiatif proyek film dokumenter tersebut awalnya ingin merekam sejarah pergerakan musik rock dan metal di Indonesia. "Proyek ini inisiatif dari pihak Cerahati, Arian13 dan Roni Pramaditia. Kami sama-sama berasal dari Bandung, dan turut merasakan pertumbuhan budaya di Bandung era 1990-an saat gerakan independen mulai membesar di Bandung," kata dia.
"Kami punya kesadaran bahwa dokumentasi, terutama musik keras dan independen itu kurang banget dulu. Penyebabnya dimulai dari keterbatasan alat, padahal yang terjadi pada saat itu sangat menarik, banyak pelajaran yang bisa diambil dan itu yang menarik buat kami," lanjutnya.
Bagi pria yang juga penabuh drum band Seringai ini, Gelora Magnumentary: Saparua sangat penting disaksikan, karena ingin menyampaikan ke khalayak, bahwa akar dari berkembangnya musik rock dan metal di Bandung berawal dari GOR Saparua. "Bahwa pergerakan musik independen saat itu memulai tidak atas dasar ekonomi tapi passion atas musiknya. Hal ini penting agar generasi ke depan tidak melulu berorientasi ada kesuksesan ekonomi," kata Edy Khemod.
Baca juga: Benarkah Vaksin Covid-19 Bisa Bikin Mandul? Begini Penjelasan dr. Tirta!
Film dokumenter Gelora Magnumentary: Saparua itu sendiri digagas oleh Cerahati, Arian13 dan Roni Pramaditia dengan menggandeng Rich Music sebagai bagian dari program Distorsi Keras.
Sutradara Gelora Magnumentary: Saparua, Alvin Yunata menyebutkan bahwa film tersebut merupakan sebuah jurnal dari gedung yang dengan sengaja dialihfungsikan sebagai sarana seni dan hiburan dari lintas generasi. GOR Saparua, kata dia, merupakan satu tempat bersejarah bagi perjalanan kancah musik independen dan underground di Bandung.
"Namun ada fenomena menarik di dekade terakhir sebelum gedung ini dinonaktifkan, yaitu lahirnya sebuah generasi yang menjunjung tinggi kolektivitas. Di mana mereka bisa mengubah gedung ini bukan lagi menjadi sekadar gedung pertunjukan seni namun lebih dari itu," ungkap Alvin Yunata, yang juga gitaris Teenage Death Star, penggiat musik, dan mantan jurnalis saat jumpa pers virtual, belum lama ini.
Alvin menambahkan, Gedung Saparua berhasil melahirkan ideologi baru di kalangan budaya pop musik keras dan metal, yang juga menciptakan sebuah pergerakan musik tersebut. "Sebuah pergerakan yang mampu membawa gedung ini sebagai salah satu kuil rock n roll dalam sejarah scene musik underground di Indonesia," terangnya.
Ketika menjalani proses persiapan sampai akhirnya proses syuting, Alvin menyebut hal yang paling sulit dan menantang dikerjakan timnya adalah arsip dokumentasi yang sulit ditemukan, khususnya pada era 1980-an dan 1990-an. "Sejujurnya mencari arsip dokumentasi ini lah pekerjaan yang paling sulitnya. Karena kelemahannya di Indonesia bicara soal arsip nyari yang 1980 sampai 1990-an. Walaupun saya sama Khemod ngalamin juga, tapi susah. Enggak tahu kenapa justru 1980-an sampai 1990-an," ucapnya.
Creative Director Cerahati, Edy Khemod menuturkan, inisiatif proyek film dokumenter tersebut awalnya ingin merekam sejarah pergerakan musik rock dan metal di Indonesia. "Proyek ini inisiatif dari pihak Cerahati, Arian13 dan Roni Pramaditia. Kami sama-sama berasal dari Bandung, dan turut merasakan pertumbuhan budaya di Bandung era 1990-an saat gerakan independen mulai membesar di Bandung," kata dia.
"Kami punya kesadaran bahwa dokumentasi, terutama musik keras dan independen itu kurang banget dulu. Penyebabnya dimulai dari keterbatasan alat, padahal yang terjadi pada saat itu sangat menarik, banyak pelajaran yang bisa diambil dan itu yang menarik buat kami," lanjutnya.
Bagi pria yang juga penabuh drum band Seringai ini, Gelora Magnumentary: Saparua sangat penting disaksikan, karena ingin menyampaikan ke khalayak, bahwa akar dari berkembangnya musik rock dan metal di Bandung berawal dari GOR Saparua. "Bahwa pergerakan musik independen saat itu memulai tidak atas dasar ekonomi tapi passion atas musiknya. Hal ini penting agar generasi ke depan tidak melulu berorientasi ada kesuksesan ekonomi," kata Edy Khemod.