KDRT Jangan Dijadikan Bahan Candaan? Coba Pikir -Pikir Lagi Deh Buddies!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Buddies walaupun sudah hampir dua minggu Lesti mencabut laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap suaminya Rizki Billar, tagar Boikot leslar sampai sekarang masih saja menggema dimana – mana terutama di media sosial. Banyak pihak yang kecewa meluapkan emosinya yang berujung jadi pembulian terhadap korban KDRT.
Terkait hal ini konselor Psikologi, Almakiyah Alqi mengaku prihatin karena KDRT adalah masalah serius yang tidak lucu untuk dijadikan bahan olokan.
“Sangat disayangkan isu KDRT menjadi bahan olok-olok, bahan prank, bahan gimik dan sebagainya karena ini serius. Bukan isu domestik dalam rumah tangga seseorang aja ini sudah isu negara. Karena negara ini banyak sekali mengeluarkan program dan anggaran demi untuk mencegah angka kekerasan dalam rumah tangga, artinya negara merasa dan meyakini bahwa kasus KDRT ini adalah isu penting dalam mewujudkan generasi berkualitas di negara kita,” jelas Alqi.
Orang – orang yang menjadikan isu KDRT guyonan pun bisa dibilang adalah orang yang minim sensitifitas dan empati.“Makanya kalau ada orang yang melakukan gimmick, prank, lelucon, atau apapun itu berkaitan dengan isu KDRT saya bisa pastikan mereka adalah orang yang minim sensitifitas, minim empati, dan jangan-jangan minum edukasi,” lanjutnya.
Guyonan dan tekanan terhadap korban KDRT bisa berdampak serius yaitu semakin takutnya korban KDRT untuk melapor dan bicara. Padahal kasus KDRT adalah masalah kompleks. Korban KDRT tak bisa langsung meninggalkan pelaku, dibutuhkan berbagai persiapan dari korban untuk bisa lepas baik secara mental fisik dan ekonomi.
Selain itu ada yang Namanya cycle of abuse. Salah satu fasenya disebut dengan honeymoon, yakni fase di mana pelaku dan korban berselisih dengan baik atau memilih berdamai. jika sudah seperti itu si korban akan meragukan dirinya sendiri. Alhasil, ia
juga akan ragu dalam mengambil keputusan.
“Jadi setelah berantem tuh honeymoon phase, jadi fasenya kayak jatuh cinta lagi gitu. Setelah itu waktu berjalan kita nggak ada yang tahu apakah si pelaku akan murni. Nantinya berubah atau tidak nggak ada yang tahu tapi kebanyakan siklusnya akan berulang kembali sampai bisa 10 15 kali hingga akhirnya si korban memutuskan untuk lepas. Jadi bayangin aja sama siklusnya pelaku melakukan kekerasan tapi korban melawan, lalu pelaku melemah, korban ikut melemah, honeymoon phase lagi. Gitu terus sampai memutuskan berpisah,” ujar Alqi.
Untuk itu, Alqi meminta masyarakat lebih memahami kondisi korban, sebelum menyalahkan korban yang memilih berdamai dengan pasangannya.
“Begitu sulitnya seseorang korban untuk lepas dari pengaruh kekerasan rumah tangga karena banyak faktor jadi saya juga nggak bisa menyalahkan sepenuhnya. butuh support mental, di sisi lain masyarakat sekitar juga harus memahami bahwa kita nggak bisa semudah itu menyalahkan korban gitu karena ada proses di situ yang membuat kita perlu dukungan moril aja kepada mereka," tambahnya.
Menurut Alqi KDRT bisa kita cegah dengan cara lebih mengenal pasangan sebelum menikah, apabila pasangan menunjukan sifat yang temperamental atau mudah marah baiknya pikirkan kembali. Selain itu tidak ada salahnya mengikuti kelas pra nikah yang ada di KUA untuk bisa lebih mengenal pasangan kita sebelum naik ke jenjang selanjutnya. Dan terakhir membuat perjanjian pra nikah.
