Mengenal Terapi GLP-1RA untuk Pasien Diabetes yang Sulit Kontrol Kadar Glikemik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Diabetes merupakan penyakit endemik global dengan tingkat prevalensi yang terus meningkat pesat di seluruh dunia. Meski sekarang berbagai pengobatan sudah tersedia, namun masih banyak pasien diabetes tipe-2 yang menghadapi berbagai masalah seperti kesulitan mengontrol kadar glikemik, berat badan, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular serta ginjal.
Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini muncul inovasi pengobatan terbaru untuk pasien diabetes tipe-2 yang diberi nama GLP-1 RA (glucagon-like peptide-1 receptor agonist). GLP-1 RA digunakan sekali dalam seminggu untuk membantu pasien mencapai target gula darah mereka. Selain itu, obat ini juga memiliki manfaat dalam penurunan berat badan dan risiko penyakit kardiovaskular.
GLP-1 RA adalah jenis terapi berbasis inkretin untuk menangani diabetes tipe-2. Terapi ini bekerja melalui mekanisme aksi hormon yang disebut inkretin, yang berfungsi mengendalikan cara kerja pankreas. GLP-1 RA mampu menurunkan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) secara signifikan saat digunakan dalam pengobatan diabetes tipe-2.
Sekadar informasi, HbA1c merupakan indikator penting untuk mengendalikan kadar gula darah secara jangka panjang. Sebab, pengukuran HbA1c adalah yang paling akurat untuk menentukan kadar gula darah selama dua sampai tiga bulan terakhir. Pengukuran HbA1c dapat memberikan hasil yang dapat diandalkan untuk hiperglikemia kronis dan juga dapat dikorelasikan dengan risiko komplikasi diabetes jangka panjang.
Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI) Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD mengatakan, meski sudah mengikuti pedoman klinis dan melakukan kendali glikemik dengan benar, pasien sering kali tidak mampu menurunkan nilai HbA1c hingga mencapai target.
“Studi menunjukkan bahwa lebih dari 70% orang dewasa dengan diabetes tipe-2 di Indonesia gagal mencapai target HbA1c di bawah 7%. Mencapai target nilai HbA1c menjadi penting karena dapat mengurangi komplikasi mikrovaskuler, menurunkan angka penyakit kardiovaskular secara jangka panjang jika diterapkan pada pasien yang baru terdiagnosis, dan menurunkan angka kematian terkait diabetes,” terang dr. Ketut melalui siaran pers, Selasa (3/8).
Direktur Indonesian Diabetes Institute Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FINASIM, FACE menyampaikan, sekira 70% pasien diabetes di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Padahal, obesitas dapat meningkatkan risiko kematian yang diakibatkan oleh penyakit komorbid.
“Indeks massa tubuh yang tinggi dapat meningkatkan risiko kematian yang tinggi pula, yang sebagian besar diakibatkan oleh komplikasi penyakit kardiovaskular. Namun, meskipun sudah menerapkan perubahan gaya hidup, beberapa pasien masih mengalami kesulitan mengurangi berat badan mereka,” kata dr. Sidartawan.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) Dr. dr. Sally A. Nasution, Sp.PD-KKV, FINASIM, FACP menambahkan, diabetes dan kelebihan berat badan ataupun obesitas akan menjadi faktor risiko utama penyebab penyakit kardiovaskular.
“Berdasarkan data dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), tingkat kematian di Indonesia kini disebabkan oleh penyakit tidak menular dan terkait dengan diabetes. Sementara itu, studi lain menunjukkan bahwa sekitar 75% pasien diabetes tipe-2 berisiko terkena penyakit kardiovaskular,” ujar dr. Sally.
Ia menambahkan, tak hanya risiko penyakit kardiovaskular, diabetes juga dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah di ginjal, dan ketika pembuluh darah rusak, ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik. Banyak orang dengan diabetes mengalami tekanan darah tinggi, yang juga dapat merusak ginjal.
Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini muncul inovasi pengobatan terbaru untuk pasien diabetes tipe-2 yang diberi nama GLP-1 RA (glucagon-like peptide-1 receptor agonist). GLP-1 RA digunakan sekali dalam seminggu untuk membantu pasien mencapai target gula darah mereka. Selain itu, obat ini juga memiliki manfaat dalam penurunan berat badan dan risiko penyakit kardiovaskular.
GLP-1 RA adalah jenis terapi berbasis inkretin untuk menangani diabetes tipe-2. Terapi ini bekerja melalui mekanisme aksi hormon yang disebut inkretin, yang berfungsi mengendalikan cara kerja pankreas. GLP-1 RA mampu menurunkan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) secara signifikan saat digunakan dalam pengobatan diabetes tipe-2.
Sekadar informasi, HbA1c merupakan indikator penting untuk mengendalikan kadar gula darah secara jangka panjang. Sebab, pengukuran HbA1c adalah yang paling akurat untuk menentukan kadar gula darah selama dua sampai tiga bulan terakhir. Pengukuran HbA1c dapat memberikan hasil yang dapat diandalkan untuk hiperglikemia kronis dan juga dapat dikorelasikan dengan risiko komplikasi diabetes jangka panjang.
Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI) Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD mengatakan, meski sudah mengikuti pedoman klinis dan melakukan kendali glikemik dengan benar, pasien sering kali tidak mampu menurunkan nilai HbA1c hingga mencapai target.
“Studi menunjukkan bahwa lebih dari 70% orang dewasa dengan diabetes tipe-2 di Indonesia gagal mencapai target HbA1c di bawah 7%. Mencapai target nilai HbA1c menjadi penting karena dapat mengurangi komplikasi mikrovaskuler, menurunkan angka penyakit kardiovaskular secara jangka panjang jika diterapkan pada pasien yang baru terdiagnosis, dan menurunkan angka kematian terkait diabetes,” terang dr. Ketut melalui siaran pers, Selasa (3/8).
Direktur Indonesian Diabetes Institute Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FINASIM, FACE menyampaikan, sekira 70% pasien diabetes di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Padahal, obesitas dapat meningkatkan risiko kematian yang diakibatkan oleh penyakit komorbid.
“Indeks massa tubuh yang tinggi dapat meningkatkan risiko kematian yang tinggi pula, yang sebagian besar diakibatkan oleh komplikasi penyakit kardiovaskular. Namun, meskipun sudah menerapkan perubahan gaya hidup, beberapa pasien masih mengalami kesulitan mengurangi berat badan mereka,” kata dr. Sidartawan.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) Dr. dr. Sally A. Nasution, Sp.PD-KKV, FINASIM, FACP menambahkan, diabetes dan kelebihan berat badan ataupun obesitas akan menjadi faktor risiko utama penyebab penyakit kardiovaskular.
“Berdasarkan data dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), tingkat kematian di Indonesia kini disebabkan oleh penyakit tidak menular dan terkait dengan diabetes. Sementara itu, studi lain menunjukkan bahwa sekitar 75% pasien diabetes tipe-2 berisiko terkena penyakit kardiovaskular,” ujar dr. Sally.
Ia menambahkan, tak hanya risiko penyakit kardiovaskular, diabetes juga dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah di ginjal, dan ketika pembuluh darah rusak, ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik. Banyak orang dengan diabetes mengalami tekanan darah tinggi, yang juga dapat merusak ginjal.
(tsa)