Punya Empati Terhadap Pelaku Kejahatan? Waspadai Gejala Stockholm Syndrome

Senin, 05 September 2022 - 17:07 WIB
loading...
Punya Empati Terhadap Pelaku Kejahatan? Waspadai Gejala Stockholm Syndrome
Stockholm syndrome merupakan bentuk pemakluman atas perbuatan jahat yang dilakukan pelakunya, sehingga menimbulkan rasa empati. Foto/Ilustrasi/Freepik
A A A
JAKARTA - Belakangan ini, masyarakat cukup dibuat ‘kenyang’ dengan pemberitaan kasus-kasus kejahatan . Tak hanya menguras emosi, namun juga terkadang menguras empati.

Bahkan, bukan saja menciptakan empati terhadap korban, namun juga terhadap pelaku kejahatan. Padahal pelaku kejahatan seharusnya tidak perlu dikasihani, baik itu karena sisi kemanusiaan atau karena berperilaku baik.

Ternyata, rasa empati terhadap pelaku kejahatan ini cukup familiar dalam dunia psikologi, yakni disebut sebagai Stockholm syndrome.

Lantas, apa itu Stockholm syndrome? Berikut ulasannya, dikutip dari beberapa sumber, Senin, (5/9/2022).



Stockholm syndrome merupakan bentuk mekanisme koping (Coping Mechanism) untuk melindungi diri dari trauma. Rasa lelah untuk melawan kondisi juga bisa menjadi penyebab munculnya Syndrome ini.

Stockholm syndrome merupakan bentuk pemakluman atas perbuatan jahat yang dilakukan pelakunya, sehingga menimbulkan rasa empati.

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan dengan orang lain, serta untuk mengenali dan memprediksi emosi orang atau kenapa seseorang berperilaku tertentu.

Empati tidak hanya muncul ketika melihat sesuatu yang menyedihkan, tetapi juga bisa ditujukan pada pelaku kejahatan.

Biasanya, empati ke pelaku kejahatan muncul ketika Anda sudah mengetahu latar belakang pelaku, motif di balik dia melakukan tindakan keji tersebut, atau relasinya dengan orang terdekat.

Perbedaan empati dengan Stockholm syndrome

Untuk membedakannya antara empati biasa dan Stockholm syndrome, berikut adalah ciri-ciri Syndrome Stockholm:

1. Memiliki simpati pada perbuatan dari orang yang melakukan tindakan kejahatan.

2. Perasaan positif terhadap para penculik atau pelaku kekerasan.

3. Perasaan negatif terhadap polisi atau figur otoritas lain yang menangkap si pelaku kejahatan.

Syndrome ini bahkan juga bisa dialami oleh korban kekerasan itu sendiri. Sayangnya, sejauh ini belum ada penelitian lebih lanjut mengapa orang yang menjadi korban kekerasan bisa bersimpati terhadap pelaku kejahatan.

Kondisi ini terjadi akibat naluri alami manusia untuk bertahan hidup, sehingga dia pun membangun ikatan emosional dengan musuhnya.

Kondisi emosional tertentu yang membuat korban kekerasan mengingat sedikit kebaikan yang pernah dilakukan oleh pelaku kekerasan juga bisa membuat korban memiliki empati kepada penjahat tersebut.

Stockholm syndrome biasa dialami oleh korban penculikan, korban pemerkosaan berulang, penyanderaan, tetapi orang biasa juga bisa mengembangkan kondisi psikologis ini.

Orang biasa yang mengalami kondisi ini besar kemungkinan pernah mengalami trauma. Jadi, saat dia melihat ada peristiwa kejahatan yang terjadi, misalnya lewat tayangan media, seketika itu juga dia mengalami kilas balik traumanya dan merasa empati dengan pelaku kejahatan tersebut.

Bukan Diagnosis Psikologis

Syndrome Stockholm ini nyatanya bukanlah diagnosis psikologis, melainkan upaya untuk menjelaskan gejala yang muncul pada beberapa individu yang menjadi korban kekerasan terutama penyanderaan.

Dalam perkembangan awalnya, seseorang yang mengalami kondisi ini menjadi terikat dengan penculiknya

Orang yang disandera atau korban kekerasan juga sering mengembangkan perasaan negatif terhadap polisi atau pihak lain yang mencoba menyelamatkannya.

Dari studi peristiwa inilah para peneliti menyimpulkan penyebab untuk menjelaskan fenomena tersebut.

Seseorang yang mengembangkan Syndrome ini sering mengalami gejala stres pasca trauma, mimpi buruk, insomnia, kilas balik peristiwa, kecenderungan untuk mudah terkejut, kebingungan, dan kesulitan mempercayai orang lain.

Dari perspektif psikologis, fenomena ini dapat dipahami sebagai mekanisme bertahan hidup. Bahkan, dalam situasi penyanderaan, korban bisa bertindak seolah-olah mereka mengalami Stockholm syndrome untuk meningkatkan peluang bertahan hidup.
(hri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2277 seconds (0.1#10.140)