“Perjanjian pra nikah itu adalah cara kita untuk melindungi masing-masing kita sendiri gitu. Bukan merugikan salah satunya, tapi kita berdua sepakat untuk melindungi diri kita masing-masing. Jadi menurut saya itu sudah harus lebih di lazimkan aja di Indonesia” tutupnya.
Terkait hal ini konselor Psikologi, Almakiyah Alqi mengaku prihatin karena KDRT adalah masalah serius yang tidak lucu untuk dijadikan bahan olokan.
“Sangat disayangkan isu KDRT menjadi bahan olok-olok, bahan prank, bahan gimik dan sebagainya karena ini serius. Bukan isu domestik dalam rumah tangga seseorang aja ini sudah isu negara. Karena negara ini banyak sekali mengeluarkan program dan anggaran demi untuk mencegah angka kekerasan dalam rumah tangga, artinya negara merasa dan meyakini bahwa kasus KDRT ini adalah isu penting dalam mewujudkan generasi berkualitas di negara kita,” jelas Alqi.
Orang – orang yang menjadikan isu KDRT guyonan pun bisa dibilang adalah orang yang minim sensitifitas dan empati.“Makanya kalau ada orang yang melakukan gimmick, prank, lelucon, atau apapun itu berkaitan dengan isu KDRT saya bisa pastikan mereka adalah orang yang minim sensitifitas, minim empati, dan jangan-jangan minum edukasi,” lanjutnya.
Guyonan dan tekanan terhadap korban KDRT bisa berdampak serius yaitu semakin takutnya korban KDRT untuk melapor dan bicara. Padahal kasus KDRT adalah masalah kompleks. Korban KDRT tak bisa langsung meninggalkan pelaku, dibutuhkan berbagai persiapan dari korban untuk bisa lepas baik secara mental fisik dan ekonomi.
Selain itu ada yang Namanya cycle of abuse. Salah satu fasenya disebut dengan honeymoon, yakni fase di mana pelaku dan korban berselisih dengan baik atau memilih berdamai. jika sudah seperti itu si korban akan meragukan dirinya sendiri. Alhasil, ia
juga akan ragu dalam mengambil keputusan.
“Jadi setelah berantem tuh honeymoon phase, jadi fasenya kayak jatuh cinta lagi gitu. Setelah itu waktu berjalan kita nggak ada yang tahu apakah si pelaku akan murni. Nantinya berubah atau tidak nggak ada yang tahu tapi kebanyakan siklusnya akan berulang kembali sampai bisa 10 15 kali hingga akhirnya si korban memutuskan untuk lepas. Jadi bayangin aja sama siklusnya pelaku melakukan kekerasan tapi korban melawan, lalu pelaku melemah, korban ikut melemah, honeymoon phase lagi. Gitu terus sampai memutuskan berpisah,” ujar Alqi.
Untuk itu, Alqi meminta masyarakat lebih memahami kondisi korban, sebelum menyalahkan korban yang memilih berdamai dengan pasangannya.
“Begitu sulitnya seseorang korban untuk lepas dari pengaruh kekerasan rumah tangga karena banyak faktor jadi saya juga nggak bisa menyalahkan sepenuhnya. butuh support mental, di sisi lain masyarakat sekitar juga harus memahami bahwa kita nggak bisa semudah itu menyalahkan korban gitu karena ada proses di situ yang membuat kita perlu dukungan moril aja kepada mereka," tambahnya.
Menurut Alqi KDRT bisa kita cegah dengan cara lebih mengenal pasangan sebelum menikah, apabila pasangan menunjukan sifat yang temperamental atau mudah marah baiknya pikirkan kembali. Selain itu tidak ada salahnya mengikuti kelas pra nikah yang ada di KUA untuk bisa lebih mengenal pasangan kita sebelum naik ke jenjang selanjutnya. Dan terakhir membuat perjanjian pra nikah.
“Perjanjian pra nikah itu adalah cara kita untuk melindungi masing-masing kita sendiri gitu. Bukan merugikan salah satunya, tapi kita berdua sepakat untuk melindungi diri kita masing-masing. Jadi menurut saya itu sudah harus lebih di lazimkan aja di Indonesia” tutupnya.
(wur)