Upaya-Upaya Global untuk Tekan Prevalensi Merokok
loading...
A
A
A
JAKARTA - Scientific Summit on Tobacco Harm Reduction ke-4 yang digelar secara daring bulan lalu membahas topik soal tingginya prevalensi merokok secara global. Berdasarkan penelitian dan pengalaman di sejumlah negara, produk tembakau alternatif dapat menurunkan angka perokok global asalkan didukung dengan regulasi yang berlandaskan kajian ilmiah.
Konstantinos Kesanopoulos, Akademisi dari University of West Attica yang menjadi salah satu pembicara dalam forum tersebut memaparkan bahwa angka perokok di atas usia 15 tahun secara global mencapai 1,34 miliar jiwa dengan prevalensi perokok pria 32,7%. Sementara prevalensi perokok wanita 6,62%.
Tingginya angka dan prevalensi perokok ini mengindikasikan kalau risiko kesehatan bagi para perokok juga tinggi.
Melihat hal tersebut, Konstantinos menilai, rekomendasi yang disampaikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) kepada negara-negara anggotanya seperti kebijakan kawasan bebas rokok, gambar peringatan kesehatan pada kemasan rokok, larangan iklan rokok, dan promosi tidak cukup efektif untuk mengurangi prevalensi merokok.
Menurut Konstantinos, perlu ada pendekatan berbeda dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Caranya dengan mengedepankan produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, maupun snus. Penggunaan produk-produk alternatif ini harus diperkuat oleh regulasi dengan kajian ilmiah sebagai basis.
“Menutup kesenjangan dalam adopsi, implementasi, dan penegakan kebijakan berbasis riset sangat penting untuk mengakhiri pandemi rokok global. Mendorong tingkat penghentian perokok pada saat ini dapat menghasilkan manfaat yang besar bagi kesehatan,” kata Konstantinos, dikutip Kamis (21/10/2021).
Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research Dedek Prayudi sepakat bahwa pembentukan regulasi untuk mengatur produk tembakau alternatif harus berlandaskan kajian ilmiah.
“Ketika mau diregulasi, yang pertama harus dilakukan adalah uji profil risiko melalui sebuah penelitian. Baru setelah itu dibuat regulasi yang disesuaikan dengan bagaimana produk tembakau alternatif bisa dikonsumsi, menyesuaikan hak-hak konsumen, dan agar tidak disalahgunakan,” papar pria yang akrab disapa Uki itu.
Dengan hadirnya regulasi berbasis ilmiah, Uki berharap prevalensi merokok di Indonesia dapat ditekan.
Uki mengakui, produk tembakau alternatif memang tidak sepenuhnya bebas risiko, namun dapat dikedepankan oleh pemerintah untuk mengatasi prevalensi merokok karena terbukti memiliki risiko yang lebih rendah hingga 95% daripada rokok.
“Yang tidak boleh dilupakan, produk ini harusnya bisa menjadi sebuah solusi untuk mengurangi prevalensi dan risiko merokok jika diregulasi dengan tepat,” ujarnya.
Konstantinos Kesanopoulos, Akademisi dari University of West Attica yang menjadi salah satu pembicara dalam forum tersebut memaparkan bahwa angka perokok di atas usia 15 tahun secara global mencapai 1,34 miliar jiwa dengan prevalensi perokok pria 32,7%. Sementara prevalensi perokok wanita 6,62%.
Tingginya angka dan prevalensi perokok ini mengindikasikan kalau risiko kesehatan bagi para perokok juga tinggi.
Melihat hal tersebut, Konstantinos menilai, rekomendasi yang disampaikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) kepada negara-negara anggotanya seperti kebijakan kawasan bebas rokok, gambar peringatan kesehatan pada kemasan rokok, larangan iklan rokok, dan promosi tidak cukup efektif untuk mengurangi prevalensi merokok.
Menurut Konstantinos, perlu ada pendekatan berbeda dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Caranya dengan mengedepankan produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, maupun snus. Penggunaan produk-produk alternatif ini harus diperkuat oleh regulasi dengan kajian ilmiah sebagai basis.
“Menutup kesenjangan dalam adopsi, implementasi, dan penegakan kebijakan berbasis riset sangat penting untuk mengakhiri pandemi rokok global. Mendorong tingkat penghentian perokok pada saat ini dapat menghasilkan manfaat yang besar bagi kesehatan,” kata Konstantinos, dikutip Kamis (21/10/2021).
Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research Dedek Prayudi sepakat bahwa pembentukan regulasi untuk mengatur produk tembakau alternatif harus berlandaskan kajian ilmiah.
“Ketika mau diregulasi, yang pertama harus dilakukan adalah uji profil risiko melalui sebuah penelitian. Baru setelah itu dibuat regulasi yang disesuaikan dengan bagaimana produk tembakau alternatif bisa dikonsumsi, menyesuaikan hak-hak konsumen, dan agar tidak disalahgunakan,” papar pria yang akrab disapa Uki itu.
Dengan hadirnya regulasi berbasis ilmiah, Uki berharap prevalensi merokok di Indonesia dapat ditekan.
Uki mengakui, produk tembakau alternatif memang tidak sepenuhnya bebas risiko, namun dapat dikedepankan oleh pemerintah untuk mengatasi prevalensi merokok karena terbukti memiliki risiko yang lebih rendah hingga 95% daripada rokok.
“Yang tidak boleh dilupakan, produk ini harusnya bisa menjadi sebuah solusi untuk mengurangi prevalensi dan risiko merokok jika diregulasi dengan tepat,” ujarnya.
(tsa)